Happy reading
***
Fatin dan Evan melangkah menuju lobby Loewy. Loewy merupakan salah satu bistro dikawasan Mega Kuningan. Suasana ala America tercipta ketika menginjakan kaki di sini. Evan dan Fatin memilih duduk di tabel nomor 5 dekat estalase kaca area no smoking. Sang pelayan menyodorkan menu brunch dan server menjelaskan secara detail. Fatin memesan waffel dan jus, dan sedangkan Evan Steak and egg.
Fatin sering kesini dan tetap tidak pernah mengecewakan, one of the best restaurant for me (from Union group). Open air and cozy place for meeting with client or chit chat with friends.
"Sepertinya kamu sering ke sini" ucap Evan memandang Fatin, karena tadi security dan server mengenalnya.
"Lumayan, tapi nggak sering-sering amat sih pak. Soalnya dekat kostan saya, jadi biasa Minggu brunch di sini"
"Pantas saja mereka mengenalmu. Menu apa yang kamu suka?"
"Lasagna. Lasagna nya enak keju nya melted dan nggak eneg, dory meunière, ini super enak dory nya di tim jadi lembut dan ada asparagus dan baby potato nya. Recomend" Fatin terkekeh.
"Duck Confit super enak, menu di sini banyak dan bervariasi. Berhubung saya hobi makan, dan semuanya rasa enak. Bapak pernah ke sini?"
"Pernah berapa kali, tapi tidak sering seperti kamu"
"Saya kasini karena dekat dengan kostan saya pak, lagi pengen sendiri aja ke sini"
"Umur kamu berapa?"
"24 tahun pak"
Beberapa menit kemudian menu yang mereka pesan datang. Fatin dan Evan mengucapkan terima kasih pada server.
"Kenapa kamu belum memiliki kekasih"
Fatin mengibaskan rambutnya ke belakang, ia memandang Evan dengan berani lalu tersenyum.
"Ini juga lagi nyari pak"
"Kamu cantik, menarik, pasti banyak yang suka dengan kamu"
"Ya lumayan kalau yang naksir, hanya memilih kekasih bukan seperti memilih baju paj. Saya saja memilih baju saja memerlukan waktu yang lama bahkan butuh pemikiran yang matang, cocok nggak outfit saya hari ini. Pantas nggak saya bertemu dengan client. Apalagi tambatan hati saya"
"Kalau bapak? Apa sudah bisa move on?"
"Ini sedang berusaha move on"
"Bapak liburan saja, refresh otak, setidaknya bapak lebih tenang" Fatin memotong Waffel dan lalu memakannya.
Evan tersenyum, ia menyesap kopi lalu meletakan cangkir itu di meja. Ia melirik Fatin, rambut panjang wanita itu sudah berada dibalakang punggungnya. Sehingga ia dapat melihat belahan d**a sempurna pada pakaian yang dikenakannya. Ia tidak tahu bahwa pakaian yang dikenakan Fatin ternyata memiliki kesan sexy di d**a, mungkin tadi di kantor rambut panjang wanita itu berada di depan d**a jadi tidak terlihat.
"Iya nanti saya akan liburan" uca Evan.
"Kemana pak?"
"Ke Bali mungkin" ucap Evan.
"OMG ke Bali"
"Memang kamu mau ikut?"
"Mau pak"
"Kalau saya apa-apain kamu gimana?"
"Apa-apain gimana pak" ucap Fatin pura-pura polos, karena nyatanya ia tidak sepolos itu. Ia tahu maksud pak Evan seperti apa.
Evan melirik Fatin lalu tertawa, "You know what I mean"
"Yes, I know what you mean. Ya saya pasrah aja" Fatin lalu tertawa.
"You like sexs?"
"I don't do that, if I don't have feelings. Untuk apa melakukan itu, if I'm not enjoying it" ucap Fatin.
"Yes, you are right"
Evan lalu tertawa memandang Fatin yang secara gamblang mengatakan bahwa dia akan melakukan sexs harus menggunakan perasaan.
"Bagaimana perasaan bapak, ketika mengetahui bahwa tunangan bapak memilih pria lain"
"Ya tentu saja saya marah, saya tidak terima dan saya merasa sebagai laki-laki tidak berguna" Evan kembali makan, sambil melirik Fatin.
"Mungkin bapak kurangnya quality time dengan pasangan bapak. Sehingga membuatnya jatuh hati dengan pria lain"
"I was committed to my partner, and I was engaged to her. Jadi itu sudah menunjukan bahwa dia sudah milik saya, saya tidak main-main dalam hubungan yang saya jalin. Harusnya dia menahan agar tidak tergoda dengan pria lain"
"Ya bapak benar, harusnya sebagai wanita harus menahan diri agar tidak tergoda. Mungkin alasan yang paling kuat, dia tidak mencintai bapak"
"Saya tidak percaya cinta, tidak akan pernah percaya. Cinta hanyalah kata-kata naif untuk orang-orang yang lemah"
"Wah, saya tidak percaya bahwa bapak tidak percaya cinta. Bagaimana bisa bapak menjalin sebuah hubungan tanpa adanya cinta"
"Namun saya percaya komitment, Fatin"
"Bagaimana bisa komitmen jika bapak tidak cinta"
Evan menghela nafas, "Menurut kamu cinta itu apa?" Tanya Evan.
Fatin lalu berpikir sejenak, ia menyesap jus jeruk secara perlahan, "Cinta itu bentuk emosi manusia yang paling dalam dan paling diharapkan. Mempengaruhi tingkah laku, dan cara berpikir. Dia sangat kuat, wajar jika ada yang berbohong, menipu, dan saling membunuh atas nama cinta. Bahkan ada yang rela mati demi cinta"
"Sampai di sini apa bapak paham tentang cinta?"
"Ya sedikit" ucap Evan sekenanya ia menyudahi makannya, melirik Fatin. Ia masih tidak percaya cinta, ia hanya yakin bahwa cinta itu dapat ia dibuat dengan seiringnya waktu.
Evan memperhatikan struktur wajah Fatin, wanita itu memiliki wajah yang rupawan, sangat cantik jika berbicara ceplas ceplos seperti tadi.
"Nanti malam kamu kemana?" Tanya Evan.
"Maaf pak, saya kursus"
Evan mengerutkan dahi, "Kursus apa malam Sabtu?"
"Kursus menjahit, kursus main piano, kursus modeling, sama kursus masak"
"Sebanyak itu?"
"Nggak pak, saya cuma basa-basi saja. Kalau saya bilang nggak kemana-mana cuma rebahan dikamar, kesannya saya turun kasta"
Evan ikut tertawa, ia lalu bersandar di kursi. Ia melihat Fatin juga ikut tertawa. Ia tidak menyangka bahwa Fatin selucu ini.
Suara ponsel Fatin bergetar, Fatin mengambil ponsel dari dompetnya. Fatin melirik Evan, ia bingung antara mengangkat dan tidak. Rasanya kurang sopan berbicara di depan Boss nya,
"Anya Calling"
Evan tau apa yang ada dalam pikiran Fatin, ia menyungging senyum,
"Angkat aja, ini bukan di office" ucap Evan.
Fatin menggeser tombol hijau pada layar, lalu meletakan ponsel ditelinga kiri. Sambil melirik Evan yang menatapnya.
"Iya hallo"
"Gue marah banget beb" ucap Anya dari balik speaker tanpa berbasa-basi.
"Marah kenapa?" Fatin bingung, ia menyesap jus jeruk itu lagi.
"Teguh nggak angkat telfon gue, DM gue nggak dibalas"
Fatin menghela nafas, "Kan gue udah bilang sama Lo, jangan galauin Teguh-Teguh lagi. Udah deh move on, keki banget gue denger Lo rengek-rengek gitu, kayak nggak ada kerjaan aja" dengus Fatin.
"Dia emang gitu beb, kalau nggak dikejar, nggak mau"
"Yaelah, emang cowok dia doang. Masih banyak cowok mau sama Lo, lebih ganteng, lebih kaya, lebih cool yang dapat Lo bangga-banggain"
"Kasihan banget gue beb" rengek Anya.
"Iya emang Lo kasian banget, cantik-cantik otaknya nggak kepakek" dengus Fatin.
Anya menarik nafas, "Baiklah beb, tadi gue udah bersemedi dikamar mandi. Dan gue putuskan untuk dekat sama Armand"
"OMG ! Armand yang mana?" Fatin mulai kepo.
"Tetangga gue"
"Keren nggak?"
"Lumayan"
"Kerja di mana?"
"Kerja di Pertamina, ahli perminyakan gitu deh"
"Keren abis !. Yaudah Lo sama dia aja"
"Mungkin kalau gue jalan sama Armand, Teguh bakalan panas"
"Iya Lo panas-panasin aja. Kalau panas syukur, kalau nggak panas yaudah jadian aja sama Armand"
"Lo tau? Armand orangnya nekat parah, ngejar gue pantang malu" ucap Anya mulai bercerita.
"Nekat gimana? Pantang malu? Emang dia buat antraksi bugil depan Lo?"
"Hah !!! Fatin !. Adooh !!! " Anya menjerit
"Lo kenapa beb?"
"Kejedot pintu gue, adooohh sakit banget, sialan nih pintu" Anya meringis kesakitan, menggosok jidat dengan rambut panjangnya.
"Ya Armand nggak gitu beb, pokoknya gitu, ngebet, kayak gue dikejar-kejar, berasa gimana gitu"
"Terus Lo suka nggak di kejer-kejer gitu?"
"Suka beb"
"Yaudah terusin aja, sampe Lo bener-bener demen sama doi. Pura-pura pingsan kek, biar ditolongin, atau pura-pura demam, biar dijengukin. Biar Lo sama dia bisa enak-enak lagi, kan lumayan buat nemenin malam mingguan"
"Bener banget beb, yaudah makasih ya beb !"
"Iya"
"Btw Lo dimana? Kok berisik?"
"Gue di Loewy"
"Sama siapa? Nggak ngajak gue"
"Gue sama Boss gue"
"OMG ! Lo ngomong kayak tadi depan bos lo"
"Iya, emang kenapa beb?"
"Enggak takut Lo beb?"
"Takut kenapa?"
"Ya ngomong kayak tadi"
"Gue ngomong pelan-pelan beb, biar nggak kedengeran" Fatin menelan volume suaranya.
"Lo ngomong kenceng beb, Boss Lo pasti denger lah"
Fatin melirik Evan, "Nggak apa-apa, santai aja. Palingan gue yang dipecat bukan Lo"
"Ih dasar Lo, dadah bebeb"
"Dah"
Fatin lalu mematikan sambungan ponsel menekan tombol merah pada layar. Fatin melirik Evan, pria itu tersenyum kepadanya. Fatin menelan ludah, sumpah tadi ia keceplosan ngobrol tanpa rem sama Anya.
"Maaf ya pak" Fatin memasukan lagu ponselnya di dalam dompet.
"Tidak apa-apa"
Mendengar obrolan Fatin tadi, Evan merasa bahwa Fatin adalah gadis ceria yang hidupnya tanpa beban. Wanita yang mampu menikmati dunianya sendiri. Ia semakin penasaran dengan Fatin. Hingga ada dorongan untuk mengenal lebih.
Semakin kesini ia tahu bahwa Fatin bukan gadis polos dari desa. Wanita itu seperti wanita modern pada umumnya. Selera fashionnya bagus, dan dia memiliki aura berbeda. Tampak ceria dimanapun berada. Evan melirik jam melingkar ditangannya menunjukkan pukul 11.00.
"Kamu mau ikut saya?"
"Kemana pak?"
"Cari angin, saya lagi bosan"
"Maaf pak, bukan nggak mau nanti saya masuk angin" Anya terkekeh, ia melirik Evan.
"Baik pak saya mau. Kemana saja bapak bawa saya, saya mau" ucap Fatin to the point sebelum Evan berbicara.
Evan menyungging senyum, "Ke Puncak aja ya. Saya butuh hiburan"
"Baik pak, tapi tas saya di kantor. Saya boleh ambil tas saya di kantor dulu nggak pak?"
"Jangan bawa tas, kita nggak nginep"
"Tapi lipstik dan eyebrow saya, di kantor pak di dalam tas"
"Sepenting itu lipstik dan eyebrow kamu?"
Fatin mengangguk cepat, "Penting banget pak, lebih baik saya nggak jajan dari pada nggak pakek lipstik dan alis"
"Oh Tuhan, nanti kita beli di Indomaret"
"Enggak ada pak, lipstik dan eyebrow saya hanya bisa beli di Sephora, Sociola dan s****e mall"
Evan memejamkan mata, ia mengelus d**a, "Yaudah ambil sana, saya tunggu di basement"
"Iya pak" Fatin lalu bergegas melangkah meninggalkan Evan begitu saja menuju tower kantornya.
Sementara Evan memandang Fatin dari kejauhan. Ia lalu tersenyum penuh arti, secepat itu perubahan suasana hatinya, hanya dengan ngobrol bersama Fatin.
***