Vio menggantung ucapannya. Dia kembali ragu, haruskah menanyakan hal ini atau tidak?
Azzura menaikkan alisnya, masih menanti apa kira-kira yang bakal dikatakan oleh Vio.
"Apa Mbak Zura sudah menikah?" Vio memejam. Bisa-bisanya dia menanyakan hal itu pada orang yang baru dikenalnya.
'Bodoh kamu Vio,' rutuknya dalam hati.
"Hahaha ...!" Vio bingung, kenapa Azzura malah tertawa. Bukankah Vio sudah tidak sopan dengan bertanya seperti itu?
Azzura mengangkat tangan kirinya, seolah dia ingin memperlihatkan sesuatu pada Vio. "Ini sebuah cincin pernikahan. Artinya aku sudah menikah."
"Iya." Vio nyengir. Dia merasa pertanyaannya itu sangat tidak penting. Andai dia bisa memutar waktu.
"Aku sudah menikah dan aku sangat cinta sama dia." Vio melihat ke arah Zura. Dia mengatakan kejujuran. Ada pendar kebahagiaan di mata wanita itu saat bilang cinta. Vio yakin jika Azzura mengatakan sebuah kebenaran. Tetapi, kenapa ada kesedihan juga di dalamnya?
"Pasti suami Mbak Zura orang baik, buktinya dapat Mbak Zura yang sangat baik," celetuk Vio. Dia memang suka seperti itu. Mengatakan apa yang ada di pikirannya. Hingga kadang dia heran sendiri dengan mulutnya yang seperti tak ada filter.
Azzura mengangguk. "Tentu saja dia adalah suami terbaik di dunia." Tanpa sadar sudut mata Azzura sudah hampir jebol. Akhir-akhir ini dia menjadi sangat mellow. Entahlah!
Sejak pertama bertemu dengan Vio, Azzura merasa jika dia menyukai gadis itu. Azzura yang seumur hidup tak memiliki adik, seperti melihat sosok seorang adik di diri Vio. Gadis itu baik, cantik, dan ceria. Pasti laki-laki yang mendapatkannya adalah laki-laki yang beruntung.
"Oh, ya." Azzura mengusap sudut matanya. Dia tak mau terlihat rapuh di depan siapa pun, "Aku antar kamu ke mana?"
"Motorku gimana, Mbak? Kalau ilang pasti aku bakal dipecat sama Pak Dodi," ucap Vio dengan nada penuh kekhawatiran. Dia sangat takut kali ini. Bagaimana jika dia dipecat? Lalu ayahnya harus bagaimana?
Memikirkannya saja sudah membuat Vio gelisah. Dia masih harus membiayai ayahnya yang sering cuci darah.
"Siapa Pak Dodi?" tanya Azzura heran.
"Dia bos saya di tempat kerja saya. Motor itu punya toko kelontong saya bekerja. Jika hilang, bagaimana saya bisa menjelaskan pada mereka?" Zura dapat melihat raut wajah putus asa pada gadis itu. Andai gadis itu mau menerima uluran tangannya.
"Motor kamu aman. Nanti biar saya suruh orang saya antar ke tempat kamu kerja. Kasih tahu alamatnya."
Vio pun menyebutkan sebuah alamat dan Zura segera menelepon seseorang untuk mengantarkan motor itu. Vio terlihat sangat panik. Sungguh ini membuat Azzura trenyuh.
"Aku antar kamu ke rumah kamu, ya?" Tak mungkin dia membiarkan Vio terus bekerja dengan kondisi yang seperti ini. Ini semua karena menyelamatkannya. Tidak mungkin dia bisa tenang.
"Nggak usah! Ke toko saja! Saya takut dipecat." Vio sangat berbeda dengan gadis yang tadi menolong Azzura. Saat ini, dia sangat terlihat rapuh dan menyedihkan.
"Tapi, kamu belum sembuh benar, lho. Aku jadi merasa sangat bersalah." Ini semua terjadi karena Vio menolongnya. Andai tadi Vio mengabaikannya, pasti gadis itu akan baik-baik saja. Dia seakan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas gadis itu.
"Nggak papa. Aku nggak papa, kok. Maaf, mungkin tadi aku hanya sedang kepikiran saja." Vio berusaha menekan air matanya untuk kembali masuk ke dalam. Bukan waktunya meratapi semuanya. Dia harus menerima semua takdir yang Tuhan gariskan untuknya.
Azzura terdiam. Dia tak ada pilihan lain selain tidak ikut campur lagi. Mungkin dia yang keterlaluan sehingga membuat Vio terluka.
Mereka saling diam dengan pikirannya masing-masing. Vio dengan nasib pekerjaannya, sedang Azzura memikirkan nasib Vio. Andai dia bukan orang lain, maka dia tidak akan pernah membiarkan gadis sebaik Vio sedih.
"Terima kasih." Mereka kini telah sampai di depan toko kelontong tempat Vio bekerja. Vio telah melihat motor yang tadi dikendarainya di sana. Dia sedikit bernapas lega. Setidaknya motor itu tidak hilang, hanya saja dia harus berpikir bagaimana menjelaskan semua ini pada Pak Dodi dan istrinya.
"Harusnya aku yang bilang makasih ke kamu." Azzura mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Kamu kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk hubungi aku."
Vio menatap kartu nama itu. Ada perasaan ragu untuk menerimanya. Dia tak mau menjadi manusia yang tidak ikhlas saat menolong. Jika dia menerima kartu nama itu, dia pasti mengharapkan sebuah balasan atas pertolongannya tadi.
"Aaa ... butuh temen ngobrol, misal? Soalnya aku juga suka kesepian. Mungkin kita bisa jadi temen." Azzura meralat kata-katanya. Dia takut kalau Vio kembali salah paham dengan niat baiknya. Sungguh, dia saat ini begitu ingin berteman dengan gadis itu. Meski terlihat sangat kuat, namun dia rapuh, sama seperti dirinya.
Dengan ragu-ragu, Vio menerima kartu nama itu. Mungkin memang suatu saat dia butuh.
Vio bersiap membuka pintu. Dia juga bersiap dengan kemarahan yang akan dia dapatkan. Gadis itu menapakkan kakinya di depan toko tempatnya bekerja. Dia bisa melihat raut kemarahan dari wanita paruh baya yang menjadi istri Dodi itu. Inikah akhir pekerjaannya di sini?
***
"Pak! Siang ini ada rapat dengan Tuan Mark Sutopo." Risa saat ini tengah berada di depan meja Brian. Dia memegang tablet di tangannya. Semua jadwal Brian ada di tangan Risa.
"Jam berapa rapatnya?" tanya Brian masih dalam posisi matanya tak lepas dari tumpukan laporan di hadapannya.
"Jam dua siang," jawab Risa mantap. Brian menghentikan aktifitasnya, dia menarik napas panjang. Mark Sutopo adalah salah satu saingan bisnisnya yang begitu gencar menjatuhkan perusahaannya. Brian tahu jika Mark sering menempuh cara licik, tapi sebagai orang yang jujur, Brian belum bisa bergerak. Dia harus memikirkan semua konsekuensi yang harus dia ambil.
"Ingatkan nanti!" Brian memutuskan untuk kembali berkutat dengan laporan yang menurutnya tak pernah berhenti. Setiap hari, selalu ada segunung laporan yang harus dia periksa. Begitulah, jika perusahaan semakin besar maka pekerjaannya pun juga semakin banyak.
Brian tiba-tiba teringat saat dulu perusahaannya belum sebesar ini, dia masih punya banyak waktu untuk Azzura dan juga Kyra. Tidak seperti saat ini.
"Baik, Pak! Saya permisi!" Risa segera undur diri dari hadapan bos-nya itu. Suasana Brian sedang buruk beberapa hari ini, dia tak mau ambil resiko dengan berlama-lama ada di sekitaran Brian. Bisa-bisa dia kena amukan lagi seperti waktu itu.
"Hi ...! Jangan sampai!" Risa bergidik ngeri kala mengingat saat dia kena omelan pria berusia 35 tahun itu. Padahal dia sama sekali tak melakukan kesalahan fatal apa pun. "Mungkin Pak Brian nggak dapat jatah dari Bu Zura hingga garang kayak macan gitu," gumam Risa sesaat dia menutup pintu ruangan Brian.
Sepeninggalan Risa, Brian membuang napas kasar. Brian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi miliknya. Dia merenggangkan tangannya dan memutar lehernya. Dia sungguh lelah akhir-akhir ini. Perusahaannya harus bekerja sama dengan Sutopo Group dalam memenangkan tender pembangunan jalan tol di daerah Jawa Tengah.
Tak mungkin tadi dia nampak bersantai saat di hadapan Risa. Itu akan menjatuhkan wibawanya sebagai seorang CEO di sana.
"Mas, menikahlah lagi." Kata-kata Azzura saat itu, terus terngiang di kepalanya. Seakan menjadi sebuah momok yang mengerikan.
Brian memijit pangkal hidungnya. Dia masih mencari tahu, apa yang membuat Azzura meminta hal itu.
Brian mengambil ponselnya, dia menghubungi salah satu nomor yang ada di sana. Bagaimanapun ini sangat tidak wajar. Pasti ada apa-apa dengan istrinya itu?
"Halo, Vincent!"
"Halo, Bos. Ada apa?" Terdengar sahutan dari ujung telepon sana.
"Kamu mau kerjaan, nggak?"