Bab 6 Bantuan

1317 Kata
Polisi itu pun menangkap si preman yang sudah terkulai lemas. Ternyata dia tak bisa melawan wanita seperti Vio. "Badan aja gede, tapi ngelawan cewek aja kalah," ejek salah satu polisi itu pada si pria. Sebenarnya sang pria ingin marah, tetapi bersuara saja dia tak sanggup. "Nyonya Wijaya. Saya minta keterangannya di kantor polisi," ucap salah satu polisi pada wanita yang diselamatkan oleh Vio. "Baik, Pak. Saya akan ke sana." Setelah membawa si pria menggunakan mobil, polisi itu segera pergi dari tempat itu. Tinggallah Vio dan juga wanita itu. "Makasih, Dek. Saya berhutang budi sama kamu," ucap si wanita pada Vio. Muka Vio pun tak kalian parah dari pria tadi. Hanya saja dia masih kelihatan cantik meski wajahnya banyak luka lebam. "Nggak papa, Mbak. Saya ikhlas nolong, kok." Vio mengucapkannya dengan tersenyum, meski ada sedikit nyeri di ujung bibirnya. Vio memegang perut bagian kananya, rasanya nyeri. Mungkin tadi tak sengaja terkena pukulan. "Perkenalkan ...." Wanita itu hendak menyalami Vio, dia tersenyum sangat manis. Vio tahu jika dia usianya berada jauh di atasnya, namun dia masih kelihatan sangat cantik, "nama saya Azzura." Vio menerima uluran tangan itu dan balas tersenyum, "Saya Vio, Mbak." Setelah perkenalan singkat itu, Azzura menawarkan Vio untuk pergi ke klinik paling dekat dengan tempat itu. "Nggak usah, Mbak. Saya nggak perlu ke klinik segala. Ini juga pasti akan segera sembuh. Nggak perlu obat-obatan kayak gitu," tolak Vio. Dia sudah lama meninggalkan toko tempatnya bekerja. Dia takut istri bos-nya akan marah jika dia tak segera kembali bekerja. "Tapi luka kamu serius, lho itu." Azzura menunjuk ke arah wajah Vio yang hampir tak bisa dikenali. Meski masih saja terlihat cantik, namun kini sedikit mengerikan. Beberapa bagian pipinya membiru karena bekas pukulan. "Saya--aw ...!" Vio kembali merasakan nyeri di tulang rahangnya, seakan terjadi pergeseran di sana. "Tuh 'kan? Ayo! Ikut saya! Biar kamu diobati!" Dengan paksa Azzura menarik lengan Vio agar mengikutinya masuk ke dalam mobil. "Tap-tapi motor saya--" "Tenang. Saya sudah panggil orang untuk bawa motor itu." Tanpa mau menerima bantahan dari Vio, Azzura terus menarik Vio dan mendorongnya untuk duduk di jok penumpang di sebelahnya. Setelah Vio duduk dengan tenang, Azzura segera melajukan mobilnya menuju ke sebuah klinik yang jaraknya hanya sekitar satu kilo dari tempat itu. Vio pun hanya diam, tak membantah lagi. Dia seakan merasakan kasih sayang seorang ibu dari wanita itu. 'Beruntung banget yang dapetin mbak ini. Cantik, baik, dan juga penuh kasih sayang. Aku bisa liat itu semua dari sikap dan juga ucapannya. Dia adalah gambaran wanita yang sempurna.' Tanpa sadar, Vio mengagumi Azzura dalam hatinya. Seakan sosok yang ada di sebelahnya itu adalah sosok yang bisa dia jadikan contoh dan panutan. "Kamu tinggal di mana?" Pertanyaan Azzura kembali menyadarkan Vio pada kenyataan. Semanjak masuk ke dalam mobil, dia memang hanya melamun saja. Hingga membuat Azzura penasaran. "Sa-saya tinggal di Gang Jambu, Jalan Mawar." Vio menyebutkan nama gang yang masih agak jauh dari tempat itu. "Kamu ... masih kuliah?" "Oh ... nggak! Saya kerja," jawab Vio singkat. "Kenapa nggak kuliah?" "Saya harus biayain bapak saya. Kasihan." Terjadi pembicaraan antara keduanya yang awalnya hanya basa-basi berakhir dengan pembicaraan yang lumayan berat. Meski baru mengenal, Vio merasakan sangat cocok dengan Azzura sehingga dia dengan tenang menceritakan semuanya. "Kamu mau aku bantuin bapak kamu?" Vio kaget mendengar pertanyaan Azzura, hingga dirinya hanya bisa melongo. Dia baru saja mengenal wanita itu, tetapi kenapa dia seakan sangat baik padanya. "Nggak usah, Mbak. " Vio hanya bisa tersenyum. Dia tak ingin merepotkan orang lain. "Loh, kenapa?" "Saya masih bisa mengurus bapak saya sendiri." Vio tersenyum canggung. Dia kurang nyaman dengan perhatian seperti ini. Terlebih dari orang yang baru saja dia kenal. "Maaf," lirih Azzura. Dia tak menyangka jika niat baiknya menimbulkan ketidaknyamanan pada orang lain. Setelahnya hanya ada keheningan antara keduanya. Tak berselang berapa lama, mobil Azzura memasuki halaman sebuah klinik. Mereka berdua masih saling diam. Bingung harus memulai pembicaraan lagi dari mana. "Vio! Ayo masuk. Obati dulu luka kamu." Azzura masuk ke dalam klinik itu diikuti Vio di belakangnya. "Siang, Bu Azzura," sapa salah satu satpam yang berada di depan klinik itu. "Siang juga, Pak Supri. Pak Adrian ada di dalam?" tanya Azzura, dia balas tersenyum pada Pak Supri, satpam itu. "Ada, Bu," jawab Pak Supri. "Oke! Makasih, ya, Pak." Vio merasa aneh karena satpam di klinik ini bisa kenal dengan wanita yang ada di depannya itu. "Mbak Zura sering ke sini?" tanya Vio penasaran. "Ah! Iya. Di sini klinik milik sahabat saya." Vio hanya mengangguk-angguk saja. Dari sini, dia bisa menilai jika wanita itu pasti orang kaya. "Dia aslinya psikiater, tapi punya klinik umum juga. Kadang di sini, kadang di tempat prakteknya sendiri." Vio bisa menilai jika Azzura itu adalah orang yang sangat asyik. Dia orang kaya, tetapi tidak malu berbincang dengannya yang hanya orang biasa. Tiba di sebuah pintu ruangan, Azzura mengetuk pintu itu. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung saja masuk ke dalam. Vio hanya terus mengikuti wanita itu masuk ke dalam ruangan. Lagi-lagi dia merasa aneh, kenapa dia malah diajak ke sini? Katanya mau mengobati luka? "Hai, Ad," sapa Azzura pada seorang pria yang berada di dalam sana. Pria yang tadinya menunduk itu, langsung saja mengangkat kepalanya. Vio dapat melihat dengan jelas, tatapan memuja dari laki-laki itu untuk Azzura. "Hai, Zura. Apa kabar?" Pria yang dipanggil Ad itu langsung berdiri untuk menyambut Azzura. "Baik. Ad." "Kamu lama banget nggak nemuin aku." "Haha ... aku sibuk." Vio masih berdiri membatu, dia terpesona pada pandangan pertama pada pria itu. Tidak salah 'kan, jika Vio terpana. Pria yang sedang berbincang dengan Azzura itu terlihat seperti pria yang penyayang. Tatapannya lembut namun mematikan. "Ini ... siapa?" Rupanya sang pria baru menyadari tentang keberadaan Vio setelah beberapa saat. "Dia Vio. Dia yang nolongin aku. Kamu bantuin obati dia dulu." Azzura duduk di salah satu kursi di ruangannya. Dia terlihat begitu terbiasa di sana, seperti tak ada batasan lagi. Adrian tersenyum pada Vio, membuat jantung Vio berdegup dengan kencang. 'Ada apa ini? Pasti ada yang salah dengan jantungku,' gumam Vio dalam hati. Senyuman Adrian benar-benar bisa membuat Vio melayang. Manis dan juga memabukkan. "Hai, Vio," sapa Adrian, "makasih udah nolongin wanita manja ini." Azzura tertawa, "Aku nggak manja, Ad," elak Zura. Vio melihat kedekatan mereka begitu manis. Hingga dia berpikir, bahwa keduanya memiliki hubungan. "Ini sakit?" "Ouch!" Vio meringis kesakitan ketik Adrian menekan luka lebam yang ada di lengan kanannya. Adrian mulai mengobati luka Vio satu per satu. Vio melihat wajah tampan itu tanpa kedip. Sepertinya dia baru pertama kali melihat wajah tampan sedekat ini. Seketika saja Vio merasa jika udara di sekitarnya mendadak berhenti. "Nah! Sudah!" Vio gelagapan karena ternyata dia dia sudah terlalu lama melamun. Gadis cantik itu menatap lukanya yang kini telah bersih dan diberi salep. Selama itukah dia terpesona pada lelaki yang ada di depannya. "Te-rima kasih," ucap Vio terbata. Pria bernama Adrian itu begitu dingin dan cuek, namun terlihat begitu hangat ketika berbicara dengan Azzura. Mereka berdua saling berbincang, menyisakan Vio yang kalut dengan pemikirannya. "Jadi, kamu berkelahi sama preman itu?" Vio terhenyak, dia tak menyangka jika dia akan mendapat tatapan kagum dari lelaki yang baru saja dikaguminya. "I-iya." Vio mencoba tersenyum semanis mungkin. Adrian mengangguk. "Salut sama kamu!" Dia mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Vio, membuat pipi gadis itu memerah. Vio merasakan debaran di hatinya semakin nyata. "Ah! Aku pamit dulu, Ad. Aku mesti ke kantor polisi buat laporan." Azzura berdiri dari duduknya. Dia ingat masih harus mendatangi kantor polisi setelah ini. "Ayo, Vio!" ajak Azzura pada gadis yang masih terus berjuang untuk menahan debaran jantungnya. Ini baru pertama dia rasakan, debaran yang tak kunjung usai meski hanya menatapnya. Kini Azzura dan Vio telah berada dalam mobil. Sesekali Vio melirik ke arah Azzura yang terlihat begitu cantik dan anggun. Seperti dia memang ditakdirkan seperti itu sejak lahir. "Ada yang ingin kamu tanyakan padaku?" Sesaat Azzura menoleh ke arah Vio. Sepertinya dia sadar jika gadis itu sedari tadi curi-curi pandang ke arahnya. "Ah! Enggak. Hanya saja ...." Vio melipat bibirnya ke dalam, merasa ragu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN