Bab 8 Kegugupan Brian

1289 Kata
"Ya, maulah, Bos. Masak ada kerjaan nggak mau." "Tapi, ini resikonya gede." "Sebesar apa pun resikonya, saya selalu siap, Bos" "Buntuti Azzura dan laporkan semuanya pada saya!" "Eh! Ap-apa? Nyonya Azzura? Kenapa mesti dibuntuti, sih, Bos? Buntuti yang lain saja ada nggak?" "Yaudah kalau nggak mau!" "Eh! Eh! Jangan gitu dong. Iya. Saya mau, Bos." "Pokoknya kamu harus laporkan semua yang kiranya mencurigakan pada saya. Saya mau laporan sedetailnya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Brian menutup panggilannya. Dia menyangga kening dan tangan kanannya. Dia tahu ini beresiko sangat besar. Azzura bukan orang yang bisa diremehkan. Perlindungan Anthony Wijaya, sang ayah, masih sangat kental. Tapi, dia tak mau larut dalam tanda tanya besar akan alasan Azzura memintanya untuk menikah lagi. Itu bukan permintaan yang sepele baginya. Dia masih bisa melihat cinta di mata istrinya, setiap kali mereka bercinta. Tetapi, kenapa? Itulah pertanyaan yang belum menemukan jawabannya. "Fokus, Brian! Fokus dulu sama tender ini. Serahkan sama Vincent. Biar dia yang cari tahu." Waktu berlalu sangat cepat. Pekerjaan yang menumpuk, membuatnya lupa akan waktu. Pintu ruangan diketuk, Brian melirik ke arah jam tangannya. Brian membuang napas kasar, "Sebentar lagi." "Masuk!" Pintu terbuka, Risa masuk ke ruangan Brian, "Saya hanya ingin mengingatkan kalau siang i--" "Iya! Iya! Siapkan mobil!" Brian mengibaskan tangannya, membuat gerakan seolah mengusir Risa. Risa yang sudah berusaha tersenyum sejak masuk tadi, hanya bisa menahan amarahnya. Dia tetap berusaha tersenyum menanggapi perilaku kasar bos-nya yang tidak biasa. "Baik, Pak. Saya permisi." Masih berusaha menahan amarahnya. Mungkin akan dia lampiaskan saat sendirian di toilet atau berada di ruangannya. Untuk saat ini dia harus menahannya dan menghubungi Pak Dani, supir perusahaan. Kini Brian telah berada di dalam mobilnya, dengan Risa tentunya. Risa duduk di sebelah Pak Dani, sedang Brian duduk sendiri di belakang. Dia tidak nyaman jika harus duduk bersebelahan dengan wanita lain selain Azzura. Keramahan Brian selama beberapa tahun ini hilang begitu saja. Bahkan Pak Dani pun memilih untuk diam. Dia tak berani berasa-basi kali ini. Raut wajah Brian benar-benar mengerikan. Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mereka tiba juga di Hotel Piston Internasional, tempat rapat ini akan berlangsung. Bertempat di salah satu presiden suit room, mereka akan membahas tentang tender ini. Ya, pihak pelelang membentuk tim untuk proyek ini. Dan dia harus bekerja sama dengan perusahaan Sutopo Group. Jika sebelumnya tidak ada masalah, mungkin dia akan merasa sangat senang bisa bekerja sama dengan perusahaan besar seperti Sutopo Group. Sayangnya, keduanya telah ada masalah bisnis sebelumnya. Jika bukan karena campur tangan mertuanya waktu itu, mungkin saja perusahaan Brian akan tumbang dengan cepat. Risa berjalan sedikit di belakang Brian. Brian Pradipta berjalan dengan gagahnya kali ini. Meski usianya berada di pertengahan tiga puluhan, dia tetap terlihat gagah dengan setelan jas berwarna navy yang kini dia kenakan. Dia kini telah berada di depan pintu kamar itu. Brian mengatur napasnya, perasaan apa ini? Tak mungkin dia takut bertemu dengan Mark? Itu sangat memalukan. "Vio! Kamu kenapa? Kenapa wajah kamu babak belur gitu?" Handoko terlihat panik ketika melihat putri semata wayangnya itu babak belur. Wajah cantik yang biasa dia tampilkan sekejap lenyap berganti dengan luka lebam yang begitu mengerikan. "Eh, Bapak. Ini Vio tadi jatuh, Pak," jawab Vio. Dia tak mungkin jujur pada ayahnya karena tahu jika ayahnya itu akan sangat khawatir jika dia mengatakan yang sebenarnya. "Jatuh? Di mana? Nggak mungkin kamu cuma jatuh, Nak?" Handoko mendekati Vio. Dia ingin menyimpulkan sendiri luka itu benar karena jatuh atau dipukuli. Vio agak menjauhkan wajahnya saat ayahnya menelisik pada area wajahnya itu. "Iya, Pak. Vio tadi cuma jatuh. Nyungsep di aspal. Jadinya babak belur gini." Vio nyengir. Seolah tak ada masalah apa pun yang dia hadapi kini. "Jangan bohong, Vio. Bapak tahu kamu lagi bohong. Bapak kenal kamu dari bayi." Dengan suara lemahnya, Handoko tetap pada penilainnya. Dia sudah makan asam garam kehidupan selama ini, tak mungkin dia bisa dibohongi oleh alasan yang klise seperti itu. Vio menghela napas panjang, "Maafin, Vio, Pak. Maaf ...." Vio terisak. Dadanya terasa sesak, mengingat apa yang baru saja dia alami. Ini terasa begitu berat untuknya. Hingga rasanya dia ingin menyerah saja. Handoko menarik Vio dan mendekapnya dalam pelukan. Baginya, Vio adalah gadis kecilnya yang lucu dan manja. Karena penyakit yang bersarang di tubuhnya, gadis kecilnya itu harus menderita di usia yang masih sangat muda, karena lantas menjadi tulang punggung. "Kamu minta maaf buat apa, Nak? Kamu nggak salah apa-apa. Justru Bapak yang banyak salah sama kamu." Tak terasa cairan bening menetes dari sudut mata Handoko. Dia seolah tahu apa yang sedang Vio rasakan kini. Hingga dia tak sanggup untuk menanyakannya. "Vio dipecat, Pak. Vio udah nggak kerja." Vio masih menangis. Dia membenamkan wajahnya di d**a Handoko, seakan menumpahkan segala masalahnya pada laki-laki itu. Laki-laki yang telah menjaganya selama ini. Sebenarnya Handoko merasa sangat sedih saat tahu Vio dipecat, tetapi dia tak sampai hati menanyakan alasannya. Di sendiri tak berguna. "Sudah, Vio. Jangan nangis lagi. Kita obati luka kamu dulu. Baru nanti kamu cerita ke Bapak." Handoko mengurai pelukannya. Dia mengusap sudut mata Vio yang telah basah. Sungguh dia tak sanggup jika harus melihat Vio seperti itu. "Tadi, Vio udah ke klinik. Diantar sama Mbak Azzura." Vio mengusap pipinya yang telah basah. Dia tak mau terus membuat ayahnya bersedih. Dia sungguh tak tega. "Azzura? Siapa itu, Nak?" Handoko tentu saja bingung. Baru pertama dia mendengar nama Azzura disebut oleh Vio. Bahkan seingatnya, Vio tidak memiliki teman bernama Azzura. "Dia orang yang Vio tolong tadi, Pak. Vio memang nggak jatuh. Vio berantem sama preman yang mau merampok Mbak Azzura." "Oh ... kamu dapat luka ini karena berantem? Tapi, Bapak bangga sama kamu karena berantemnya bener. Nggak asal berantem." Vio pun akhirnya menceritakan tentang semuanya. Saat dia dibawa ke klinik dan saat Bu Heni, istri Pak Dodi marah karena dia telat sangat lama. Dia nggak mau nerima alasan dari Vio dan tetap memecatnya. Vio sadar jika selama ini Bu Heni memang selalu mencari alasan untuk dapat memecatnya. Dan akhirnya terlaksana juga. Handoko menarik napas panjang. Dia tahu ini berat bagi Vio. Teman-teman seusia dia masih pada kuliah. Dia terpaksa banting tulang hanya untuk dirinya. "Maafkan Bapak, Vio." Handoko mengelus rambut Vio, tatapannya kosong. Ada banyak beban yang dia tanggung dan kini malah menyeret Vio, anaknya. Vio menggeleng, "Bapak nggak salah. Aku sayang Bapak." Vio kembali memeluk Handoko. Tak dapat diungkapkan betapa dia sangat menyayangi ayahnya itu. Meski ayahnya tak pernah terbuka tentang siapa ibunya. Namun, memiliki ayah yang penyayang seperti Handoko adalah hal yang sangat dia syukuri. "Bapak juga sayang kamu, Vio." *** Setelah dipecat dari pekerjaannya, Vio harus mencari pekerjaan baru lagi. Jika tidak, bagaimana dia bisa hidup dan menghidupi ayahnya? Pagi ini Vio telah berpakaian rapi dan juga wangi. Bersiap untuk kembali mencari kerja. "Kamu yakin mau cari kerja?" tanya Handoko. Dia memindai tubuh Vio yang masih banyak luka memar di tubuhnya. Yang paling menonjol adalah yang ada di wajah. Wajah cantiknya, nyaris tak terlihat lagi. "Iyalah, Pak. Bosen juga di rumah terus," jawab Vio tenang. "Bosen gimana? Kamu aja baru di rumah sehari kok udah bilang bosen." "Ya, biasanya juga kerja, Pak. Nggak enak di rumah lama-lama." Vio kini tengah menalikan sepatunya. Dia memang sudah berniat untuk mencari kerja semenjak bangun tidur tadi pagi. "Jangan terlalu keras sama tubuh kamu, Vio. Istirahat saja dulu." Hati Handoko sakit kala melihat Vio bekerja keras seperti ini. Rasanya hatinya benar-benar diremas-remas. "Aku nggak papa, Pak. Nggak harus istirahat. Bapak saja yang istirahat, jangan kecapekan." Dalam situasi seperti ini, Vio masih saja bisa tersenyum. Dia seakan tak pernah memiliki beban dalam hidupnya. "Kamu memang kerasa kepala," keluh Handoko. "Hehe. Kan kayak Bapak. Sudah dulu, ya, Pak. Vio berangkat nyari kerjaan dulu." Vio mendekati ayahnya. Dia mencium punggung tangan ayahnya dan pergi keluar. Dia harus tetap tersenyum di hadapan ayahnya, meski hatinya sangat ingin menangis. Ini sungguh berat untuknya. "Ke mana aku mesti nyari kerja?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN