Bab 10 Pertolongan Azzura

1234 Kata
Setelah Vio pamit dengan Handoko untuk menceri pekerjaan, dia terus berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Dia sendiri bingung harus mencari ke mana. Vio hanya tak mau Handoko khawatir dengan keadaannya. Karena jika terus di rumah maka dia hanya akan merenung. "Capek banget. Udah keliling gini nggak ada yang buka lowongan. Ijazah juga cuma SMA, nanya di mana lagi?" Vio kini telah duduk di sebuah kursi panjang di pinggir jalan. Dia mengelap keningnya yang telah berkeringat, meski kadang dia harus menahan perih karena luka yang belum kering. "Aw ...!" keluh Vio kala tangannya tak sengaja menyenggol luka lebam yang masih terasa nyeri. Dia hanya bisa meringis menahan sakit. Mungkin rasanya dia saat ini sangat ingin menangis, tetapi itu semua hanya akan membuatnya menjadi lemah. Vio mencebik, dia merasa jika nasibnya terlalu buruk. Apa dia pernah melakukan kesalahan di masa lalu hingga dia menerima karma seperti ini. Kehidupan yang buruk dan jauh dari kata bahagia. Vio melihat amplop cokelat di tangannya. Jika dia menyerah saat ini, bagaimana dengan nasib ayahnya? "Kamu harus bangkit lagi, Vio. Ada bapak yang harus kamu rawat dan bahagiakan. Apa kamu akan membiarkan bapak terus seperti itu?" Vio berusaha membangkitkan semangat yang hampir saja tenggelam. Dia punya alasan untuk tetap berjuang. Vio hendak melangkah, tetapi ponsel yang ada dalam kantungnya bergetar. Mau tak mau ia harus mengangkatnya terlebih dahulu. "Halo." (____) "Iya, Pak Budi." Wajah Vio terlihat sangat cemas kali ini. Pak Budi adalah tetangga depan rumah Vio yang sering datang bertandang ke rumahnya untuk sekedar menjadi teman ngobrol Handoko, ayahnya. (____) Bibir Vio terbuka, wajahnya berubah sangat pucat kala mendengar jawaban dari ujung sana. "Iya, Pak. Vio segera ke sana. Makasih udah hubungi Vio." Vio mengelap ujung mata yang sudah meneteskan cairan bening yang terasa asin itu. "Vio. Kamu kenapa?" Vio sedikit kaget ketika ada seseorang yang telah menepuk bahunya. "Mbak Zura," ucap Vio tidak sengaja. Bagaimana dia bisa berjumpa dengan Azzura di tempat ini? Padahal ini adalah pinggir jalan. "Kamu kenapa? Kenapa kamu nangis gitu?" tanya Azzura khawatir. Dia memperhatikan Vio sedari tadi, semenjak dari dalam mobil. Dan tak sengaja tadi dia mendengar pembicaraan Vio dengan seseorang dalam telepon, meski tak sepenuhnya. "Itu. Anu, Mbak." Tak sanggup Vio menyelesaikan jawabannya, air mata meluncur dengan deras hingga membasahi pipinya yang telah memerah. Terkena panas terlalu lama memang membuat kulit Vio memerah. "Anu apa, Vio? Kenapa kamu nggak istirahat? Kamu masih luka, lho. Belum sembuh." Azzura nampak begitu khawatir dengan keadaan Vio. Ini semua karena dia, Vio bisa mendapat luka lebam seperti itu. Bukannya menjawab, Vio malah terisak. Sepertinya gadis itu merasa tak kuat lagi. Sungguh ini terasa begitu berat untuknya. "Bapak, Mbak. Bapakku ...." Belum selesai Vio bicara, air mata lagi-lagi mengalir deras membasahi pipinya. Dia merasa begitu terpukul dan hancur kali ini. Dia memang butuh tempat untuk bersandar, tak perlu pura-pura kuat. "Bapak kamu kenapa, Vio?" Zura begitu penasaran, dia tak kalah khawatir. Dia seperti memiliki ikatan terhadap gadis itu. "Bapak--" Kini keduanya telah berada di ruang tunggu rumah sakit. Vio tak henti mengeluarkan air mata dari sudut matanya. Hal yang paling dia takuti adalah kehilangan ayahnya. Begitu dia sangat mencintai orang tua satu-satunya itu. Azzura menepuk-nepuk punggung Vio, memberikan kekuatan untuk gadis itu. Dia ikut merasa sakit melihat Vio yang seperti itu. Zura sudah merasa sayang dengan Vio sejak pertama bertemu. "Bapak gimana, Mbak. Aku udah nggak punya uang lagi. Aku nggak tahu lagi mesti gimana. Aku udah dipecat sama Bu Heni kemarin, aku udah nggak kerja." Vio bercerita di sela tangisnya. Dia benar-benar sesak kali ini. Setidaknya dia harus mengeluarkan semua himpitan yang ada di dadanya. "Sabar, Vio. Semua akan baik-baik saja. Asal kamu kasih ijin aku untuk bantu kamu, aku akan lakuin sebagai balasan karena kamu udah bantuin aku waktu itu." Zura takut Vio akan marah jika dia seenaknya saja membantunya. "Tapi, Mbak. Aku nggak mau berhutang untuk masalah ini." Vio masih pada pendiriannya, dia terlalu takut untuk berhutang karena membuatnya tidak tenang dalam menjalani hidup. "Aku ikhlas mau bantu kamu, jangan kamu pikirkan tentang hutang atau apalah, yang penting untuk saat ini bapak kamu sembuh dulu." Terdapat kebocoran pada ginjal Handoko yang mengharuskan lelaki paruh baya itu harus segera dioperasi, yang tentu saja biayanya tidaklah sedikit. Vio menatap ke arah mata Azzura. Ada ketulusan di sana. Apakah boleh dia menerima bantuan dari wanita yang baru saja dia kenal? "Berpikirlah tentang bapak kamu dulu Vio. Yang penting dia dapat segera tertangani." Kembali Zura meyakinkan Vio untuk menerima bantuannya. Uang seberapa pun tidak berarti untuk seorang Azzura Wijaya. "Baik, Mbak. Saya mau. Saya mau bapak tetap hidup buat nemenin Vio." *** Brian pulang ke rumah dengan suasana hati yang ama buruk. Setiap hari dia harus bertemu dengan Mark karena urusan bisnis. Entah dirinya yang seperti anak kecil atau memang keduanya yang terlanjur tak bisa akur. Namun, pertemuannya dengan Mark sama sekali tak baik untuknya. Azzura mengikuti Brian yang masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu melihat suaminya membanting jas dan juga dasi di atas tempat tidur. Dia dengan sigap segera memunguti kedua benda itu. "Kamu kenapa, Mas?" tanya Azzura. Akhir-akhir ini memang suaminya itu terlihat lebih sering uring-uringan. Dia belum pernah melihat Brian seperti ini sebelumnya. Brian melirik Azzura sekilas. Entah apa yang dia rasakan kini pada istrinya itu? Rindu, benci, marah, kecewa. Semua perasaan campur aduk jadi satu. Brian mendengkus, dia membuang muka. Brian tak mau bingung lagi dengan perasaannya. Jika dia menatap ke dalam manik mata Zura, pasti dia akan kembali luluh pada pesona istrinya itu. "Mas ...." Zura memeluk Brian dari belakang. Tangannya menyentuh titik-titik sensitif suaminya yang selama ini selalu bisa membuat Brian luluh, semarah apa pun. "Lepas, Zura!" Brian mencampakan tangan Azzura. Dia sedikit menghindar dari sentuhan istrinya itu. Perasaannya kacau kali ini. Dia memejamkan matanya. Perdebatannya dengan Mark tadi sungguh membuatnya geram. Bagaimana bisa seseorang membangun jalan dengan bahan baku kualitas buruk hanya untuk keuntungan pribadinya? Tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan prinsip perusahaan Brian. "Mas ...." Azzura kembali mendekati Brian, tetapi lelaki itu lagi-lagi menghindar. "Kamu masih marah padaku, Mas?" tanya Azzura. Brian sedikit melirik ke arah Zura, seakan hendak berkata 'sudah tahu nanya!'. "Apa yang membuat kamu begitu marah sama aku, Mas?" "Kamu tahu sendiri alasannya, Zura. Tarik kata-kata kamu waktu itu atau aku akan mendiamkanmu!" ancam Brian. Rupanya dia tak main-main kali ini. Kemarahan Brian benar-benar sudah tak bisa dibendung. Azzura menggeleng, "Nggak, Mas! Aku tetap minta Mas buat nikah lagi. Dan aku udah siapin semuanya." Azzura mengucapkannya sembari memalingkan wajahnya. Dia tak sanggup melihat Brian jika sudah seperti ini. "Ap-apa? Kamu pikir aku ini apa, Zura? Barang yang bisa seenaknya saja kamu bagi-bagi? Aku masih punya hati terlebih perasaan yang tak bisa seenaknya saja kamu atur!" Brian murka. Azzura masih diam dengan alasannya menyuruhnya menikah lagi. Tetapi seenaknya saja dia sudah mempersiapkan semuanya. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran istrinya itu? "Aku tak pernah berpikir kamu adalah barang, Mas. Aku melakukan ini demi kebaikan keluarga kita." "Kebaikan? Kebaikan yang mana? Apa kamu yakin aku akan adil pada kalian berdua? Apa kamu yakin cintaku bakal sama ke kamu seperti sebelumnya? Apa kamu yakin, Azzura?!" Baru kali ini Brian begitu marah pada Azzura. Bahkan saat ini, Brian sangat ingin membanting apa pun yang ada di sana. Dia ingin meluapkan semua kekesalannya saat ini pada apa pun yang ada di dekatnya. "Untuk masa depan keluarga kita. Kamu dan Kyra." Azzura berusaha menggenggam tangan Brian. Namun, lagi-lagi Brian menghempaskannya. "Cukup, Zura! Cukup!" Brian merendahkan suaranya. Dia memijit keningnya. "Biarkan aku sendiri."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN