Bab 11 Kejutan

1005 Kata
Setelahnya dia pergi dari kamar meninggalkan Zura seorang diri. Jika diteruskan, Brian takut tak akan bisa mengontrol emosinya. Sepeninggalan Brian, Zura hanya tergugu. Dia bingung mencari cara untuk meyakinkan Brian tentang permintaannya itu. Brian yang masih mengenakan kemeja kerjanya kembali masuk ke dalam mobilnya. Dia butuh udara segar agar pikirannya kembali waras. Mobil Rolls Royce berwarna silver keluar dari halaman rumah megah bernuansa Eropa itu. tak ada senyuman apalagi keramahan dari pengendaranya. Dia merasa terhina atas permintaan sang istri. Apa Azzura berpikir jika dia adalah lelaki yang akan gila dengan banyak perempuan? Brian mengendarai mobilnya seperti orang kesetanan. Bahkan dia berkali-kali menyalip mobil di depannya seperti seorang pembalap. Brian bahkan tidak memedulikan nyawanya, seandainya dia mengalami kecelakaan kali ini. Tak berselang berapa lama, mobil Brian terparkir di halaman sebuah kelab malam. Dia memang sudah jarang masuk ke tempat ini, tetapi entah kenapa Brian kembali masuk ke tempat ini. Brian masuk ke dalam kelab itu dengan langkah gontai. Pikirannya semrawut antara pekerjaan dan juga Azzura. Mengapa persoalan yang seperti ini datang bersamaan? Tak butuh waktu lama bagi Brian untuk duduk di depan meja bartender. Dia segera memesan sebuah minuman yang telah lama tidak dia konsumsi. Malam ini Brian hanya ingin melupakan semuanya. Brian meraih gelas yang ada di hadapannya. Bibirnya menyentuh bibir gelas dan mencoba mencecap cairan itu. Dia bergidik, tenggorokannya seolah terbakar. Sudah lama sekali Brian tak menikmati cairan laknat itu. "Pahit," gumamnya. Brian kembali meneguk alkohol itu. Dia tak lagi peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya kini. Habis satu gelas, Brian memesan gelas berikutnya. Begitu terus hingga tak sadar jika dia telah menghabiskan hingga beberapa gelas. Kini yang tersisa hanya rasa pusing. Kepalanya terasa begitu berat. Brian benar-benar telah kehilangan kesadarannya kini. Dengan mata terpejam, pipi kanannya telah menempel di meja bar. "Tuan! Tuan! Tuan!" *** Brian membuka matanya. Dia merasa ada sesuatu yang panas yang menggelitik indera penglihatannya tadi. Brian berkedip, mencoba menyesuaikan matanya dari yang terpejam hingga kini melihat sesuatu yang terang. "Aku ... di rumah?" Dia sangat hapal dengan suasana kamarnya. Ada foto keluarganya yang terpampang dengan indah dan megah saat dia membuka mata. "Sudah bangun, Sayang." Azzura masuk ke dalam kamar dan tersenyum manis pada suaminya itu. Dia masuk dengan membawa kemeja dan satu stel jas. Azzura menyampirkannya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya. Setelahnya dia menghampiri Brian yang masih menatap kebingungan ke arahnya. Tak ada raut kemarahan apalagi kekesalan pada wajah Azzura. Dia bersikap biasa saja seolah semalam sama sekali tak ada pertengkaran. "Cepat bangun, Mas. Kamu mandi dulu." Senyuman itu sungguh bisa membuat Brian luluh. Dia langsung beranjak dari kasurnya dan masuk ke kamar mandi. Terdengar suara guyuran shower pertanda Brian telah melakukan ritualnya. Azzura ganti duduk di atas kasur. Matanya tak lepas dari memandang potret keluarganya. Dia, Brian, dan juga Kyra nampak tersenyum bahagia di sana. Ingatan Azzura kembali pada saat pengambilan foto itu, 3 tahun yang lalu. Saat Kyra masih berusia delapan tahun. Hari itu tepat sembilan tahun mereka menikah. Benar, foto itu diambil saat ulang tahun pernikahan mereka yang ke sembilan. Saat itu semua masih baik-baik saja. "Ah ...!" Azzura mendesah. Dia mengusap sudut matanya yang sudah berair. Tak berselang berapa lama, pintu kamar mandi terbuka. Brian muncul hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Azzura menolah, Brian masih sangat tampan. Perutnya juga tidak buncit seperti rekan-rekan seusianya yang lain. Perutnya nampak ada lipatan roti sobeknya, yang selalu bisa membuat segala yang ada di diri Azzura bergejolak. Meski usia Brian sudah menginjak umur 35 tahun, dia tetap saja tampan dan menawan. Jika saja pagi ini tak ada acara penting, maka dia akan memilih untuk dimanjakan oleh tubuh itu. Azzura bangkit, dia mengambil setelan yang tadi dibawanya dari luar. Dia berjalan ke arah Brian yang masih membuka lemari pakaiannya. "Pakai ini!" ucap Azzura sambil tersenyum ke arah suaminya itu. Brian mengangkat sebelah alisnya. Dia merasa ada yang aneh saat ini, tapi Brian tak mau terlalu ambil pusing. Masih dengan wajah datar, Brian menerima jas yang diberikan oleh Zura. Ini hari Minggu, kenapa Azzura memberinya jas? "Ada apa, Zura?" "Pakailah, aku ingin melihatmu tampan pagi ini." Seperti sebuah sihir, perkataan Azzura barusan mampu mengendalikan pikiran Brian. Terlebih kesadarannya yang belum sepenuhnya kembali, dia seakan sedang mendengarkan sebuah doktrin. "Aku semalam mabuk, siapa yang membawaku pulang?" Dalam hati Brian tersenyum, dia pikir Azzura sedang merayunya dan pasti dia sudah menyadari kesalahannya. Azzura mengangguk. Bibirnya lagi-lagi tersenyum. "Aku membawamu pulang, Sayang." Brian menyunggingkan senyum. 'Pasti saat ini Azzura sedang menyesal karena memaksaku untuk menikah lagi,' batin Brian. Dia merasa menang kali ini. Brian mengambil jas itu dari tangan Azzura. Dengan cepat dia memakai jas itu. Saat ini, lelaki itu tengah melihat pantulan dirinya di cermin. "Kamu selalu saja tampan." Azzura memeluk Brian dari belakang. Dia membenamkan wajahnya di punggung suaminya itu. Zura memejam, dia menghirup dalam-dalam aroma maskulin dari tubuh suaminya. Brian memejamkan matanya, dia merasakan kerinduan ini. Tubuh Azzura selalu menjadi candu untuknya. Ingin sekali saat ni merengkuhnya dalam dekapan dan mengungkungnya di bawah tubuhnya. Azzura melepaskan pelukannya. "Ayo, Mas. Kita keluar," ajak wanita itu. Brian sebenarnya masih bingung dengan semua ini, tetapi dia hanya diam tak mengucapkan sepatah kata pun. Brian mengikuti Azzura seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Mereka berdua turun dari kamar masih dengan bergandengan tangan. "Di mana Kyra?" Biasanya Kyra sudah teriak-teriak dan berlarian pada jam segini. Dia sama sekali belum mendengar suara anak kesayangannya itu. "Kyra jalan-jalan sama Mama. Dia dijemput Pak Abe pagi-pagi sekali. Sepertinya mereka akan pergi ke puncak." Brian berhenti, "Kita mau ke mana?" tanya Brian. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Azzura pun ikut menghentikan langkahnya. Mereka kini masih berada di tangga. Tinggal selangkah lagi wanita itu tiba di lantai bawah. Azzura berbalik, dia melihat Brian dengan kedua manik mata sehitam jelaganya, "Kita akan pergi berdua, hanya itu yang bisa kukatakan." "Tapi, ke mana Zura?" tanya Brian penasaran. "Kejutan pokoknya." Azzura masih tak mau memberi tahu Brian ke mana mereka akan pergi. "Tapi--" "Mas cukup ikut saja. Aku akan beri kejutan." Brian masih bingung, haruskah dia mengikuti keinginan Azzura saat ini? Akan ke mana istrinya itu membawanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN