“WOI... NGELAMUN MULU...” ucap Bayu dengan lantang yang berhasil membuat Bara terjingkat seketika.
“Eh gila lo, ya! Kalau gue jantungan gimana!” omel Barra seraya ia dorong tubuh Bayu.
“Ahahahahaha... hahahahaha... ya abisnya, lo ngapain sih ngelamun mulu? Tenang aja, Bre, gue yakin, kok, kalau si, Chafiya, itu juga suka sama, lo!” ledek Bayu seraya ia duduki kursinya.
“Eh, g****k, kenapa apa-apa selalu lu kait-kaitin sama si, Fiya, sih! Sedeng, emang nih manusia!” omel Barra lagi yang kembali membuat Bayu tergelak.
“Kebaca, Bre, sama gue tuh kebaca kalau rasa dan tatapan lo itu beda ke doi. But bye the way, lo jangan ngelamun mulu. Kemarin nih, ya, musang tetangga gue tuh mati, Bre, karena terlalu sering melamun,” ledek Bayu lagi yang begitu malas Barra mendengarnya. Walaupun memang ia pun juga dapat merasaka setiap keanehan itu ketika bersama Chafiya. Yang seakan-akan, ia teringat kepada seseorang. Namun entah siapa orang itu.
“Hadeuh... si anying, yang satu ini tu, selalu aja ngaco kalo perutnya kosong. Nih, makan dulu nih iar gak oleng,” jawab Barra seraya dengan kasar ia suapkan sebuah ayam goreng berukuran cukup besar kemulut Bayu yang membuatnya selit bernapas.
Eeeemph...
Bayu pun berusaha untuk mengeluarkannya. “Wah parah lo, Bar! Kalau gue tersedak terus is death, emangnya lo siap apa masuk penjara!” omelnya yang sama sekali Barra tak mengindahkannya. Sebab kini ia tengah menikmati makan malamnya dengan santai.
Seusai makan malam mereka kembali melanjutkan permainan mereka. Dan kini sama seperti kemarin, Bayu yang lebih dulu tertidur karena rasa kantuknya. Sedangkan Barra, kini ia tengah menatap nanar layar ponselnya. Bukan karena ia tengah bermain game, juga bukan karena ia memandangi foto-foto masa kecilnya. Tapi karena sebelumnya Papa kembali menghubunginya namun ia memilih untuk merubah setelah ponselnya menjadi senyap. Hingga kini ia dapati ada sebelas panggilan tak terjawab dan satu pesan untuknya. Karenanya dengan malas mulai ia buka isi pesan itu dan ia dapati sebuah pesan yang cukup panjang didalamnya.
[Assalamu’alaikum, Barra. Papa tahu, kamu pasti akan sangat malas menerima telpon dari, Papa. Honestly, Papa, selalu mengkhawatirkan kamu, Nak. Papa selalu ingin tahu sedang apa kamu dan bagaimana keadaan kamu. Karena memang saat ini cuma kamu yang, Papa, punya. Maaf, jika selama ini, Papa, tidak pernah bersikap hingga seperhatian ini kepada kamu, Nak. Walau sebenarnya sejak dulu, Papa juga selalu saja mengkhawatirkan kamu. Tapi, Papa, egois dan selalu saja jauh lebih memetingkan soal pekerjaan. Papa, sayang kamu. Papa ingin tebus semua dosa, Papa, ke kamu, Nak. Dan, Papa, juga gak akan pernah peduli sebenci apapun kamu kepada, Papa. Selamat tidur, Barra. semoga pagimu indah dan kamu bisa semangat belajar,]
Membacanya tentu membuat Barra tak sanggup untuk menahan airmatanya. Namun rasa kesalnya itu juga terus saja mengggebu. Hingga kini ia lemparkan ponselnya dengan kasar ke ranjangnya. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangannya sebab kini ia sedang terisak namun berusaha untuk ia tahan. Ia acak rambutnya frustrasi dan kembali ia menahan dirinya agar tak berteriak. Sebab ia tak ingin jika sampai Bayu terbangun dan akan bertanya-tanya. Yang pada akhirnya ia memilih untuk pergi ke balkon untuk dapat menenangkan dirinya. Disana Barra terisak namun tetap berusaha agar tak berteriak.
“Gak seharusnya lo buka pesan itu, Bar! Gak seharunya!” umpat Barra penuh penekanan disetiap katanya. Namun ia mengatakan semua itu setengah berbisik karena ia tak ingin Bayu mendengarnya.
***
Adzan Subuh yang kali ini berkumandang, tak membuat Barra terbangun dari tidurnya. Sebab semalam memang Barra begitu sulit untuk tertidur karena terus terngiang dikepalanya setiap perkataan sang Papa. Hingga kini, lebih dulu Bayu yang terbangun dan ia memilih untuk pergi mandi karena ia tak ingin membangunkan Barra. Bayu hanya berharap jika nantinya Barra mau salat berjamaah dengannya. Namun nihil, ketika kini Bayu sudah kembali keluar dari kamar mandi, ternyata Barra sudah tak lagi berada disana. Ya, tak lama setelahnya memang Barra segera beranjak dari ranjangnya dan pergi ke kamar tamu meski rasa kantuk masih mendera dirinya. Sebab Barra tak ingin jika Bayu akan kembali memaksanya untuk beribadah.
“Udah ngilang aja tuh orang! Jangan-jangan, tuh jin udah bawa si, Barra, ke dunia lain lagi, hih serem. Meding gue buru-buru salat aja deh,“ monolog Bayu yang dengan segera ia laksanakan salat Subuhnya.
Kini kembali ia dapati Barra di meja makan. Namun kali ini ia lihat seorang Barra yang tengah melahap roti panggangnya. “Alhamdulillah, Bar. Lo ada disini. Gue kira lo udah digondol sama tuh, Om jin,” ucapnya seraya ia elus dadanya.
“Eh, nying, maksud lo apa ngomong kayak gitu? Ngadi-ngadi ae lo! Udah buruan sana sarapan! Gue gak mau ya kalau kita telat gara-gara lo!” omel Barra dengan tatapan tajamnya.
Kini Bayu mulai menduduki kursinya. “Ya, abisnya, Bar. Kan udah lama lo gak salat. Jadi ya gue yakin lah kalau di badan lo itu udah ada sesosk Om jin jahat yang bersarang disana. Tapi kayaknya nih ya, sekarang si, Om jin, itu lagi jadi baik. Karena tumbenan lo semangat banget ke sekolah. Gak bingung mau cabut kemana,” jelasnya yaang membuat Barra menggulum senyumnya.
“Gue rasa, Om jin, itu tetap jahat deh, Bay. Karena yang buat gue semangat kesekolah bukan buat belajar. Tapi karena hari ini ada pelajaran olahraga,” jawab Barra yang tentunya mengecewakan Bayu. Hingga kini Bayu tak lagi berpendapat. Ia pun hanya menggelengkan kepalanya seraya ia lahap roti panggangnya dengan kasar.
Kali ini mereka kesekolah tak satu mobil. Karena memang hari ini hari terakhir Bayu menginap disana. Bayu punya keluarga yang menatinya, dan Bayu juga bukan seorang anak yang ingin lari dari keluarganya. Barra pun hanya bisa menerima hal itu. Dan sudah di pastikan, malam nanti ia akan kembali kesepian seperti malam-malam sebelumnya. Barra kemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, karena kini ia kembali melamun. Ia tengah melamunkan mengenai sebuah pesan yang Papanya berikan. Bahkan saat ia terbangun dari tidurnya pun sang Papa sudah mengirimkan sebuah pesan. Dan tentunya tak ingin Barra membukanya karena ia yang tak ingin jika moodnya akan memburuk dan membuatnya kemballi uring-urigan.
“Percuma, Pa! Percuma mau seperti apapun, Papa, berusaha untuk menebus segalanya dan kembali mengambil hati, Barra. Karena kenyatannya saat ini adalah, hati, Barra, sudah mati! Barra, gak lagi punya rasa empati sama, Papa! Jadi semua usaha keras yang, Papa, lakukan untuk, Barra, itu hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan!” umpat Barra dengan wajah penuh amarah.
***
“Setiap insan, sudah pasti pernah berbuat kesalahan. Karena yang tiada salah hanyalah, Tuhan. Makan cobalah tuk maafkan, jika memang kau ingin hidup tenang.” -Tulisannisa-
To be continue