1. Fight
Para siswa dan siswi SMA Citra Bangsa tengah mengerubung membentuk suatu lingkaran. Perkelahian hebat kini kembali berlangsung didalam kelas XII IPA 2.
Bugh...
Sebuah tinjuan keras mendarat di pipi seorang Barra. Barra Zavier, Namanya. Mereka semua memanggilnya Barra. Seorang pemuda tampan yang usianya baru saja genap tujuh belas tahun. Tingginya semampai, berhidung bangir, mata yang coklat, alis tebal dan rahang yang kokoh. Tak lupa kulit putih bersihnya yang membuatnya semakin memesona para kaum hawa. Ya, dia adalah seorang siswa SMA kelas duabelas, namun sudah memiliki kehidupan yang begitu kacau. Bolos sekolah adalah hobinya, pertengkaran disekolah bagai makanan sehari-hari baginya, dan ruang BK adalah langganannya. Ia pergi kesekolah hanya karena muak dengan rumahnya sendiri, dan jauh lebih sering menongkrong di warung yang tak jauh dari sekolahnya.
Darah segar itu kini mulai mengalir dari sudut bibirnya. Namun dengan perlahan ia menyekanya dan tanpa babibu ia layangkan tinjuan yang keras pula di wajah Darren, musuhnya. Kini darah segar itu mengalir dari sudut bibir Darren. Tak sampai disitu, tak cukup satu tinjuan yang Barra layangkan diwajahnya. Sebab memang belum sempat Darren bangkit dari posisi tersungkurnya, kembali Barra layangkan sebuah pukulan yang jauh lebih keras dari sebelumnya. Hingga wajah Darren kini babak belur dibuatnya. Kini kedua tangan Barra mulai mencengkram kerah seragam Darren seraya ia tatap wajah musuhnya itu penuh ejek. Merasa puas atas apa yang telah ia balaskan.
“Jadi cuma segitu aja kemampuan lo? Pecundang! Kalau emang kemampuan lo belum sepadan sama gaya lo, gak usah lo coba cari keributan!” hina Barra dengan gaya pongahnya. Seraya dengan kasar ia lepaskan cengkramannya dengan kasar.
Belum sempat Barra pergi dari sana, sudah lebih dulu ada sebuah tangan yang mencekal satu lengannya. “Ikut gue lo, Bar! BK udah nunggu lo!” ucap Davin, si ketua osis.
Tanpa penolakan Barra pun mengikutinya. Sebab memang bukan untuk yang pertama kalinya ia memasuki ruangan itu. Darren yang masih tergeletak disana segera di bawa ke ruang UKS. Dan ketika kini sudah berada di hadapan guru BK. Barra selalu merasa bagai seorang napi yang tengah dimintai keterangan. Sebab selalu saja di tatap dengan tatapan yang tajam juga ditanya dengan nada yang terdengar sinis. Namun tetap ia menyikapinya dengan begitu santai tanpa ia merasa ada sebuah beban yang berarti dalam hidupnya. Dan sikapnya yang seperti itu, selalu saja membuat Bu Mirna, yakni guru Bknya naik darah seketika.
“Kenapa orangtua kamu gak datang juga? Barra kamu dengar Ibu, kan! Ibu sedang bertanya sama kamu! Kenapa kamu selalu saja bersikap sebringas itu dengan teman sekelasmu sendiri? Ini bukan untuk yang pertama kalinya kamu membuat Darren babak belur, Barra!” bentak Bu Mirna yang membuat Barra semakin muak berada di sana. “Barra jawab, Ibu!” bentaknya lagi.
“Percuma saja, Bu. Papa, saya gak akan pernah memedulikan saya jika sudah sibuk dengan bisnisnya. Sudah berulang kali juga saya menjelaskan jika, Darren, yang lebih dulu mencari masalah, dengan menghina orangtua saya, tetap saya kan ujung-ujungnya yang salah. Dan ini,” Barra tunjuk lukanya di sudut bibirnya seraya tersenyum miring. “Ini saya juga terluka. Dan bisa di lihat di cctv jika, Darren, yang lebih dulu memukul saya,” jelas Barra yang berusaha bersikap setenang mungkin. walau sebenarnya kini ia tengah emosi.
“Oke baik. Kita buktikan saja, Barra. Jika disana terbukti kamu yang lebih dulu melukai Darren, sekolah akan menskors kamu selama satu minggu kedepan!” jawab Bu Mirna dengan tegas.
“Baik, Bu. Jika begitu saya permisi ke kelas,” jawab Barra acuh tak acuh. Dan Bu Mirna hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.
Ketika kini Barra sudah keluar dari ruang BK, ternyata ia sudah ditunggu dengan para siswi di depan ruangan itu. seperti biasa mereka mengerubungi Barra dan berusaha untuk mencari perhatiannya.
“Kak Barra, aku siap kok bersaksi kalau, Kak Darren, yang mulai duluan. Karena tadi aku juga ada disana tadi, Kak,” oceh Bianca. Salah satu pengagumnya dari kelas sebelas.
“Iya, Bar. Gue juga lihat kok kalau si, Darren, yang pancing lo dengan mukul lo sekeras itu,” imbuh Yola, teman sekelasnya, seraya ia gamit lengan Barra tanpa permisi.
Namun kini, dengan kasar Olivia menepiskan gamitan Yola. Olivia adalah ketua cheer leaders yang cukup senior dan ditakuti disana. Wajahnya cantik namun ia begitu sombong. Sehingga kini, Yola tak membantah apapun dan ia hanya menundukan kepalanya sebab ia tak ingin dimaki oleh Oliv dan teman satu gengnya. Karenanya, Oliv pun tersenyum miring seraya ia naikan dagu Yola dengan jari telunjuknya.
“Nyali lo gede juga ya ternyata, beraninya lo sentuh, Barra, di depan mata gue! Udah bosan lo sekolah disini?!” bentak Oliv disertai tatapan tajamnya.
“Mm-mmaf maaf, Liv. Tadi gue refleks aja karena khawatir sama, Barra,” jawab Yola dengan bibir yang gemetar. Membuat Barra yang mendengarkan percakapan mereka merasa begitu muak dan ingin segera pergi dari sana. Namun sayang, satu tagannya masih digenggam erat oleh Oliv.
“Apa lo bilang? Khawatir? Barra, gak perlu lo khawatirin. Karena udah ada gue disini yang bakalan selalu ada buat dia! Sekarang mending lo pergi dari sini! Bubar semuanya bubar!” pekik Oliv dan mereka semua segera enyah dari sana.
Barra yang semakin merasa muak dengan sikap Olivia pun kini dengan segera melepaskan genggamannya itu dengan kasar. “Liv, gue harap ini yang terakhir ya lo sok-sokan posesifin gue didepan banyak orang! Lo bukan siapa-siapa gue! Dan gue gak butur perhatian busuk lo itu!” makinya seraya ia berlalu begitu saja meninggalkan Olivinya yang masih mematung disana bersama dengan Bella dan Rissa temannya.
“Bar... Barra... wait... kok lo tega ngomong gitu sih, Bar, sama gue... Bar... Barra...” pekik Olivia dengan kerasnya. Namun tak sedikit pun Barra mengindahkannya.
Barra berjalan cepat menuju kelasnya. Walau sebenarnya kini masih ada satu pelajaran terakhir sebelum jam pulang sekolah, namun Barra yang sudah merasa bosan berada di sana, kini mulai bersiap untuk kemali membolos. Namun sayang, baru saja ia hendak melangkah pergi, sudah lebih dulu seorang guru memasuki kelasnya. Hingga kembali ia duduki kursinya dengan perasaan kesal yang tak karuan.
“Oh, s**t! Gara-gara, Olivia, gue gagal cabut hari ini!” umpatnya setengah berbisik.
Pelajaran terakhir ialah Bahasa Indonesia. Sebuah pelajaran yang sebelumnya begitu Barra gemari. Sebab memang sang Mama yang seorang guru Bahasa Indonesia yang selalu saja mengajarinya dikala ia mendapatkan tugas itu. Namun tidak dengan saat ini, semua pelajaran teramat ia benci hanya ada kekesalan dan kekesalan lah yang memenuhi isi otaknya kini.
***
“Dendam memang sulit untuk dihilangkan. Namun dendam akan menjadi penghambat sebuah kebahagiaan.“ -Tulisannisa-
To be continue