Waktu pulang sekolah telah tiba, Bayu dan Bima lebih dulu ke toilet sebelum pulang, sedangkan Barra, kini sudah lebih dulu pergi ke parkiran tanpa Barra ketahui, kini Olivia tengah kembali berusaha untuk mendekatinya. Dengan sengaja, Olivia berjalan dihadapan Barra. Sebelumnya memang ia sudah meminta kepada temannya untuk meletakan sebuah batu disana sehingga seakan-akan ia tersandung dan terjatuh. Barra yang melihatnya sebenarnya begitu malas untuk menolongnya. Namun rasa bersalahnya pada hari itu, membuat Barra ingin menebusnya di hari ini. Hingga kini Barra memilih untuk menolongnya, dengan Barra julurkan tangannya kepada Olivia. Dan tentunya, Olivia tengah merasa senang bukan main saat ini.
“Ayo gue bantu,” ucapnya acuh tak acuh.
“Thaks, Bar,” jawabnya dan Barra menjawabnya dengan anggukan juga senyuman. Sebelum kini ia hendak berlalu begitu saja. Namun lebih dulu Olivia mencekal satu tangannya. “Eh, Bar, wait wait wait,” ucapnya lagi yang membuat Barra menghentikan langkahnya dan menatapnya sinis.
“Apalagi sih, Liv? Please, lo gak usah ganggu gue lagi, ya,” ucap Barra sinis seraya ia lepaskan genggaman tangan Olivia dengan kasar.
“Bar, sorry karena beberapa hari ini gue diemin lo. Gue marah sama lo. Tapi nyatanya, gue gak pernah bisa bener-bener marah sama lo. Gue kangen banget sama lo. Dan gue gak kuat karena gue udah nahan rasa rindu gue ini cukup lama. Bar, please, kita gak usah diem-dieman lagi ya. Gue udah maafin lo, kok. dan gue bakalan ngelupain soal malam itu,” ucap Olivia panjang lebar. Yang sungguh hal ini membuat Barra begitu kesal. Sebab ia yakin betul jika setelah ini Olivia akan kembali mengganggu hidupnya yang sudah mulai menenang.
“Liv, I swear, ya. Lo gak perlu minta maaf atas dasar apapun ke gue, cause honestly selama beberapa hari ini hidup gue bener-bener jauh lebih tenang karena lo udah menjauh dari gue. So, akan jauh lebih baik seperti itu. Karena gue yakin setelah kejadian malam itu, Darren akan jauh lebih mencintai lo dan lo bisa bahagia sama dia, excusme,” jawab Barra dengan tegas, yang kini segera kembali ia tinggalkan seorang Olivia yang hatinya terluka olehnya.
“Bar wait... gue maunya sama lo, Bar... gue gak pernah suka apalagi cinta sama, Darren, yang selalu berusaha buat jatuhin lo...” pekik Olivia dengan begitu lantangnya. Yang kata-kata terakhirnya itu membuat Barra merasa cukup kesal dan kini ia balikan tubuhnya dan kembali ia menghampiri seorang Olivia dengan tatapan yang sulit diartikan. Membuat Olivia cukup yakin jika saat ini Barra sudah mulai menerima dirinya.
Kini Barra sudah berada tepat dihadapan Olivia dan mulai menatapnya tajam. “Lo, denger gue baik-baik ya, Liv. Lo gak pernah suka lihat gue berusaha dijatuhkan dan diusik sama laki-laki yang cinta mati sama lo. Tapi sama sekali juga lo gak nyadar kalau lo penyebab semua kekacauan gue ini. Lo, yang udah buat dia mikir kalau gue adalah penyebab utama yang membuat dia kesulitan buat dapatin lo! Dia juga mengira kalau gue yang sengaja buat lo jadi terobsesi sama gue. But nyatanya, emang lo yang sakit! Lo juga yang udah buat semuanya jadi ribet! Apa gak bisa lo mikir sampai kesana? Yang gue tahu, lo itu seorang siswi yang cerdas! So, pikir pakai otak lo, Liv!” jelas Barra panjang lebar. Yang setelahnya, kini kembali Barra meninggalkan seorang Olivia yang mulai menitihkan airmatanya, karena lagi-lagi ia semakin tersakiti.
“No, Bar! Noooo! Gue gak sakit! Gue juga sama sekali gak terobsesi sama lo! Tapi ini cinta, Bar! Gue bener-bener cinta sama loooo!” pekik Olivia lagi dengan lantang, namun kali ini Barra tak lagi mengindahkannya. Karena kini ia segera memasuki mobilnya dan memilih menunggu Bayu juga Bima didalam mobilnya.
Karena rasa kesalnya. Kini Barra pukuli stir mobilnya dengan cukup keras. “Aaaaargh! Kenapa sih tuh perempuan masih gak ada jeranya juga! Gue rasa dia emang udah bener-bener sakit! Ini semua udah keterlaluan! Dan menyedihkannya gue gak tahu lagi harus gimana biar dia gak ganggu gue lagi! Aaaaaaargh!” umpat Barra yang tak ia sadari jika kini Bayu juga Bima sudah berada disana.
“Lah, Bar, lo kenapa?” tanya Bayu keheranan, seraya ia mengambil posisi duduk disamping Barra.
“Eh tangan lo sampai luka tuh, bentar-bentar,” imbuh Bima seraya ia mabilkan plester yang tersedia di kotak obat milik Barra lalu segera ia berikan pada Barra.
Barra tarik napasnya dalam seraya ia buang dengan kasar. “Oliv. Dia balik ngejar gue lagi. sumpah ya gue gak habis pikir sama tuh perempuan. Gak tahu lagi gue harus ngelakuin apa ke dia biar dia benar-benar pergi dari kehidupan gue!” umpatnya masih penuh amarah.
“Bar calm, Bar. Lo musti calm ngadepin cewek macam dia. Dia itu emang parah sih menurut gue. But, gue rasa bakalan susah buat lo bisa bikin dia gak lagi berusaha ngedapetin hati lo. So, lebih baik sekarang ini lo jangan terlalu pikirin dia. Karena masih banyak hal positif yang bisa lo lakuin juga lo pikirin,” jelas Bima dengan hati-hati.
“Bener, Bar, apa yang, Bima, bilang. Wanita yang udah obsesi kayak dia itu gak akan mikir sudah sejauh apapun lo nyakitin dia. So, lebih baik lo cuek aja soal dia,” imbuh Bayu seraya kini ia tepuk pelan bahu Barra.
“Mana mungkin gue bisa calm dan cuek. Kalau nyatanya emang dia hal yang paling ganggu hidup gue! Kalau emang dia yang paling bikin gue muak berada di sekolah! Ah udah lah. Gak ada gunanya juga kita bahas dia. Mending sekarang lo tancap gas mobil gue, Bay! Gue udah muak banget sama tuh cewek dan gue gak mau kalau sampai dia susulin kita lagi!” jawab Barra lagi masih dengan emosinya. Yang kini dengan segera Bayu pun menuruti apa kemauannya agar tak lagi terjadi keributan.
Seebnarnya, Barra masih ingin Bayu dan Bima kembali menginap dirumahnya, namun sayang, Bima yang harus kembali membantu sang Ibu mengantarkan banyak pesanan. Juga menjaga kedua adiknya. Hingga hari ini, hanya seorang Bayu yang akan menginap disana. Kini baru saja mereka tiba dirumah Barra. Dan Bima memilih untuk langsung pulang karena memang sang Ibu yang saat ini sudah begitu menunggu kedatangannya. Barra tak lagi memaksanya karena Barra pun tahu situasinya. Justru, ia begitu bangga dengan sosok Bima yang memang selalu bisa ia jadikan sebagai inspirasi. Selain pintar dan bijak, ia juga sesosok pemuda yang taat akan agama juga pekerja keras.
Kini Barra pandangi kepergian Bima dengan senyuman manisnya. ‘Salut gue sama lo, Bim. Ditengah-tengah kehidupan lo yang serba kekurangan, lo tetap menjalaninya dengan baik bahkan bisa jauh lebih baik dari gue,’ gumamnya dalam hati. Membuat Bayu yang kini memang tengah memerhatikannya pun cukup merasa aneh dengan sikap Barra.
“Lo kenapa, Bar? Sampe mesam-mesem begitu ngelihatin si, Bima? Lo masih normal kan, Bar?” tanya Bayu yang membuat kedua sorot mata Barra menajam.
Barra dorong kepala Bayu cukup keras. “Lo, oon jan dipiara napah! Gue tuh lagi kagum sama sobat super kita yang satu itu. Dia tuh paket lengkap. Bukan cuma ganteng. Tapi juga pinter, salih dan pekerja keras! Beda jauh tuh sama lo. Apalagi sama gue. So, gue kagum sama dia,” jelas Barra yang kini tanpa berkata ia berlalu begitu saja meninggalkan seorang Bayu yang masih bergeming disana.
“Wah, songong nih manusia! Tapi apa yang dia bilang emang bener juga sih,” gumam Bayu yang kini tanpa berkata lagi ia pun mengekori Barra.
Kini mereka baru saja selesai mandi. Kembali mereka memilih untuk bermain playstation bersama. Sejak kemarin sama sekali Papa tak menghubungi Barra sebab memang perbedaan waktu yang menyulitkan mereka untuk saling berkomunikasi. Waktu di Jakarta lebih cepat tujuh jam ketimbang waktu London. Kini waktu di indonesia tengah menunjukan pukl lima sore, yang itu artinya di London tengah menunjukan pukul sepuluh pagi. Sebenarnya pagi ini ada meeting penting yang harus segera Papa hadiri, namun ia memilih untuk lebih dulu meluangkan waktunya untuk sang putra. Namun meski begitu, sebenarnya Barra dapat mendengar dikala berulang kali ponselnya bergetar, namun karena ia malas untuk menerimanya, maka ia memilih untuk mendiamkannya. Seakan ia tak pernah mengetahuinya. Hingga kini, seorang Bayu yang kembali mengingatkannya.
Barra masih saja terfokus pada layar televisinya saja saat ini. “Bar, itu, Bokap, lo yang nelpon. Lo gak ada niatan buat angkat dulu gitu?” ucap Bayu hati-hati. Dan kini Barra hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala. “Tapi, Bar. Siapa tahu itu penting. Di London kan sekarang baru jam sepuluh. Pasti bokap lo itu lagi sibuk-sibuknya sama meetingnya. Tapi, beliau masih nyempetin waktu buat nelpon lo, lho, Bar,” lanjutnya lagi yang membuat Barra cukup risih. Sehingga kini ia banting stik playstationnya dengan kasar.
“Berisik lo, Bay! Jadi, Bokap, hobi banget ganggu anaknya!” umpat Barra yang kini segera mengambil ponselnya dan mulai membawanya ke balkon, sebab ia tak ingin jika Bayu mendengar obrolan mereka. Sedangkan Bayu hanya menggelengkan kepalanya dikala kini memandanginya.
Dengan malas Barra menerima panggilan sang Papa. “Halo,” ucapnya sinis.
‘Halo, Nak. Assalamu’alaikum. Kamu sudah pulang sekolah, Ya? Gimana keadaan kamu, Barra? Baik?’ tanya Papa antusias.
“Wa’alaikumussalam. Iya, aku baik.” jawabnya acuh tak acuh.
‘Alhamdulillah. Maaf ya, Nak. Papa baru sempat hubungi kamu sekarang. Papa, senang karena kamu gak bolos, semangat selalu ya, Nak. Papa yakin kamu bisa lulus tahun ini. Terima kasih, Nak,’ ucap Papa lagi yang sungguh malas Barra dengar. Karena semakin Papa berusaha menyayanginya, ia jauh semakin merasa berdosa karena sikapnya yang tak kunjung membaik kepada sang Papa.
“It’s okay, Pa. Jika dirasa, Papa, sibuk lebih baik Papa memang gak usah menghubungi, Barra. Yaudah, Pa, udah dulu, ya. Lagi ada, Bayu, dirumah,” jawab Barra seraya ia putuskan sambungan telponnya begitu saja. Meski pun ia yakin jika sudah pasti saat ini Papanya itu kembali merasa tersakiti karena sama sekali ia tak balik menanyakan soal kabarnya juga memberikannya semangat.
Barra pejamkan matanya sejenak seraya ia tarik napasnya dalam lalu ia buang perlahan. Setiap ia berusaha melawan sang Papa, juga terus saja ada sebuah kenyerian didadanya tanpa ia tahu bagaimana cara mengobatinya. Kini pun kedua tangannya mengepal dengan bibir yang ia rapatkan. ‘Kenapa, Papa, harus telpon aku, Pa! Kenapa meski, Papa, sudah tidak berada di dekat aku, masih saja, Papa, berusaha untuk menghantuiku! Barra, lelah, Pa! Barra, mau Papa, gak perlu lagi memedulikan, Barra, hingga waktunya nanti, Barra, akan pergi dari rumah ini!’ umpatnya dengan emosi yang berapi-api. Namun kini kembali ia berusaha meredamnya sebelum ia kembali menemui Bayu yang sedang menunggunya.
Melihat kedatangan Barra, Bayu pun tersenyum manis padanya. “Eh gila gila... kayaknya ada yang udah mulai akur nih, ya. Lo telponan lama bener romannya, hahahaha,” ledek Bayu yang memang selalu saja berharap demikian.
Barra pun tersenyum getir menanggapinya. Seraya kini ia lemparkan sebuah bantal yang tepat mengenai wajah Bayu. “Anying, lo ye! Gara-gara lo berisik nih! Gue jadi terpaksa harus angkat telpon dari, Bokap! Udah ya, lo gak usah banyak komen lagi. Kita langsung lanjut main aja daripada lo gue piting lagi kayak waktu di mobil tadi!” ancam Barra seraya ia berjalan menghampiri Bayu.
“Eh iya iya, Bar, kagak lagi-lagi dah, Bar, gue ampun, Bar. But, ini udah mau masuk Magrib, Bre. Kita, Magriban, aja dulu ya. Abis itu makan, baru dah lanjut. Biar tenaga gue full nanti ngelawan lo, gimana, oke gak tuh,” pinta Bayu yang membuat Barra kembali malas meladeninya. Karena salat, adalah suatu hal yang paling berat untuk dapat ia jalani.
“Yaudah sana, lo wudlu duluan. Abis itu gue nyusul,” jawab Barra yang sudah mempunyai rencana.
“Okeeeh. Gitu dong, Bre. Tenang, gue yang bakal ngimamin lo,” jawab Bayu lagi seraya dengan segera ia berjalan memasuki kamar mandi. Sedangkan Barra kini ia hanya menjawabnya dengan anggukan juga senyuman. Hingga setelah Bayu memasuki kamar mandinya, kini dengan segera Barra keluar dari kamarnya. Kembali ia memilih menunggu Bayu di pantry.
“Udah, Bar. Ayo sekarang giliran lo,” ucap Bayu yang baru saja keluar dari kamar mandi. Hingga ia melongo ketika kini ia edarkan pandangannya, namun tak ia dapati Barra disana. “Nih manusia udah ngabur kemana ya? Hadeuh, jin yang bersarang dibadan, Brad, gue ini kayaknya udah parah dah. Oke, kayaknya nih anak emang udah kudu di ruqyah nih,” lanjutnya lagi yang kini dengan segera ia melaksanakan salatnya. Sebab Bayu yakin, jika pun ia kembali berusaha mengajaknya, maka Barra akan tetap menolaknya. Sama seperti yang ia lakukan ketika mereka berada di sekolah.
Bayu turuni anak tangga rumah Barra dengan tatapan yang nanar memandangi Barra yang kini tengah menatap kosong kesembarang arah. Walau kini sudah tersedia dengan lengkap menu makan malam dihadapannya. Ya, sejak tadi, memang Barra melamun disana. Kembali mengingat ingat dikala ia bersama sang Mama juga Papanya tengah makan malam bersama dengan penuh kebahagiaan. Karena merayakan keberhasilan Barra yang memenangkan olimpiade sains tingkat provinsi ketika ia duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Kini Bayu pun berjalan perlahan karena ia ingin mengagetinya.
***
“Terobsesi hanya akan menyiksa diri jika yang kau obsesikan tak memberi jalan. Raihlah apa yang kau mau dengan ketulusan hingga hidupmu tak kesusahan.” -Tulisannisa-
To be continue