Tragedi Berdarah

1055 Kata
"Rain lihat ada gedung baru yang lagi populer." "Bukan gedung kantor interiornya Asha kan?" "Sejak kapan kak Asha punya gedung sendiri?" Dina terkekeh. "Ya kan siapa tahu." "Terus gedung apa yang lo maksud?" tanya Farras. Ya mumpung ada waktu, mereka berkumpul di rumah Dina kali ini. Dua bumil ini sedang gila membuat kimchi. Para suami harus bersabar karena tampaknya menu selama beberapa hari ke depan akan sama. Hahaha. Ya tergantung mood dan suasana hati para bumil. Rain ikut membantu karena bosan. Walau ada pekerjaan, tapi biarkan lah dulu. Ia ingin santai untuk sesekali. "Gedung biro jodoh." Farras dan Dina langsung terkikik. Rain mendengus karena keduanya menganggap itu sebagai candaan. "Seriusan tauk. Adaaaa!" "Terus lo mau ke sana?" "Gue sih rencananya mau bawa bang Ardan dulu. Kalo bang Ardan berhasil baru gue nyoba." Farras tertawa. "Parah lo. Ngumpanin bang Ardan." "Kata orang, harus dimukai dari yang paling s**l untuk menguji keberuntungan." Keduanya terbahak lagi. "Abis ini minta maaf banyak-banyak lo sama bang Ardan!" Rain cekikikan. Ya akan ia lakukan. Selalu. Hahaha. Ia tahu dosanya banyak untuk Ardan. "Terus kapan lo mau bawa Ardan ke sana?" "Kalo bang Ardan udah putus asa nyari jodoh." Farras dan Rain terbahak lagi. Astagaa. Entah di mana isi otak sepupunya yang satu ini. Tapi rasa-rasanya memang hanya sedikit yang benar-benar waras di antara mereka. Hahaha. "Emangnya biro jodoh kayak apaan sih? Sampai buka kantor segala. Gede banget bisnisnya." "Kalo bisnisnya sebesar itu, otomatis yang jadi pelanggan juga bukan orang sembarangan. Karena artinya, mereka berani bayar gede." "Oh ya?" Rain mengangguk-angguk. Ini sih hanya analisis asa-asalannya. Ia juga tak yakin. Tapi ya coba ditebak saja. Kan tak mungkin sembarangan. "Persentase jumlah perempuan yang melajang di Jakarta terus meningkat tauk," tukasnya. Itu adalah laporan terbaru yang pernah ia baca. Akhir-akhir ini kan ia harus rajin membaca yang berbobot. Mau tak mau karena bisa jadi berhubungan dengan pekerjaan sampingan namun sialnya bergaji lebih besar dari studio pemotretannya. Hahaha. "Karir mereka juga mentereng. Nyari jodoh jadi agak sulit karena populasi cowok jauh lebih rendah dibandingkan dengan cewek. Perbandingannya bahkan bisa satu banding dua." "Sejak kapan lo jadi hobi baca-baca cerita?" Farras terbahak. Rain malah mendengus. Ia serius kali ini. Tampaknya ada hubungannya dengan gedung biro jodoh itu. "Tapi kalo misalkan oke, gak salah dong kalo nyoba ke situ buat nyari jodoh di sana. Siapa tahu beneran dapat." Farras terkekeh, Dina malah setuju. Menueutnya juga tak ada salahnya kalau memang cara mencarinya juga benar. "Jadi lo serius bakal bawa bang Ardan ke sana?" Rain memandang lurus ke depan. Dina dan Farras terbahak melihat ekspresinya. Ia sungguh serius dan bertekad. Tapi bagaimana cara menjebak Ardan ke sana? Ia tak yakin Ardan akan mau diajak cuma-cuma ke sana. "Tapi gimana bawa bang Ardan ke sana? Kalo bilang-bilang sama dia, dia pasti gak mau." "Kalo iming-imingnya jodoh, mana mungkin gak mau." Ya sih harusnya mau. "Kalo dia tetep gak mau gimana? Orang jomblo kayak bang Ardan gampang putus asa soal jodoh." Farraa terkikik mendengar kata-kata itu. Entah sudah berapa kali Ardan di-bully hanya dengan pembicaraan seperti ini. "Ya lo bilang aja, ada cewek naksir dia dan kerja di situ." Rain langsung berdesis. "Dia tahu kali, kak, kalo itu......gak mungkin banget." "HAHAHAAHAHAHA!" "Lo kalo ngakalin dia harus yang lebih cerdas dong, kak. Kalo gitu doang, dia pasti tau lah." Farras tak bisa menahan tawanya kalau sudah begini. @@@ "HATTSSYIIIMM!" Ia spontan bersin. Enrah kenapa, hidungnya mendadak gatal lalu bersin. Mana bersin hanya sekali. Pertanda apa? Konon katanya ada orang yang membicarakannya. Entah benar atau tidak, ia tak mau memikirkannya sekarang. Ia sedang mengusir kesialan dari hidupnya dengan memerhatikan hal-hal terkecil. Termasuk persoalan kolor karena bulan lalu, ramalan bintangnya mengatakan itu. Ia percaya? Enggak kok. Hanya untuk berjaga-jaga. Masa gak boleh sih? Hahaha. Lalu kini ia sedang dalam perjalanan menuju sekolahnya Adel dan Adeeva. Ya hampir sampai sih. Kurang dari lima menit lagi. Mendadak ia gugup. Tangan kirinya mencari parfum lalu disemprotkan. Semakin dekat semakin membuat jantungnya bergoyang. Seolah-olah ada yang memutar musik dangdut di dalam jantungnya. Sebelum berhenti, ia sudah melihat keberadaan Adel, Adeeva, dan Tata. Tentu saja tak hanya bertiga. Tapi ada juga seorang perempuan yang mengenakan rok pensil selutut ditambah baju kemeja lengan panjang. Yeah, cantik dan lembut. Wajahnya tampak kecil dan masih sangat muda. Mungkin lebih muda darinya ya? Ia sudah bertanya usianya pada Adel dan Adeeva tapi keduanya malah berdebat. Berdebat karena asal menebak usia si bu guru karena mereka juga tak tahu. Ia mengingat-ingat drama-drama Korea yang akhir-akhir ini terpaksa ia tonton. Ia bukan tipe yang suka menonton drama Korea. Ia lebih suka sinetron Hidayah. Paling suka yang berjudul Azab Bagi Yang Suka Mengolok Jomblo. Ia suka sekali menonton sinetron itu bahkan memutarnya berkali-kali di ruang kerja. Biar para karyawan papanya insyaf mengoloknya. Hahaha. Lalu hubungannya dengan drama Korea? Ia kemarin-kemarin mempraktikkan cara keluar dari mobil ala-ala oppa-oppa ganteng. Jadi ia ingin memamerkannya hari ini. Akankah berhasil? Ohooooo! Pertama-tama, mari bunyikan klakson begitu menghentikan mobil tepat di depan sekolahnya Adel. Setelah membunyikan klakson, mari merapikan rambut dengan cara membelainya dengan ganteng dan cool dalam waktu yang lama. Lakukan seolah-olah itu slow motion. Itu adalah cara biar terlihat ganteng dan keren di depan gebetan. Tapi yang tak ia tahu, Adel dan Adeeva kompak menepuk keningnya melihat tingkah Ardan yang begitu. Bahkan ai ibu guru terbengong-bengong menatapnya dari gerbang. Apa yang ada dipikirannya? "Dia yang jemput kalian? Om kalian?" Adel menepuk keningnya lagi. Setua apa abang sepupunya itu? Hahaha. Sementara Adeeva dan Tata justru menahan tawa. Ketiga, mari keluar dengan gaya cool. Ia harus membuka pintu mobil dengan gaya yang cool. Membuka sabuk pengaman dengan keren. Lalu membuka pintu mobil dengan pelan tapi sialnya, Adel, Adeeva, Tata, dan bu guru Melati malah berteriak. Kenapa? Karena Ardan tak melihat-lihat ketika membuka pintu mobil. Motor yang melintas baru saja terjatuh. Kendaraan-kendaraan yang bergerak dari belakang maupun depan spontan menginjak rem untuk menghindari korban dan tersangka yang lebih banyak. Ardan yang paling syok dengan kejadian itu. Semua orang kaget. Tentu saja itu tak disangka. Alih-alih berjalan menuju bu guru Melati, ia malah berlari menuju pengendara motor yang baru saja terjatuh dan tak sadarkan diri. "Kalian di sini aja," tukas bu guru Melati. Perempuan itu buru-buru berlari untuk melihat korban. Adeeva dan Tata menepuk kening. "Kata kak Rain, kesialan itu menular ya, teh?" Adel hanya menghela nafas. Ini namanya tragedi. Tragedi berdarah. Lihat lah, tak lama ambulans datang dengan sirinenya. @!@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN