BAB 2

1384 Kata
Di pasar. Aku membeli apa yang ibu pesan. “Capek juga keliling pasar,” kataku sambil menghapus keringat yang membasahi dahiku. Untungnya pasar dan rumahku dekat jadi aku hanya brjalan kaki untuk kepasar. Kini aku berjalan di jalan raya menuju rumahku sambil membawa barang-barang belajaanku. Aku tersenyum saat melihat seorang anak kecil sedang bermain balon di tengah jalan. Aku tersenyum sekaligus cemas. Tingkah anak itu sangat lucu. Tapi, sangat berbahaya jika bermain di jalan raya. Bagaimana jika ada mobil yang lewat. Aku putuskan untuk menghampiri anak itu untuk menegurnya. “Adek! Kalau main jangan di jalan raya yah?” kataku pelan namun menekankan tiap kataku. Anak kecil itu mengangguk paham. Aku tersenyum lalu meninggalkannya menuju rumah. Tak lama kemudian sebuah teriakan menghentikan langkahku. “Balonku!” anak itu berteriak kencang saat balonnya terbang di tengah jalan. “Jangan kesana, Dek!” teriakku saat kulihat anak itu berlari mengambil balonnya. Jantungku berdetak kencang saat kuliahat sebuah mobil mewah kini melaju kearah anak kecil itu. Dengan memberanikan diri aku berlari untuk menyelamatkan anak kecl itu. Setibanya di samping anak itu. Dengan spontan aku mendorong tubuh kecil itu ke pinggir jalan. Bunyi klason membuatku mematung. Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. “Inikah akhir hidupku? Padahal aku belum bertemu dengan biasku.” Aku menutup kedua mataku pelan. Bunyi ban yang bergesekan dengan aspal terdengar sangat nyaring dan mengema. Aku merasa melayang di udara. Tubuhku sangat sakit dan remuk. Mungkin tubuhku membentur aspal cukup keras. Kubuka mataku perlahan. Sangat berat. Tapi, aku ingin melihat sekitar. Orang-orang mulai mengerubuniku. Dan kuliahat seorang lelaki tampan mendekatiku yang kini bersimpahan darah. Wajahnya menyiratkan kekhewatiran. Aku tersenyum lirih dan kegelapan pun menghampiriku. **** Kubuka kedua mataku. Hal pertama yang aku lihat adalah ruangan putih. Di mana ini? Kedua mataku menyusuri tiap-tiap seisi ruangan. Tapi, aku tidak melihat siapa pun. Hanya ada aku di ruangan ini. Kulihat tanganku dan bernapas berat. Selang infus tertancap di pergalangan tanganku. “Kau sudah sadar, Nak?” tiba-tiba suara ibuku mengagetkanku. Ia masuk keruanganku dengan membawa kantong pelastik besarberwarna putih. Mungkin ia habis berbelanja. “Ini di mana, Ma?” tanyaku. “Ini di rumah sakit,” kata ibuku sambil meletakkan belajaannya di sebuah meja yang ada di ruangan ini. Ia mendekatiku dan mengambil sebuah kursi dan duduk di dekatku. “Untunglah, lukamu tidak parah,” kata ibuku sambil mengelus-elus wajahku. Aku merasa tenang saat ibu mengelus wajah dan rambutku. “Kau telah tertidur selama tiga hari.” Perkataan ibuku membuat jantungku hampir copot. “Apa! Jadi aku tidur selama tiga hari?” tanyaku dan ibuku mengangguk. Gawat! Pengumuman hasil seleksi menjadi bodyguard biasku sudah keluar dari kemarin. “Ma, bisakah kau mengambilkan aku leptop? Ada sesuatu yang harus aku cek.” Ibuku mengangguk dan meninggalkanku sendiri untuk mengambilkanku leptop. Semoga saja aku berhasil mendapatkan perkerjaan itu. Semoga keberuntungan masih berpihak padaku. Tiga puluh menit telah berlalu. Ibuku masih belum kembali. Aku bosan menunggunya. Akhirnya aku putuskan untuk keluar sebentar untuk mencari udara segar. Aku berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Saat berada di taman rumah sakit. Kulihat seorang lelaki tampan sedang bertenkar dengan seorang wanita. Mungkin mereka bedua sepasang kekasih. Aku tidak memperdulikan mereka berdua dan memilih untuk duduk diam di sebuah kursi. Tak lama kemudian, kekasih lelaki itu pergi. Meninggalkan lelaki tampan itu seorang diri. “Pasti sakit sekali,” batinku menatap lelaki itu. Kulihat ia terduduk diam di tanah. Hatinya pasti sangat terluka dicampakan oleh seseorang yang sangan ia sayangi. Pundaknya bergetar dan terdengar isak tangis lelaki itu. Mendengar tangisannya membuatku ikut sedih. Aku berjalan mendekatinya. Ia raba-raba baju rumah sakitku. “Untunglah aku membawanya,” batingku menemukan sebuah tissu. Kusodorkan tissu itu di hadapannya. Lelaki itu terdiam sesaat dan menatapku. Lalu kembali menangis. “Dasar cengeng,” batinku. Akhirnya, aku mengahapus air matanya. Ia terdiam saat aku menghapus air matanya. Mungkin ia terpesona dengan kecantikanku. Aku terlalu narsis. “Terima kasih ...” lirihnya. Aku mengangguk dan beranjak ingin meninggalkannya. Namun, sebuah tangan tiba-tiba menghentikan langkahku. Kutatap si pemilik tangan. Lelaki itu tersenyum padaku. Ia berdiri dan seketika dia mengecup bibirku. “WHAT! Apa yang telah terjadi?” aku mematung dan terdiam seribu bahasa. Lelaki yang tidak aku kenal tiba-tiba mencuri ciuman pertamaku. “Maukah kau jadi pacarku?” pertama kalinya seorang lelaki menyatakan cinta padaku. Aku terlena sejenak. Tapi, tunggu. Kalau aku menerima lelaki itu jadi pacarku maka aku selingkuh dong. Tidak! Itu tidak boleh. Dalam hatiku hanya ada Xue Mei. Tidak boleh ada orang kedua di antara kita. “Maaf aku menolak.” Kutepis tangannya dan melangkah menjauhinya. Saat tiga langkah, sebuah tangan melingkar di perutku. “Aku ingin kau menjadi pacarku. Aku mohon.” Aku berdecak kesal. Lelaki ini sangat menganggu. “Bisakah kau melepas tanganmu?” kataku dingin. “Maaf,” katanya pelan lalu melepas kedua tangannya di perutku. Aku berbalik dan menatapnya tajam. “Dengar! Aku tidak menyukaimu. Aku sudah mempunya seorang lelaki yang aku cintai. Jadi, aku tidak punya waktu untuk berurusan denganmu. Mengerti!” kataku dengan nada dingin. Lelaki itu mengangguk paham. Aku pergi meningglkannya. “Hari ini mungkin kamu tidak menyukaiku. Tapi, suatu saat nanti akan kubuat kau menyukaiku!” lelaki itu berteriak saat aku mulai menjauh. Bodo amat. Lagian aku tidak mungkin bertemu dengannya lagi. Sebentar lagi aku akan ke China menemui Xue Mei. **** Aku membuka pintu ranganku. Kulihat ibuku duduk di sebuah kursi menungguku. Saat ia menyadari kehadiranku. Kuliaht ia berdiri dan menghampiriku. “Kamu dari mana saja?” tanyanya. “Aku dari taman. Hanya ingin menghirup udara segar.” Ia mengangguk paham. Dan menyerahkan sebuah leptop yang kuminta tadi. “Semoga aku diterima,” batinku. Jantungku berdebar-debar saat tangaku mulai mengetik di keyboard leptop. Selama membuka leptop aku terus berdoa. Semoga aku diterma menjadi bodyguard. “Oh, tidak! Aku gagal.” Aku bernapas kecewa. Keberuntunganku telah berpaling. Saat-saat yang aku tunggu tak sesuai dengan harapanku. Tapi, tidak apalah. Aku bisa mencari pekerjaan lain di China. Aku mengangguk dan menyemangati diriku sendir. Aku kembali mengetik di leptop untuk mencari lowongan pekerjaan di China. Aku mencari berjam-jam hingga malam pun tiba. Aku bernapas kecewa saat menutup leptop. Aku tidak menemukan pekerjaan. “Semoga besok aku menemukan pekerjaan,” batinku dan menyimpan lepto di meja yang ada di samping ruanganku. Esok harinya kuawali dengan brosing di internent. Tiga jam aku mencari tapi aku masih belum menemukan lowongan pekerjaan. Aku bernapas kecewa. Aku keluar ruanganku menuju taman rumah sakit untuk mencari udara segar. Aku duduk termenung. Apa yang harus aku lakukan? Aku juga tidak bisa ke China tanpa persiapa. “Kenapa melamun?” sebuah suara mengagetkanku. Lelaki yang di hadapanku adalah lelaki yang menembakku kemarin. Aku memalingkan wajah tak ingin menatapnya. “Ahkh!” pekikku kaget saat lelaki itu mendekatkan minuman dingin di wajahku. Aku menatapnya tajam. “Apa yang kau lakukan!” bentakku. Lelaki itu hanya tersenyum padaku. “Akhirnya kau menatapku.” Aku tidak memperdulikan perkataannya dan kembali memalingkan wajahku. “Minumlah.” Lagi-lagi lelaki itu menyodorkan minuman dingin itu di hadapanku. Aku masih tak ingin menatapnya. “Ada apa? Mungkin aku bisa membantumu.” Ia duduk di sampingku. Aku menatapnya. Mungkin ada baiknya aku bercerita. Siapa tahu dia punya solusi yang baik untukku. “Aku ingin ke China. Tapi, aku tidak punya persiapan. Aku belum menemukan pekerjaan di sana. Dan aku takut. Di sana aku akan jadi gembel.” Akhirnya aku mengeluarkan unek-unekku. Kulihat ia tersenyum padaku. “Aku bisa membantumu. Kebetulan aku keturunan China dan Indonesia. Aku juga punya perusahaan di China. Mungkin aku bisa mengajakmu bergabung di perusahaanku.” Perkataan lelaki itu membuat kedua mataku berkaca-kaca. Dan dengan sepontan aku memelukanya dengan cukup erat karena aku terlalu bahagia. “Benarkah? Terima kasih. Aku senang bisa bertemu denganmu.” Kataku yang masih memeluknya. Tiba-tiba aku terdiam. Apa yang telah aku lakukan? Aku memeluk lelaki yang belum aku kenal. Dengan malu-malu aku melepas pelukanku. Wajahku bersemu merah. “Maafkan aku. Aku terlalu bahagia.” “Tidak apa-apa. Aku senang akhirnya kamu tidak sedih lagi,” katanya dan tersenyum padaku. Setelah itu kami berdua menjadi akrab. Ternyata lelaki itu sangat menyenangkan dan humoris. Aku mulai mereasa nyaman dengannya. Lelaki itu bernama Yu Yang. Dia balesteran China dan Indonesia. Dia lebih tua lima tahun dariku. Wajahnya yang tampan pasti banyak yang menyukaianya. Dia juga pembisnis yang handal. Dia salah satu pembisnis terkenal di China. “Semoga kami berdua tetap bisa berteman baik selamanya,” batinku. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN