Insiden Nyungsep

1735 Kata
Ananta selonjoran di sofa sambil nonton tv. Kerjaan anak perawan yang sok-sokan nyantai padahal banyak tugas, tuh, gitu. Giliran malem atau deketin ke deadline baru dia misuh-misuh rusuh. Ingat kalau sedari pagi dia belum mandi, akhirnya malas-malasan Ananta beranjak. Gerah, sih, lengket. Tapi baru aja kakinya menginjak anak tangga pertama, suara di depan sana membuatnya menoleh dengan bola mata memutar malas. "JEFRI!" "JEFRI MAIN, YUK?" "MAIN SAMA TANTE?" "Ey, g****k jijay." "KAK JEF!" Merasa kupingnya hampir pecah karena teriakkan pales di depan, buru-buru Ananta berjalan dan membuka pintu. "Jef—eh, Tata!" Ananta tahu, nih, manusia satu ini. Temannya Jefri yang paling berisik. "Nyari Kak Jefri, ya, Kak?" tanya Ananta. Mereka serempak mengangguk. Baru saja Ananta hendak memanggil Jefri, Arga tiba-tiba mendorong bahunya pelan. "Masuk masuk sana! Mandi lu, bau!" "Apaan, sih, anjir! Datang-datang bikin keki," gerutu Ananta ke Arga. "Naik aja sana, bocah! Malah ngebacot." "Ya, gue—" "Cepetan sana!" potong Arga, mendorong-dorong Ananta. Maksa banget, sumpah. "Iya iya, Nyet. Kagak usah dorong-dorong segala!" Ananta berdecih sinis. Ingin mencincang Arga terus dia jadiin perkedel, deh, rasanya. Setelahnya Ananta naik ke kamar, tentu setelah pamit pada teman-teman kakaknya yang memandang Arga jengkel. Tidak tahu, sih, kenapa Arga tuh, selalu larang Ananta buat dekat-dekat sama teman-temannya itu. Padahal apa yang salah? Mereka tidak  macam-macam, kan? Sementara di bawah ribut-ribut suara para lelaki tampan, di kamar Ananta sedang selonjoran di kasur. Niatnya buat mandi gagal. Ya entahlah, kalau sudah ketemu kasur bawaannya jadi mager. Akhirnya cuma lesehan, baca webtoon, baca w*****d, terus ketiduran. *** "Emang gak apa-apa kalau latihan di sini?" "Ya emangnya mau di mana?" "Di rumah Kino aja, di sana lengkap alat-alatnya." "Tapi ganggu orang di rumahnya, gimana?" "Lah, katanya Kino ada studio khusus gitu." "Iya?" "Iya, kata Nizar." "Yaudah. Cus!" "Adek gue gimana? Kita pasti latihan sampe malem. Itu anak mana bisa ditinggal lama-lama." "Gue temenin, deh. Gue, kan, gak ikutan sama kalian?" "Kagak! Sama aja gue biarin adek gue dimangsa sama p*****l kayak lo!" ujar Jefri memelotot. "Jef, gitu amat sama gue." "Emang kenyataan, sih, Bam." "k*****t!" "Yaudah, kalian duluan ke rumah Kino. Biar Ananta nanti gue urus." Arga udah siap-siap berdiri. Yang lain juga. "Ya udah, Tata jangan diembat, ya, Ga. Gue lagi berusaha meluluhkan hati Kak Jefri supaya ngerestuin gue jadi calonnya Tata." Bambam ngangguk-ngangguk dengan muka polos. "Mampus dulu baru boleh deketin adek gue!" "Mantul." "Double kill." "Tripple kill." "Bangke lu pada!" Bambam yang terbully pun murka. *** Arga, tuh, sebenarnya lelah. Niatnya ingin jauh-jauh dari makhluk-makhluk sejenis Marcell CS. Tapi apa boleh buat, sudah diusir pun para alien itu tetap tidak tahu diri diam di rumah Arga. Akhirnya Arga kasih alasan bahwa dia mau latihan band buat acara akhir tahun. Eh, malah pada mau ikut. Bangke memang. Beruntung beberapa saat Arga bisa jauh-jauh dari mereka. Ya, sementara mereka berangkat ke rumah Kino yang tidak terlalu jauh, Arga kebagian tugas mengurus Ananta. Suatu berkah terselubung untuknya. Tok tok tok... Arga mengetuk pintu kamar Ananta. Tapi tidak ada jawaban. "Ta, di dalem gak? Gue masuk, ya?" ujar Arga sedikit berteriak. Karena masih tak ada jawaban, akhirnya Arga putuskan untuk langsung masuk saja. Dan kemudian... "Astaghfirullohaladzim!" pekik Arga. "Ini anak pingsan apa mati?" gumamnya pada diri sendiri. "Astaghfirullohaladzim lagi," Arga mengelus d**a. "Woy, lo kalau tidur pake baju lah, bangke!" pekik Arga, padahal tidak akan didengar Ananta. Orang anak itu tidur pulas. "Ya Allah, untung gue cowok normal, gak nafsu sama bocah ginian." Masih mengelus d**a sambil terkekeh kecil. Entah apa yang dia tertawakan. "Etdah. Ilernya banyak banget, buset!" Arga menahan tawanya agar tidak kelepasan keras. "Au ah. Ngantuk anjir. Ikutan tidur aja." Arga malah naik ke atas kasur Ananta terus tiduran di sana sampai benar-benar terlelap. *** Sementara itu, setelah beberapa waktu berlalu. Ananta membuka mata karena suara bising yang mengganggu tidur cantiknya. Kemudian terbelalak begitu menemukan makhluk bongsor di sisinya. "WOY, KALO TIDUR BISA DIEM KAGAK?" Ananta memukul kepala Arga menggunakan bantal. Habisnya ngorok kayak pakai toa. Mungkin kedengaran sampai ke kampus, tuh, suara ngoroknya. Arga cuma melenguh pelan, terus lanjut tidur. Betapa nikmatnya hidup Arga. "Aihs. Lo overdosis inzana?" Arga masih tidur. "BANGUN, b**o!" Kali ini Ananta berteriak tepat di depan telinga Arga, dan cowok itu benar-benar terbangun kaget. "k*****t, ngapain teriak di depan telinga gue?" Arga menoyor kepala Ananta begitu bangun. Jelas saja Ananta makin kesal. "Ya, lo ngapain tidur di kamar gue? Mana berisik lagi. Ganggu gue tahu gak?" cerca Ananta. "Ya, gue—" Belum sempat menyelesaikan kalimat, ponsel Arga yang disimpan di saku celananya bunyi. Dari Jefri ternyata. Arga baru ingat kalau dia harus latihan. Setelah ngangkat telepon dari Jefri yang memang isinya teriakkan-teriakkan gaje Bambam dan antek-antek, Arga beranjak. "Mandi lo! Gue tunggu di bawah!" cetus Arga begitu saja. "Mau ke mana?" "Mandi aja." Arga berlalu. Tapi baru sampai di depan pintu, Arga menoleh lagi. "Jangan sekali-kali keluar rumah pake baju ketat. d**a rata gitu anjir, kaga puber apa, ya." Ananta cengo, menatap Arga yang keluar kamar setelah mengucapkan kalimat demi kalimat yang begitu alot Ananta pahami. Sampai ketika Ananta menunduk, menatap tubuhnya yang hanya tertutup tangtop, ia terbelalak kesal. "ARGA b**o! GUE MASIH DELAPAN BELAS TAHUN. MASIH MASA PERTUMBUHAN!" teriak Ananta, melempar pintu dengan bantal. *** "Ga, mau ke mana sih?" tanya Ananta, entah yang ke berapa kalinya. Arga dan Ananta berjalan keluar rumah. Arga di depan, dan Ananta yang memegang bahu Arga sambil menundukkan kepala malas di belakang. Maaf, mirip tunanetra di jalanan. "Bacot sekali Anda. Apa susahnya ikutin aja?" "Ya gue nanya lah, orang gue dibawa keluar malem-malem gini. Gimana kalau lo culik gue, hayo?" Arga menghentikan langkah, membuat Ananta juga berhenti dan langsung menatap Arga polos begitu Arga berbalik. "Lo pikir selama ini siapa yang selalu jagain lo?" Arga menoyor kepala Ananta dengan telunjuknya. Sangat kurang ajar sekali Tuan Arga. "Anterin lo ke sana-sini, ngerjain tugas lo, nganterin makan buat lo, sampai mindahin tubuh lo ke kamar waktu lo ketiduran di sofa? Ya kali anjir gue mau nyulik lo." Ananta merengut, mengembungkan pipi dan menatap Arga jengkel. "Ya gak perlu noyor jidat gue juga, Nyet. Kan, sakit?" ucap Ananta sedikit melas. "Hilih, manja!" Kali ini pipi Ananta yang didorong olehtelunjuk Arga. "Ih, Arga b**o!" teriak Ananta kesal, berlari mengejar Arga yang ketawa jahat di depan. "Kalau kena, gue mampusin lu, Ga!" "Bodo! Gak bakalan ke—Ananta!" Arga memekik kaget saat Ananta terpeleset dan jatuh dengan kepala nyungsep terlebih dulu. Buru-buru Arga kembali, menghampiri Ananta yang matanya sudah memerah, kemudian... "Aaaaa, Arga sakiiiiit!" Yah, nangis. Mana kenceng pula nangisnya, bikin malu. "Heh, k*****t! Nangisnya jangan kenceng-kenceng! Nanti orang nyangkanya gue ngapa-ngapain lo, njir!" desis Arga pelan. Pasalnya ada beberapa orang yang lewat, takut salah paham. "Tapi ini sakit, Ga. Huaaaa! Kak Jefriii!" "Astaga. Bocah ini kadang bikin gue mau bunuh diri," gumam Arga yang masih kedengaran Ananta. "Sakit, b**o! Huaaa, sakit!" Ananta menggerak-gerakkan bahu sambil memegang kakinya. Berasa lihat anak Paud yang permennya direbut gorila. "Ya, diem dulu. Diem! Nih, jidat lo kotor, lecet juga abis ciuman sama aspal." Arga ngusap dahi Ananta yang memang kotor bekas nyungsep tadi. "Makanya hati-hati kalau jalan. Kebiasaan rusuh, sih, lo!" "Ihs. Lo, tuh, gak tahu gue lagi kesakitan apa, ya? Masih aja ngata-ngatain gue!" "Udah, diem bocah! Naik lu ke punggung gue!" titah Arga, berjongkok membelakangi Ananta. Tanpa disuruh dua kali, Ananta segera naik ke punggung lebar Arga dan mengalungkan tangannya di leher cowok itu. "Gue udah lapan belas tahun, bukan bocah lagi," gumam Ananta pelan di belakang. Arga geleng-geleng kepala, kemudian berdiri mengangkat bobot tubuh Ananta di punggungnya. "Tetep aja masih bocah kata gue mah." "Arga b**o, jelek!" "Kalau jelek mana ada yang mau sama gue? Tapi buktinya pada ngantri?" Ananta speechless. "Lihat aja nanti, gue juga bakal punya pacar. Awas lo sirik sama gue!" "Siapa?" Arga menoleh sedikit, kemudian kembali terfokus ke jalan dan melanjutkan langkah. "Ya, siapa aja. Gue bakal nyari." "Kenapa harus nyari? Sama gue aja sini!" "Lah?" Ananta memukul bahu Arga kesal. "Ya kali! Ogah. Jadi kakak aja ngeselin, apalagi jadi pacar?" "Gak tahu aja, lo. Gue cowok idaman semua wanita. Ciuman gue juga katanya hebat." "Lah, anjir. b**o. m***m ih, bahas-bahas gituan!" Muka Ananta sudah merah padam. Beruntung Arga tidak lihat. Mana ngerti, sih, seorang Ananta dengan ciuman. Pacaran saja baru sekali, dan putus tepat di hari seminggu jadian. Nonton film dewasa juga sesekalinya, gara-gara disodorin Mimi waktu SMA. Katanya buat edukasi, tapi Ananta malah jijik. Paling-paling ya nonton kiss scene drakor. Arga ketawa. "Kan, lo masih bocah!" "Nggak!" "Halah, bocah mah bocah aja." "Ngeselin, deh, lo sumpah!" Masih banyak kata-kata kekesalan yang ingin Ananta sampaikan ke Arga. Tapi keburu Arga menurunkan dia di depan rumah Kino. Eh, lah? "Ke rumah Kino?" Ananta tanya. "Iya," balas Arga. "Kino, assalamualaikum!" Arga mengetuk pintu. Yang buka? Si kupret Bambam. "Akhirnya kalian da—weh, jidat Ananta kenapa?" tanya Bambam cemas. Tangannya sudah terangkat, hendak menyentuh luka di kening Ananta. Tapi dengan segera ditepis kasar oleh Arga. "Jangan pegang-pegang!" "Songong amat bodyguard!" "Minggir minggir minggir sana!" Arga mengusir, kemudian menuntun Ananta masuk dan ia dudukkan di sofa. "Tolong pinjemin P3K sana ke Kino!" "Lo aja, gue nungguin Ananta di sini." "k*****t! Cepetan!" Bambam nyengir. Arga menyeramkan kalau sudah teriak. Akhirnya Bambam mengalah, daripada kena hantaman Arga. Dia, kan, terkenal dengan bogemnya yang mematikan. "Sakit, huhuhu. Gue gak mau ngampus besok." Ananta mempoutkan bibir, membuat Arga gemas untuk tidak memukul pelan bibir tersebut dengan tangannya. "Ga!" Ananta kesal. "Itu bibir jangan sekali-kali digitu-gituin depan cowok lain." "Apa, sih?" "Siniin kaki lo!" ujar Arga, menaikkan sebelah kaki Ananta ke atas meja. Tak lama, Bambam kembali bersama rengrengan pria tampan lainnya. Yah, rame dah. "Tata kenapa?" "Astaga, jidatnya woy!" "Si Aga, Ananta diapain?" "Kayak bekas nyungsep?" Arga speechless. "Diem lu pada! Mana P3K-nya?" Arga menyodorkan tangan. "Elah, jangan galak-galak nape, Ga?" goda Marcell. Untung Arga sudah terbiasa menghadapi spesies manusia seperti mereka. Ya gimana, orang Arga juga bagian dari spesiesnya. Kadang-kadang saja waras. "Kak Jefri! Huhu..." Mulai, deh, mulai kumat manjanya. Nemplok-nemplok ngelapin ingus ke baju Jefri. Memang Ananta ini tipe adik gemesin yang saking gemesnya pengin banget Jefri karungin terus kirim ke pulau terpencil. Beruntung Jefri punya stok sabar yang banyak. Meski kadang kalau kelewat kesal ya Ananta di ungsepin ke keteknya. "Lo jatoh? Apa udah tawuran sama TK sebelah?" tanya Jefri. "Nyungsep di depan. Biasalah anak PAUD kalau jalan suka pecicilan." Arga berbicara datar. Sedangkan mata masih fokus ke alkohol dan kasa di tangannya. "Si b**o, kenapa Tata ternista, ya Allah?" -Ananta, 2019. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN