Arga memperhatikan Ananta dengan mata elangnya. Ini sudah ketiga kalinya Arga dijambak dan tangan digigit oleh Ananta. Padahal kaki dan jidatnya cuma memar, nggak parah-parah banget, tapi diolesi alkohol sudah seperti orang kesurupan jerit-jerit sambil jambak rambut Arga.
"Untung lagi sakit. Kalo enggak, udah gue sleding lo, Ta."
Ananta cuma cengengesan, antara tidak enak, tapi juga senang Arga kesakitan. Dari tadi diledekin terus, kan.
"Ya elah, Ga, Ananta kan lagi kesakitan. Gak boleh kayak gitu."
Arga lantas saja menatap Bambam dengan muka tak bersahabat. "Kalau gitu kenapa tadi gak gantian aja lo yang di sini?" ujarnya sarkas.
Begitulah pemuda bernama Arga itu. Kalau ngamuk bikin anak orang tidak berkutik.
Bambam kicep, nyengir kuda. Rada ngeri juga, sih, kalau dia yang menggantikan Arga di sana. Tangan Arga saja sudah bengkak begitu.
"Lain kali kalau jalan, tuh, ngalem dikit bisa gak, Ta? Jangan grasak-grusuk," kata Jefri datar, sedatar raut mukanya.
"Gue ngejar si k*****t Arga, Kak. Eh, malah ada kodok lewat. Gue kaget terus nyungsep. Kodoknya loncat gak tau ke mana."
"Lah?" Arga cengo sebentar, terus ngakak mengikuti yang lain.
"Bukan lihat kodok yang bener mah. Pasti gara-gara lihat cogan. Mata si Tata, kan, emang suka gitu kalau liat cogan, langsung jelalatan gak merhatiin jalan." Kino ngakak semakin kenceng. Definisi sahabat sesungguhnya. Temannya menderita malah diledek terus dingakakin.
"Awas lo, Ki! Kalo gue udah sembuh, siap-siap gue tendang sampe mampus!" Ananta cemberut karena semua menertawakan dia, termasuk Nizar—meski ketawanya tidak seheboh yang lain.
"Bodo, anjir." Kino ngakak lagi.
Bego.
Ananta masih selonjoran di sofa ruang tamu rumah Kino sambil makan pizza yang hanya tinggal setengah. Iya, yang setengahnya lagi habis dimakan Ananta sendirian. Porsi makannya memang naudzubillah untuk seukuran anak gadis.
Bagi Ananta, tidak ada istilah diet meski sekarang dia sedang berada di usia di mana anak-anak seusianya sudah mulai memperhatikan penampilan. Kalau makanannya enak dan perut lapar, ya sikat sajalah, Bosqu!
Di sela-sela kegiatan makannya, sesekali Ananta melirik ke arah ruang tengah di mana Bambam dan Yugi asyik bermain PS. Ananta ingin ikutan sebenarnya, tapi dilarang Arga dan Jefri. Ngeselin memang. Buat apa Ananta diajak ke sini kalau malah dianggurin. Tahu begini, mending di rumah atau mabar sama Yudha. Bocah itu katanya mau lihat balapan.
Ananta jadi kesal. Sudah dari dulu cita-citanya ingin lihat balapan motor secara langsung, tapi selalu saja ada Arga atau Jefri yang melarang keras. Mengesalkan, sumpah. Padahal Ananta sudah gede, bukan bocah SMP lagi.
Ngomong-ngomong yang lainnya, mereka lagi latihan band di studio. Ingin nyusulin, ingin ngajak pulang, tapi letak studionya di lantai dua.
"Gara-gara si buluk, nih. Kaki gue sakit bener anjir," gerutu Ananta. Tidak enaknya sakit tuh ya begini, tidak bebas ngapa-ngapain.
Berapa kali Ananta sudah menelpon Jefri, tapi tidak diangkat. Mau nelpon Arga, tapi lagi kesal sama dia. Ananta bingung. Mana Ananta ngantuk banget lagi. Dari tadi tidak terhitung sudah menguap berapa kali.
Ananta melirik Bambam sama Yugi, niat hati ingin minta bantuan. Eh, Ananta malah cengo karena ternyata mereka sudah molor dengan posisi duduk di depan layar sambil pelukan. Astaga.
Perasaan tadi mereka masih bacot, sekarang udah tepar aja.
Ananta celingukan lagi kayak orang b**o. Ini lagi rumah Kino, gede banget tapi sepi. Gak ada siapa gitu yang bisa gue mintai tolong. Nyebelin banget.
Tidak ada pilihan lain. Terpaksa chat Arga. Sudah ngantuk berat, nih, Ananta.
Buluk
[Bilangin ke Kak Jefri gue mau pulang.]
Sent.
Ananta gegoleran. Sudah kenyang, ampir begah malah. Pizza yang segitu gedenya dimakan sendirian. Belum lagi camilan yang dibeliin Jefri juga hampir habis dimakan Ananta. Wajar kalau sekarang mengantuk.
Bodo amat. Sambil nunggu Jefri turun, Ananta memutuskan untuk selonjoran. Kakinya pegel.
***
Suasana latihan di studio yang awalnya tenang berubah ricuh saat Marcell tiba-tiba berteriak. Masalahnya Marcell bukan teriak biasa, melainkan teriak sambil lompat-lompat tidak jelas. Devon juga jadi ikut-ikutan teriak terus loncat-loncat karena kaget.
Kino malah ngakak, tidak tahu kenapa. Arga sama Jefri cengo, karena tidak tahu alasan mereka teriak itu apa. Sedangkan Nizar cuma senyum, terus menggelengkan kepalanya.
"Woy, jauh-jauh lo, jauh-jauh!" Marcell masih lompat-lompat takut. Saking takutnya dia jadi meluk Devon sambil memejamkan mata.
Kebayang nggak, sih, dua cowok yang tingginya kayak tiang listrik loncat-loncat sambil pelukan? Muka gantengnya berubah jadi memeable.
"Apaan, sih, apaan woy?" Arga bertanya keras, habisnya dua orang itu masih teriak-teriak tidak jelas.
Tak ada respon.
Arga berjalan menghampiri keduanya. Menarik mereka supaya melepaskan pelukan, lantas menatap keduanya setelah keadaan jauh lebih tenang.
"Kenapa, sih?" tanya Arga.
Devon menatap Arga polos. Bibir kecilnya bergumam lucu. "Gak tahu. Marcell teriak, gue kaget auto teriak juga."
"Lah, anjir!" Kino ngakak semakin keras di belakang. Sampai memegang perut, mungkin saking enak ketawa sampai sakit.
Pletak!
"g****k!" Devon terkena tempelengan Jefri di belakang.
"Apa, sih? Main mukul-mukul bae anjir. Sakit!"
"Bodo."
"Lo ngapain teriak?" Arga beralih ke Marcell yang masih memeluk bass erat-erat sambil menunduk.
Arga kesal, dari tadi dikacangin terus. Akhirnya Arga tendang, tuh, tulang kering Marcell sampai cowok tinggi itu memekik keras.
"Sakit, b*****t!" Marcell ngegas.
"Ya, abisnya gak dijawab! Udah tahu latihan kita mepet, b**o!"
"Ada kecoa, Setan. Ada kecoa! Puas lo?"
"Lah?" Mereka semua terdiam, kemudian saling lempar pandang dan ngakak bareng-bareng mendengar jawaban Marcell.
Habisnya, muka doang garang, badan doang tinggi, lihat kecoa udah kayak lihat anak tuyul lagi makan curut. b**o memang.
Setelah puas menertawakan Marcell, mereka memutuskan buat istirahat dulu. Arga selonjoran, mengambil ponsel di saku celana jeans-nya. Capek juga nyanyi beberapa lagu.
Sambil menyenderkan kepala ke dinding, Arga membuka ponselnya. Ada beberapa notif yang segera Arga buka. Beberapa saat kemudian, ia segera berdiri saat sebuah pesan masuk dari...
Una.
"Sori, gue gak bisa lanjut latihan. Gue pulang duluan!" ujarnya buru-buru.
Dia yang bilang latihan mepet, dia juga yang pulang duluan. Hm.
***