Part 8. Rujuk

1652 Kata
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku. "Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku. "Tidak." Sahutnya. "Kenapa?" "Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya. "Tenang saja. Aku tidak bodoh." Sahutku meyakinkan. "Siapa yang tahu " Tegasnya. "Sudah tidur. Aku tetap di sini," tegas Amell. Aku pun menurut. Menarik sebagian lagi selimut di sebelah Amell. "Makasih ya, Mell." "Ummm." Amell mengangguk. "Maaf aku sering merepotkan." Ucapku. "Kamu ingat-ingat saja kebaikanku ini. Jadi suatu hari jika kamu menemukan keburukanku, kamu bisa memaafkan." Ucap Amell. Bibirnya terbuka lebar, menunjukkan deretan giginya yang terawat. Kurasa dia hanya ingin agar aku tertawa dengan ucapannya itu. Aku mengangguk. "Met tidur, Mell." Malam semakin larut. Aku masih belum bisa tidur. Pertengkaranku dengan Arsen masih terus terbayang. Namun aku juga tidak menangis. Mungkin karena aku sudah merapel pengeluaran air mataku, sehingga sekarang mulai kebal dengan rasa sakit dan kehilangan oleh sebab Arsen. Termasuk kehilangan harga diri. Kuambil ponselku yang mati. Aku sama sekali belum sempat ngecas sejak kemarin lalu, sehingga kehabisan daya. Kuambil charger dari laci nakas, aku mengecasnya dan sambil memijit tombol on. Sebuah notifikasi masuk. Anda memiliki 21 panggilan tak terjawab "Pasti Arsen." Gumamku. Kubuka bagian miss call. Mama sembilan kali. Harris sebelas kali, Arsen sekali. Ah, kenapa aku berharap Arsen peduli? Lelaki itu memang b******n. Dan Harris? Dia pasti disuruh Mama lagi. Drrrtt… Aku terlonjak kaget. Nama Harris kembali muncul di layar ponselku. Hah? Lewat tengah malam begini? Haruskah kuangkat panggilannya? Aku mendesah berat. Kubiarkan panggilan Mas Harris hingga berhenti lagi. Kemudian satu pesan w******p masuk. Aku membukanya. Hanya ada dua kalimat, “Angkat telponnya”. Belum sempat kubalas, panggilan dari namanya sudah masuk kembali. "Iya Mas." Terpaksa kuterima juga panggilannya. "Helena, di mana kamu?" Suaranya terdengar cemas. Ya Tuhan, kenapa justru dia yang peduli? Arsen ke mana? Dadaku kembali terasa sakit. "Kenapa?" tanyaku. "Kamu nggak kasihan sama, Mama?" "Lalu bagaimana dengan, Helen?" Protesku. "Aku paham. Semua bisa dibicarakan baik-baik. Demi Mama, pulanglah, Na." Ucapan Mas Harris terdengar lembut. Tetapi aku masih sakit hati. "Mama shock, dan sekarang jadi sakit.” “Apa?” mendengar Mama sakit, tak urung membuatku merasa bersalah juga. “Pulanglah kalo kamu memang sayang sama Mama. Kesalahan Arsen, jangan melibatkan Mama, Mas mohon.” Hah? Apa? Seorang Harris Mustofa memohon? Lelaki yang selalu memandang rendah kepadaku itu, bisa memohon? Ah, iya, aku tidak boleh lupa. Anak-anak Mama memang hampir semua berbakti kepadanya. Kecuali Arsen, mereka akan melakukan apa saja demi kebahagiaan dan kebaikan Mama. “Kamu mau dijemput?” Suara Mas Harris menyadarkanku dari bengong. “Ah iya, apa, Mas? Dijemput? Ah, tidak perlu.” Aku gelagapan. “Helena, please.” “Helen akan pulang.” “Alhamdulillah. Bener ya, Na. Mas jemput ya?” “Tidak usah. Helena akan pulang nanti. Nunggu terang saja.” "Kamu ngapain, Na." Itu suara Amel. Tidak enak hati, aku langsung menutup ponselku. "Telepon, Mell." Sahutku. "Arsen?" Aku menggeleng. "Abangnya." "Harris?" Aku mengangguk. "Kalian sedekat itu, pantesan Arsen cemburu." Mendengar itu aku merasa tertohok. "Jadi kamu juga curiga sama aku?" Amell melempar guling padaku. "Ngaco." Ucapnya. "Dah tidur lagi. Masih malam. Dia tidak tahu kalau aku belum tidur. *** "Jadi apa kata Harris semalam?" Tanya Amell pagi ini. Kami sedang sarapan di meja makan. "Menurutmu apakah aku harus pulang?" Aku balik tanya. "Mama sakit. Shock atas kejadian kemarin." "Sebaiknya begitu. Selesaikan masalahmu. Diomongin baiknya gimana." Ah, Amell memang sahabat yang baik. Meskipun dia tidak suka pada Arsen, dia tetap memiliki pandangan bijak pada masalah kami. Pagi itu sangat dingin. Tubuhku menggigil, sehingga aku memakai baju bertumpuk dan jaket terhangat milik Amell. Efek kuretase, kata Amell. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, aku belum bisa memenuhi janjiku kepada Mas Harris untuk pulang. Aku hanya mengirimkan pesan, agar disampaikan ke Mama, bahwa aku ada urusan dan akan segera pulang. Tiga hari kemudian, jam sembilan pagi, diantar Amell hingga depan rumah, aku terpaksa pulang. Sebenarnya aku masih sangat enggan, luka di hatiku, juga di rahimku, masih terasa sakit. Namun demi Mama, maka di sinilah aku. Di depan rumah Mama lagi. Tak ada sahutan ketika aku mengucap salam, sehingga aku langsung masuk. Di dapur sepi. Di ruang tengah dan ruang tamu juga sepi. Aku terus masuk. Samar kudengar suatu obrolan dari arah belakang. Belakang rumah Mama ada pohon mangga, sehingga sangat enak untuk duduk-duduk santai di bawahnya, karena udaranya terasa adem dan segar. Aku berjalan ke sana. "Mama kan sudah peringatkan jauh hari kepadamu, jauh-jauhlah dari Sekar." Itu suara Mama. Aku menghentikan langkahku di balik tembok pembatas. Sekar adalah nama mantan istri Mas Arsen. Menurut cerita Mama, satu tahun pertama pernikahan mereka, Sekar mau tinggal di rumah ini. Namun kemudian memaksa Arsen untuk mencarikan rumah dan pindah. Mama tidak tahan, karena wanita itu banyak menuntut dan selalu keluyuran. "Boro-boro bantu nyuci piring atau nyapu. Tidak pernah dia itu." Begitu Mama dulu bercerita. Akhirnya Mama memilih membelikan rumah untuk Arsen, Itu adalah jatahnya, seperti halnya semua saudaranya yang dibelikan rumah masing-masing. Saat itulah aku tahu, bahwa Arsen juga sudah dibelikan rumah, tetapi habis dijual ketika masih bersama Sekar. "Ya gimana lagi, orang dia dateng terus ke kontrakan Arsen, Ma." Itu suara Arsen. Aku terbelalak. Jadi Arsen dan Sekar masih sering berhubungan? "Kamu kan bisa usir dia. Bukannya malah dirujuk lagi seperti sekarang!" Ucap Mama keras. Deg. Rasanya kepalaku kembali berputar. "A.. apa, Ma?" Aku keluar dari balik pembatas. "Mas Arsen rujuk lagi dengan Sekar?" "Helena?" Baik Mama maupun Arsen sama-sama terkejut mendapatiku di sana. "Sudah berapa lama?" Tanyaku. “Helena, aku bisa jelaskan,” Arsen berusaha meraih kedua lenganku, namun aku menghindar. "Sudah berapa lama!" Teriakku. Jadi, Arsen menuduhku selingkuh, karena sebenarnya untuk menutupi kebobrokannya sendiri yang selingkuh dengan mantan istrinya? Perutku terasa bergolak Saat itu juga, aku merasa muak melihat wujudnya seorang Arsen. "Ini ada apa sih ribut-ribut? Teriak-teriak segala?" Mas Harris muncul dari pintu. Rambut dan pakaiannya masih berantakan. Dia pasti sedang tidur, dan terkejut oleh suaraku. "Helena?" Dia menoleh padaku, sorot matanya terlihat antara senang, juga bingung. Dia pasti senang aku kembali. Bingung karena aku seperti orang kesurupan. "Helena, duduklah dulu, kita bicarakan baik-baik." Arsen kembali merayuku. "Jawab aku!" Aku semakin berteriak. "Helena jangan begitu. Ayok masuk. Malu kedengaran tetangga." Ucap Mama seraya menuntun tubuhku masuk. Aku mengikutinya. Kami duduk di kursi ruang tengah. "Berapa lama?" Aku mengulang dengan suara gemetar. Mas Arsen masih diam. "Baru saja, Na." Mama yang jawab. “Helen tanya sama Arsen, Ma,” balasku pelan, namun masih dengan nada kecewa berat. “Jawab aku Arsen!” aku kembali berdiri. “Ti… tiga bulan.” Ucap Arsen terbata. Aku terduduk lemas mendengar pengakuannya. Menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Rasanya duniaku benar-benar sudah runtuh. "Mama juga sudah tahu itu kan, Ma? Dan Mama menyembunyikannya dariku?" Tubuhku semakin terguncang. “Helena…” “Kenapa Mama juga menutupinya dariku!” Aku menangis sekeras-kerasnya. "Ini ada apa sih?" Mas Harris tampak masih bingung. Tidak ada yang menjawabnya. "Selama ini aku begitu percaya sama Mas, aku rela kita jalani kehidupan jarak jauh. Ketemu seminggu sekali, kukira kita akan benar-benar saling menjaga. Ternyata kamu benar-benar busuk, Arsen! Busuk!" "Helena kamu coba ngertiin akulah. Aku ini laki-laki, Sekar datang dan menggodaku di kontrakan, bagaimana aku bisa menghindar?" Arsen menjelaskan. Sekali buka suara kalimat yang keluar dari mulutnya pun tetap hal yang busuk dan menyakitkan. "b*****t kamu, Arsen." Sahutku. Kali ini pasti mulutku sudah sama kotornya dengan mulut Harris yang selalu mengejekku. “Jangan begitu, Helena,” Aku bangkit dari kursi, berjalan menghentak menuju kamar. Kukeluarkan semua pakaianku. "Helena, apa yang kamu lakukan!" Teriak Arsen, berusaha mencegah. "Aku bisa menceraikan Sekar kembali." "Lepaskan aku B*jingan!" Teriakku. "Helena!" "Mas Arsen balas teriak. "Mas lebih mencintaimu ketimbang Sekar. Jangan pergi. Mas janji akan ceraikan dia lagi." Aku berjalan mengambil koper. Mama sudah berdiri di ambang pintu. "Na, jangan pergi." Kata Mama. "Kasihanlah sama Mama." "Mama juga sama kan?" Aku tidak dapat lagi berkata lembut pada Mama meskipun tidak teriak juga. "Mama tahu Arsen sudah banyak menipuku. Tapi Mama melindungi dia." "Iya Mama salah." Sahut Mama. "Jadi biarkan Helena pergi." Ucapku. Aku menarik koper yang berisi pakaian acak-acakan. "Na." Mama berusaha mencegah, memegangi tanganku, namun aku menarik tanganku dengan pelan. "Walau bagaimana, Helena memang bukan anak Mama. Tentu saja Mama akan selalu melindungi Arsen meskipun dia bersalah." Kataku dengan nada tertekan. "Hentikan, Helena! Kamu tidak seharusnya berkata begitu kepada Mama!" Itu suara Mas Harris. "Kenapa? Bukankah itu benar?" Suaraku gemetar. "Mama selama ini begitu menyayangimu. Tidak pernah membedakan antara anak kandung lainnya dengan kamu. Kenapa kamu berkata begitu kepada Mama? Tega sekali kamu!" Suara Mas Harris meninggi. "Mas tanyakan saja kepada mereka, mereka berdua telah menyakitiku! Mengkhianatiku! Jadi tanyakan kepada mereka? Jadi sayang yang bagaimana jika diam-diam menyembunyikan pengkhianatan suamiku di belakangku?" "Helena!" Harris membentak. "Cukup ya, selama ini, aku memang tidak pernah memukul perempuan, tetapi sekali aku tahu ibuku dihina dan disakiti, jangan kira aku tak bisa melakukannya. Bahkan membunuh pun aku sanggup!" Lanjut Harris sinis. "Kamu pikir selama ini apa? Kamu bahkan sudah membunuhku pelan-pelan setiap harinya dengan mulut kejimu itu!" "Helena maafkan, Mama." Kulihat pipi Mama basah. Sekali lagi berusaha meraih lenganku. Namun aku melepaskan dengan pelan. "Helena pergi, Ma." Kataku. "Maaf tidak bisa membersamai Mama lagi." Mengatakan itu hatiku terasa perih. Aku melangkah, meninggalkan rumah besar yang sudah hampir empat tahun kutinggali. Hatiku berdesir sakit. Aku benci mereka semua. —---------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN