Part 7. Pertengkaran

1108 Kata
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis. -------- Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat. "Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang." Deg. "Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia. "Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab! "Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak melakukan apa-apa. "Mas." Panggilku lembut. "Luar biasa." Sambutnya seraya bertepuk tangan tiga kali penuh dengan praduga. Aku tercekat. Aura tidak enak langsung kurasakan. Aku mendekatinya, berniat menyalami tangannya. Namun dia mengebaskan tangannya dariku. "Mas." Ulangku bingung. "Jadi begini ya keseharianmu di rumah? Jalan-jalan terus dengan Abangku." Uapnya. Nadanya penuh dengan tuduhan. "Apa maksudmu, Mas?" Aku mulai merasa tidak nyaman mendengar ucapannya. "Sok polos!" Balasnya mengejek. Aku menghembuskan napas berat. Sakit kepalaku semakin menjadi. "Suami banting tulang dibelain lembur akhir pekan. Eh istri di rumah senang-senang dengan pria lain. Abang sendiri pun diembat!" lanjutnya. Seketika darahku terasa mendidih. Tega sekali dia menuduhku berselingkuh. "Mas, jangan sembarangan menuduh ya." Terdengar nada marah pada suaraku. "Kami pergi tu baru hari ini. Itu pun karena kami ketemu di klinik. Helen berangkat naik angkot!" "Masih mau membela diri?" Tanyanya tak percaya. "Jadi Mas maunya gimana?" Tanpa sadar kalimat tantangan keluar dari mulutku. Jengah juga dituduh yang tidak-tidak. "Ouw… mulai berani ya sekarang? Siapa yang mengajarimu?" "Mas, bisa bicara baik-baik kan?" Pintaku dengan tegas. Menekankan bahwa aku juga bisa marah. "Dalam seminggu berapa kali kamu keluar bareng Mas Harris?" "Mas apa-apaan sih? Kami keluar tu hanya mau berobat. Helen USG, dan Mas Harris periksa kesehatan karena alerginya kambuh!" Jawabku kesal. "Bisa ya kebetulan begitu?" "Terserah kalau Mas gak percaya." "Bagaimana aku mau percaya? Hanya ke Klinik Salsabila yang jarak tempuhnya gak sampai 10 menit, kalian pergi hampir satu hari!" Arsen benar-benar marah kali ini. "Ya, itu karena Mama menyuruh kami membeli buah." "Di Pasar Rebo ada banyak buah. Tiga menit perjalanan dari klinik Salsabila, ke mana sisa waktunya?" Mas Arsen semakin nanar menatapku. "Percuma juga Helen jelaskan. Mas tetap tidak akan percaya." "Jelaskan!" Bentaknya. Aku kaget. Seumur-umur ini adalah pertama kalinya aku dibentak sedemikian rupa. "Mas!" Suaraku sama tingginya. "Aku curiga sama anak yang kamu kandung. Katakan itu anak siapa?" Mas Arsen semakin kehilangan kendali. Telunjuknya menuding ke perutku penuh amarah. "Oh… Jadi Mas menuduhku berzina?" Aku teriak. "Tega sekali kamu Mas!" Kubuka pintu dengan kasar. Aku keluar dan kembali kubanting pintunya. Aku berlari keluar. "Helena!" Tak kupedulikan panggilan Mama. Hatiku terlalu sakit atas tuduhan Mas Arsen. "Helena tunggu. Ada apa sih ini?" Kakiku terus berjalan, dan naik ke angkot 08 yang sudah menungguku di jalan besar. Itu karena supirnya melihatku yang berjalan kaki di gang menuju jalan utama, sehingga dia berhenti untuk menungguku. Begitu aku naik, angkutan umum langsung bergerak. Aku tahu penumpang pada memperhatikanku yang sedang menangis. Aku tidak peduli. Kuraih ponselku yang masih di saku. Untung aku belum mengeluarkannya tadi. "Mell" Suaraku gemetar, saat aku berbicara dengan temanku melalui sambungan ponsel pintarku. "Hei, kamu kenapa, Na?" Amell tampak kaget. "Aku ke rumahmu ya. Aku tidak tau mau ke mana." Dalam kondisi seperti ini, tidak mungkin aku pulang ke rumah orang tuaku di Bekasi. Jadi aku memilih melipir ke rumah teman yang pastinya lebih bisa memahamiku. "Ada apa sih, Na? Kamu di mana sekarang?" "Aku naik angkot 08, tolong jemput aku di PGC ya, Mell. Aku tidak bawa uang sama sekali." Aku berbicara sambil terus menangis. Saat itu kurasakan ada yang bergolak di perutku. Terasa melilit, sakit sekali. "Yaa ampuuun, Helena. Ya sudah kutunggu kamu di sana." Sahut Amell dari seberang. "Makasih ya, Mell." Kami menyudahi obrolan. Aku masih terisak. Tubuhku terguncang karena tangisanku. Semua penumpang membisu. *** Amel langsung memberiku segelas air es, begitu kami sampai di rumahnya. Sakit perutku agak berkurang. Begitu juga rasa sesak di dadaku. Napasku kembali teratur. "Apa yang terjadi?" Dia mengulang pertanyaannya yang tadi, setelah melihatku tenang. Dengan air mata yang terus mengalir, aku menceritakan semuanya kepada Amell "Dasar lelaki gak tahu diri suamimu itu!" Amel tampak kesal. Tentu saja. Amell adalah orang yang sangat paham perjalanan cinta kami. Sejak dulu dia sudah tidak setuju aku menikah dengan Arsen, yang usianya sepuluh tahun di atasku. Amel ingin aku menikah dengan teman kerja kami, Faiz. Usianya tiga tahun di atasku. Posisiinya sudah bagus di perusahaan. Baik dan sudah perhatian sejak aku belum mengenal Arsen. Sayangnya aku sama sekali tidak tertarik kepadanya. Arsen yang customer mewah kami, berhasil menaklukkan hatiku. Sejak itu Faiz tidak pernah lagi mengantarku pulang karena aku selalu dijemput Arsen dengan mobil mengkilap yang menyilaukan mataku. Ah, kalau saja aku cerita ke Amell, kalau Arsen juga ternyata duda yang memiliki anak sudah usia dua belas tahun, dia pasti akan semakin marah. Awalnya aku juga tidak menyangka Arsen sudah memiliki anak dari pernikahan pertamanya. Dia tidak pernah bilang kalau dia pernah menikah. Tepatnya tidak mengaku saat kutanyai, karena aku penasaran dengan usianya yang sudah bapak-bapak. Aku terkejut ketika tiba-tiba saat Mama akan mengadakan makan malam bersama, anak itu muncul diantar ibunya. Aku yang menerima kedatangan mereka, karena sedang menyapu di halaman depan. Aku menghembuskan napas lagi, sesak sekali setiap kali mengingati semua kedustaan Arsen padaku. "Kamu istirahatlah." Ucap Amel. "Masuk saja ke kamar." Aku sudah sering menginap di rumah Amell, jadi sudah paham mana kamar yang harus kutempati. "Aku ke toilet dulu." Sahutku seraya bangkit. Beberapa langkah kakiku berjalan, Amell memanggil. "Na." Aku menoleh. "Kamu mending ke dokter lagi deh." "Kenapa?" Aku bingung. Amell memberi isyarat sesuatu di bagian belakangku. "Da, darah di pantatmu." Aku memutar beberapa derajat kepalaku ke belakang untuk melihat yang ditunjuk Amell. Benar, rok bagian belakangku sudah nemplok warna merah melebar. Aku harusnya merasakan ada cairan yang keluar dari bagian bawahku, tetapi aku terlalu sibuk dengan perasaanku sehingga mengabaikan hal tersebut. "Mell?" Seruku ketakutan. "Kamu ke toilet, aku ambilkan pembalut." Ucap Amell seraya bangkit dari duduknya. "Setelah itu kita ke Dokter." Diam-diam aku bersukur karena memiliki sahabat sebaik Amell. *** Tiga puluh menit kemudian. Di sinilah kami. Di ruang pemeriksaan dokter perempuan yang cantik dan masih muda. Kami ada di RSIA Cinta Bunda daerah Cililitan. "Mbak sepertinya terlalu stress ya." Ucap Dokter yang memiliki nama Intan tersebut. "Jadi bagaimana, Dok? Tanya Amell. Dokter Intan menghela napas. "Dok?" Aku menatap cemas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN