Part 9. (POV 3) Kenangan)

1145 Kata
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu. Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat. "Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi." "Istri durhaka dia itu, Ma." Sahut Arsen, masih dengan keangkuhannya yang selangit. "Lihat ucapanmu. Kayak yang paling bener aja." Kali ini Harris yang berkata. "Kok Mas jadi belain dia? Ini urusanku, mending nggak usah ikut campur deh." Sahut Arsen sengal. "Diam kamu Arsen. Bukannya mikir, cari sana istrimu. Minta maaf dan bawa pulang kembali." Ucap Abiyah, menatap putra bungsunya dengan perasaan kecewa. "Tuh kan Mama jadi nyalahin Arsen juga." Arsen tidak terima. "Ya emang kamu salah, kok nggak nyadar juga sih." Harris kembali berkata. Arsen melotot kepadanya. "Sekali lagi, ini urusanku. Mas mending nggak usah ikut ngomong deh. Aku bisa kok selesaikan! Dasar jomblo!" Bantahnya. "Ya sudah buktikan, jangan cuma sok jagoan!" kejar Harris ikut kesal. "Aku males aja. Dia udah minggat dari rumah kok. Tanpa seijin suaminya. Kan jelas hukumnya, durhaka seorang istri meninggalkan rumah tanpa seijin suaminya?" "Banyak teori kamu tu!" Sahut Harris. "Kok jadi Mas Harris yang nyolot sih? Dia istriku loh." Suara Arsen meninggi. "Setidaknya aku lebih tahu keseharian dia di sini." Sahut Harris. "Kamu tu seharusnya bersukur memiliki istri dia. Mau merawat Mama, mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tidak banyak menuntut dan tidak aneh-aneh. Gak kayak Sekar, yang kerjaannya ngeluyur, make up, koleksi pakean, tas, sepatu, bosen liatnya!" "Oh, jadi diam-diam Mas Harris mengagumi istri adik sendiri? Ya ya Arsen paham sekarang." Sahut Arsen dengan gaya yang semakin memuakkan. "Ah, capek emang ngomong sama orang keras kepala seperti kamu!" Sahut Harris, seraya berdiri dari duduknya, lalu menoleh pada Abiyah. "Mama ke kamar aja, Ma. Istirahat. Biar Arsen cari solusi sendiri, dia gak butuh kita juga." Abiyah mengangguk. Harris langsung berjalan ke kamarnya. "Helena sedang mengandung anakmu, kamu cari dia." Ucap Abiyah kepada Arsen, seraya bangkit dari duduknya. Ia melangkah menuju kamarnya. Meninggalkan Arsen yang masih belum bisa terima dihakimi sebagai pihak yang bersalah. "Siapa yang bisa menjamin, kalau yang dikandung Helena adalah anakku," gerutu Arsen, matanya melirik ke arah di mana kakaknya menghilang. Kemudian dia melangkah menuju kamarnya sendiri. *** Keesokan harinya. Di kamarnya, Arsen berkali-kali menghubungi nomor Helena. Namun nomor itu tidak aktif. Di kamar sebelahnya, Harris masih menimbang-nimbang, antara ingin menelepon dan tidak. Dia pikir, Helena pasti sedang ingin menyendiri. Dia pasti sedang sangat kecewa. Harris tahu, dia tidak akan bisa merasakan seperti apa rasa sakit yang dialami Helena. Tetapi dia tahu iparnya itu pasti sangat terluka. Dia saja yang ditinggalkan istrinya empat tahun lalu, dalam keadaan baik-baik saja tetap mengalami patah hati, dan sempat merasa trauma untuk menikah lagi. Apalagi Helena? Hamil muda, kondisi badan tidak sehat, mentalnya rapuh. Tahu-tahu suaminya selingkuh dengan mantan istinya lagi. Ah, apa yang dilakukan anak itu sekarang? "Kamu pikir selama ini apa? Kamu bahkan sudah membunuhku pelan-pelan setiap harinya dengan mulut kejimu itu!" Tiba-tiba Harris tersentak sendiri. Itu ucapan Helena sebelum dia hengkang kaki dari rumah ini kemarin siang. "Yaa Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?" Gumam Harris. "Kenapa aku bisa berkata sekasar itu kemarin, sehingga membuat dia semakin terluka?" Wajah marah dan rapuh Helena memenuhi ruang ingatan Harris. Ditatapnya ponsel pintar di tangannya. Dibukanya aplikasi hijau di daftar menu. Pria itu mengetik sesuatu. Helena di mana kamu? Mas bersalah, maafkan ucapan Mas kemarin siang. Mas khilaf. - Send. Centang satu. Dan selamanya seperti itu. *** Harris turun dari ranjangnya. Membuka pintu kamar. Pria itu menuju dapur. Membuka pintu kulkas dan menuang segelas air es. Pukul 02:00 dini hari. Di sinilah semalam dia menelepon Helena. Di sinilah dia kemarin malam mengobrol dengan Helena, melalui panggilan telepon walau sebentar. Dia lah yang membujuk Helena pulang dengan alasan Mama. Di jam yang sama. 02:00. "Yaa Tuhan, akulah yang menyebabkan semua ini." Pikir Harris. "Aku yang menyuruh dia pulang hanya untuk menjemput luka." Sekali lagi Harris menatap layar ponselnya, dipijitnya nomor Helena. “Maaf nomor yang Anda tuju sedang ada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi." Suara operator menyahut. Harris mengembuskan napas kasar. Matanya tertuju pada kulkas baru yang belum pernah dipakai sama sekali. Kulkas sebelas juta yang dia beli untuk Mama. Ah, bukan. Bukan beli untuk Mama tepatnya, tetapi untuk… ah sudahlah. "Helena! Apa yang kamu lakukan?" Kenangan Jum’at sore kembali melintas di hadapan Harris. "Memangnya kenapa?" Harris seperti melihat Helena yang celingukan ke kanan dan ke kiri di depan kulkas mahalnya. "Lihat punggungmu! Yaa Salaaaam, itu kulkas Mama bisa lecet ntar! "Eh iya, Mas. Helen tidak liat-liat tadi. Ada kulkas sebelas juta ya." Bayangan wajah Helena yang nyengir polos, seperti tanpa dosa, begitu jelas di benaknya. "Pindah, pindah! Itu bukan kulkas murahan. Aku beli bukan buat kamu pakai bersandar!" Harris mendesah berat. Itu kenangan agak lucu sih, tetapi juga, kejam! "Benar, selama ini aku sudah terlalu keras kepada Helena." Gumamnya. Lalu ia berjalan mendekati kulkas sebelas jutanya. Dibukanya pintu kulkas tersebut. Harris terhenyak. Dua kantong besar buah-buahan yang dia beli bareng Helena empat hari lalu masih di sana. Sebenarnya Harris juga yang memasukkan ke sana, tetapi dia terlupa. Harris membuka salah satu kantong buah tersebut, dan menemukan sebiji tomat besar di sana. "Kamu bahkan belum menyentuh tomat ini lagi" Gumamnya pelan. "Harris?" Harris melonjak kaget. Pria itu langsung memutar tubuhnya menghadap arah suara. "Mama?" "Sedang apa kamu?" Abiyah bertanya sambil berjalan mengambil gelas, Sama dengan yang dilakukan Harris sebelumnya, menuang air es dan mereguknya. "Tadinya cuma haus. Tapi keinget beli buah-buahan kemarin Harris masukkan ke sini." Sahut Harris. "Pada busuk dong, kan nggak dicolokin itu kulkasnya." Kata Mama. "Nggak kok Ma. Buahnya super semua. Jadi bisa tahan. Kemarin kulkas itu penuh, jadi Harris taruh di sini." "Itu di tanganmu apa?" Mata Abiyah tertuju pada buah di tangan Harris. "Tomat?" "Iy, iya Ma." Sahut Harris tergagap. Abiyah meraih buah itu dari tangan Harris. "Gede banget." “Iya, Ma.” “Buat Mama ya?” "Aaak, itu, itu…” “Ada apa?” “Itu punya Helena, Ma." Ucap Harris gugup, dan berusaha menghindari tatapan Mamanya. Abiyah terkesima. Wanita tujuh puluh tahunan itu memutar tubuhnya penuh, menatap wajah putranya dengan saksama. Harris semakin gelagapan. "Ada apa, Ma?" Tanyanya hati-hati. "Kamu baik-baik saja kan, Ris?" Tanya Abiyah. "Maksud, Mama?" Tanya Harris deg-degan. Apa yang Mama curigai?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN