Diceraikan Romeo Dan Ditingalkan Kakak.

922 Kata
"Kamu lembur?" Gavin melangkah masuk ke ruang kerja Maudy dengan lembut, membawa segelas kopi hangat yang aroma khasnya segera memenuhi ruangan. Ia memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam, keningnya berkerut sedikit. "Sudah jam sepuluh," ujarnya, suaranya lembut namun sarat dengan kekhawatiran. "Sebentar lagi, Pak Gavin," jawab Maudy dengan nada suara yang lelah, namun tetap sopan. Matanya tetap fokus pada layar komputer, meskipun jiwanya terasa seperti hendak runtuh. Ini semua karena Romeo, pria yang menguasai hidupnya seperti seorang tiran. Pria yang entah mengapa, terus-menerus menyiksanya dengan pekerjaan yang menumpuk tanpa henti. Maudy tidak tahu apa motif sebenarnya di balik perlakuan kejam itu, namun dia sudah hampir mencapai batasnya. Gavin mengerutkan bibirnya, rasa kesal terpancar dari wajahnya. "Laki-laki itu memang b******k!" katanya, tak mampu lagi menyembunyikan emosinya. "Aku akan bicara pada kakakku. Jadi, pulanglah." Tatapan Gavin melunak ketika melihat wajah lelah Maudy yang tampak begitu pucat di bawah cahaya lampu ruangan. Ia tidak tega membiarkannya terus bekerja hingga larut malam seperti ini. "Aku akan mengantarkanmu pulang," tambahnya dengan nada yang lebih lembut, seolah ingin menawarkan perlindungan dari dunia yang begitu keras terhadap gadis ini. Maudy menatap Gavin sekilas, mencoba membaca ketulusan di balik sorot matanya. Gavin selalu tampak tulus, perhatian yang dia berikan terasa hangat seperti sinar matahari di pagi hari yang menembus kabut tebal. "Mmm... kenapa Pak Gavin masih di sini?" tanyanya dengan suara lembut, sedikit terkejut bahwa pria ini rela tinggal di kantor sampai larut malam hanya untuk menemaninya. "Karena aku melihatmu di sini," jawab Gavin dengan senyum tipis, penuh perhatian. "Aku merasa bahwa kamu memang selalu bekerja lebih keras daripada yang lain. Aku ingin menemanimu, memastikan kamu tidak kelelahan." "Jangan seperti itu. Pak Syadiran pasti tidak menyukai hal ini," keluh Maudy dengan nada khawatir, merasa takut bahwa kehadiran Gavin yang berlebihan bisa menimbulkan masalah. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan hangat yang tidak bisa ia pungkiri, perasaan yang membuatnya sedikit lega di tengah tekanan yang menghimpit. Gavin tersenyum lembut, seolah mengerti kegundahan Maudy. "Ayahku ya..." ia berhenti sejenak, menghela napas pelan sebelum melanjutkan, "Sejujurnya dia enggak sekeras itu. Dia ramah dan sepertinya enggak akan mempermasalahkan hal ini." Namun, Maudy tidak bisa mengabaikan kenyataan yang lain, kenyataan yang telah menjadi bayang-bayang di kehidupannya. "Pak Syadiran sudah menjodohkan Anda dengan Nona Adira. Apa Anda lupa?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Gavin tersenyum miris mendengar nama Adira disebut. "Ah, Adira... Aku lupa pada anak itu. Ini hanya perjodohan biasa, Maudy. Tidak ada hubungan bisnis di baliknya. Ayah hanya berpikir bahwa Adira ini gadis yang baik, cocok untukku. Namun, bagaimana pendapatnya jika ia tahu bahwa anaknya justru menyukai sekretaris hebatnya ini?" katanya dengan nada yang menggoda, tatapannya penuh cinta yang tak terucap. Mendengar pengakuan itu, Maudy menggelengkan kepalanya perlahan, berusaha menolak apa yang tidak bisa ia terima. "Anda jangan terus menggoda anak orang. Pulanglah," pintanya, berusaha menjaga jarak antara mereka. Namun, di dalam hatinya, kata-kata Gavin membuat sesuatu bergetar halus, sebuah perasaan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam. Gavin hanya tertawa pelan mendengar ucapan Maudy, tawa yang lembut namun penuh dengan kehangatan. "Hanya kamu yang berani mengusirku di sini. Dan itulah yang membuatku semakin menyukaimu," katanya dengan nada ceria, seolah tidak peduli pada penolakan halus Maudy. Di antara kesunyian malam yang semakin larut, tawa Gavin yang ringan itu seolah menjadi angin segar yang melembutkan segala beban yang menggelayuti hati Maudy, meskipun hanya untuk sejenak. _______________ “Dia di mana?” Tanya Romeo pada Tedy. Saat ini ia sedang menelpon laki laki itu. “Nona Maudy sedang di ruangannya bersama adik anda, pak.” jawab Tedy. “APA!” Romeo hampir berteriak di kamarnya. “Untuk apa itu berada di sana?” tanya Romeo semakin heboh. “Saya tidak tahu, Pak.” jawab tedy. “Ya sudah!” Romeo menutup telponnya. Ia segera menelpon gadis itu. Pikirannya kacau. Ia cemburu! ia tidak suka ada laki laki lain dekat dengan Maudy, meski itu adalah adiknya sendiri. Ia bolak balik di dalam ruangannya, napasnya memburu dan amarahnya meluap. “Apa dia sedang mencari mangsa baru?” gumam Romeo kesal. Ia merasa bahwa Maudy ini tidak cukup hanya dengan satu pria saja. Padahal ia sudah memberikan segalanya. ___________ Maudy telah sampai ke apartemennya dengan diantarkan oleh Gavin. Dan saat ini gadis itu sudah berada di depan pintu apartemennya. Ia membuka pintunya hendak menyalakan lampu, namun … “Baru pulang!” Romeo sudah menyalakan lampu dan menghampiri Maudy. Gadis itu lupa kalau bahkan apartemen ini saja miliknya Romeo, pemeberian laki laki itu. “Iya.” jawab maudy. “Kamu diantarkan adik ku?” sinis Romeo penuh dengan nada kecemburuan. Dan Maudy mengangguk. Hal itu sungguh membuat Romeo amat marah. “Kenapa kamu jujur sekali! biasakah kamu menyangkalnya!” teriak Romeo dengan amarah. “Kenapa aku harus menyangkal? Bukan kah anda sudah mengetahuinya?” “Kamu …” Melihat sinar tajam perlawanan dari kedua mata indah itu, Romeo semakin marah. Ia mencium gadis itu kasar, meski Maudy memberontak. “Lepas …” Maudy berhasil melepaskan dirinya. Gadis itu menahan tangisnya. Dadanya sudah sesak ketika ia melihat kedatangan Kleo. Dan perlakuan Romeo semakin memperparah semuanya. “Tolong … tolong lepaskan aku.” Lirih Maudy dengan kedua matanya yang basah. Dan Romeo masih saja bergelut dengan kemarahannya. Rasa cemburu dan takut kehilangan jadi satu. “Baik, Maudy Angelika. Malam ini saya talak kamu!” TIDAK! Maudy bagaikan di sambar petir. Ia menatap laki laki itu dengan mematung. Dan Romeo hanya pergi begitu saja seolah tanpa dosa. Maudy menjatuhkan dirinya di atas lantai apartemen yang sepi. Lalu ponselnya berdering, ia pun mengangkatnya. “Halo Dokter Ana ….” “Antonio … dia meninggal!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN