Kepergian Sang Kakak.

1520 Kata
"Mau ke mana?" Suara Romeo rendah namun penuh ketegasan, menggema di dalam apartemen yang hening. Ia menggenggam lengan Maudy, seolah tak ingin membiarkan gadis itu melangkah lebih jauh. Tatapan mata mereka bertaut, tapi hanya sesaat—sebuah percikan ketegangan yang tak bisa diabaikan. "Bukan urusan anda!" Maudy menepis genggaman itu dengan gerakan cepat, secepat ketidaknyamanan yang membanjiri dadanya. Dalam hatinya, ada yang jauh lebih penting dari sekadar percakapan dingin dengan Romeo—kakaknya, satu-satunya keluarga yang tersisa, mungkin kini sedang terbaring sendirian di rumah sakit yang sunyi. Wajahnya pucat, tak peduli dengan dinginnya malam, ia harus pergi, harus segera menemukannya. "Maudy!" Suara Romeo penuh frustrasi, dan langkahnya maju seolah menahan dunia yang hendak runtuh. Amarah membara di dalam dirinya, perasaan yang bercampur aduk—kebingungan, cemburu, dan sedikit rasa takut. Siapa pria yang Maudy panggil dalam tidur? Siapa sosok itu yang berani menghantui mimpinya? Namun, Maudy tak lagi mendengar. Seperti daun yang terhembus angin, ia melarikan diri, jantungnya berpacu seiring dengan langkah-langkahnya yang tergesa. Seakan ada badai yang mengejarnya, menggulung segala rasa takut dan cemas menjadi satu. Dia tak peduli pada tatapan Romeo yang penuh kemarahan, pada pertanyaan yang mengambang di udara seperti bayang-bayang tak terjawab. "Mau ke mana dia...?" Romeo bergumam, suara itu hilang di antara detak jantungnya yang berdebar. Kakinya bergerak spontan, mengejar bayangan Maudy yang telah hilang ke dalam lift, namun seolah terlambat. Begitu Maudy melangkah keluar, dunia di sekitarnya tampak tenggelam dalam tirai hujan deras yang seakan turut menangisi hatinya. Kilat menyambar langit gelap, tapi tak ada yang lebih gelap daripada pikiran Maudy saat ini. Tangan gemetar, ia mencoba memesan taksi, namun melihat waktu yang berlalu, ia tahu itu akan terlambat. Dadanya sesak, seolah-olah detik-detik itu adalah penentu akhir. Ia tahu tak bisa menunggu—hanya satu pilihan yang tersisa. Dengan napas tertahan, Maudy berlari. Setiap langkahnya membawa tubuhnya lebih dalam ke pelukan hujan, namun dia tidak peduli. Air mengalir dari rambutnya, menetes ke pipi yang telah basah oleh air mata. Tangisnya kini menyatu dengan air hujan yang menghujani tubuhnya. "Tunggu aku, Kak..." gumamnya, suara lirih yang terbawa angin malam. Dalam hatinya, ketakutan semakin mencengkeram kuat. Dia tak ingin kehilangan satu-satunya orang yang selalu ada untuknya—Antonio, kakak tercinta. Rasa dingin menggigit, namun tak sebanding dengan dinginnya bayangan kemungkinan terburuk yang menari di benaknya. Maudy membayangkan tubuh kakaknya yang lemah, terbungkus kain putih, dikelilingi kesunyian rumah sakit yang tak berperasaan. "Kakak..." Desahan itu keluar dari bibirnya yang bergetar, tapi semangat di dadanya tetap tak tergoyahkan. Dia harus bertemu kakaknya, menatapnya sekali lagi, sebelum semuanya terlambat. Di arah lain, Gavin sedang mengemudi dengan tenang, namun tiba-tiba matanya menangkap sesuatu—sesosok yang begitu akrab, berlari dalam hujan menuju peron LRT. "Maudy..." Nama itu meluncur dari bibirnya dengan keheranan. Tanpa berpikir panjang, ia segera memutar mobil, mengejar bayangan yang semakin menjauh. Kaca jendela mobilnya turun dengan cepat, dan dari balik derasnya hujan, suaranya menembus udara, “MAUDY!” Suara itu begitu keras, penuh keprihatinan, sampai membuat Maudy menghentikan langkahnya. Di bawah hujan yang tak kenal ampun, gadis itu berhenti, terdiam sejenak, menatap sosok Gavin yang melambai dari dalam mobil. Namun, sebelum dia bisa merespons, di sisi lain gedung, sepasang mata lain memperhatikannya. Romeo. Dari tempatnya berdiri, ia melihat semuanya, melihat bagaimana Gavin berhenti untuk Maudy, dan bagaimana Maudy perlahan mendekat. Hatinya mendidih. “Gavin? Jadi dia terburu-buru hanya demi bertemu dengan Gavin?” Cemburu menggelora seperti badai yang lebih hebat daripada hujan di sekitarnya. Dadanya bergemuruh, dan amarah menyulut bara yang sudah lama tersimpan. Romeo ingin berlari menghampiri mereka, meneriakkan ketidakpercayaannya, namun dia tahu bahwa Gavin tak tahu apa-apa tentang hubungan yang ia miliki dengan Maudy. Akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah berdiri diam, melihat dari kejauhan ketika Maudy masuk ke dalam mobil Gavin, seolah memilih perlindungan yang lain. "Benar-benar murahan!" Romeo memukul kedua tangannya dengan penuh rasa frustrasi, cemburu yang membakar tak mampu ia padamkan. Tangannya terkepal erat, seolah itu bisa menahan rasa sakit yang menusuk dalam diam. Di dalam mobil, suara tangis Maudy bergema, memecah keheningan di antara tetesan hujan yang menetes pelan di luar. Isakannya begitu keras, mengiris hati, dan tubuhnya berguncang seolah seluruh beban dunia runtuh menimpa dirinya. Gavin, yang duduk di sampingnya, memandang dengan cemas. Napas Maudy tersengal-sengal, seolah udara pun menolak mengisi paru-parunya yang penuh dengan rasa sakit. "Maudy... Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?" Suara Gavin lembut, penuh perhatian, sementara tangannya dengan sigap mengambil jasnya dan menyelimutkan ke tubuh Maudy yang gemetar. Hujan telah membasahi gadis itu hingga ke tulang, dan Gavin takut Maudy akan jatuh sakit di tengah keadaan yang sudah begitu kacau. Tangannya terasa hangat di kulitnya yang dingin, namun rasa dingin itu bukan hanya berasal dari cuaca—melainkan dari dalam dirinya sendiri, dari ketakutan yang mengoyak hati Maudy. Perlahan, Maudy sadar bahwa dirinya telah menangis seperti orang yang kehilangan kendali. Isakannya yang dulu menggema keras kini mereda menjadi sebuah keheningan yang mencekam. Matanya, merah dan bengkak karena air mata, menatap Gavin dengan perasaan bersalah. "Maaf... Aku mungkin mengagetkanmu," bisiknya, suaranya serak dan parau, mencoba mengendalikan gemuruh di dadanya. Gavin menggeleng pelan, senyum lembut menghiasi wajahnya, meski ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan dari matanya. "Kamu mau ke mana?" tanyanya, suaranya tetap tenang meski hatinya penuh tanya. Ada sesuatu yang begitu salah, sesuatu yang lebih dari sekadar tangisan tanpa sebab. Maudy menghela napas dalam, seolah berusaha menenangkan badai di dalam dirinya, sebelum akhirnya berbisik pelan, "Tolong... antar aku ke rumah sakit. Tolong segera..." Permintaan itu langsung menusuk hati Gavin. Tanpa bertanya lebih jauh, dia segera menyalakan mesin dan menginjak pedal gas, membawa mobil itu melaju lebih cepat. Jantungnya berdegup keras, berirama dengan hujan yang semakin deras di luar. Dia tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi melihat kesedihan yang mengalir dari mata Maudy, ia bisa merasakan bahwa ini bukan sekadar rasa sakit biasa. Sesuatu yang lebih dalam sedang menghantui gadis itu, dan Gavin hanya bisa berharap bahwa ia bisa membawanya tepat waktu, sebelum semuanya terlambat. Sementara itu, di dalam hatinya, Maudy tenggelam dalam ketakutannya sendiri. Gambaran kakaknya yang sekarat terus berputar di benaknya, seakan setiap detik yang berlalu adalah jarak yang memisahkan mereka untuk selamanya. "Tunggu aku, Kak..." bisiknya sekali lagi, meski kali ini hanya angin malam yang mendengarnya. Di apartemennya, Romeo mondar-mandir dengan gelisah, telepon di tangan, suaranya penuh ketegangan. "Cari tahu ke mana Maudy pergi!" perintahnya dengan nada tegas yang tak bisa dibantah. Di seberang sana, Tedy, yang baru saja pulang ke apartemennya, mendesah pelan. "Maudy tidak pulang ke apartemen Anda?" tanyanya dengan nada heran, namun itu hanya memicu kemarahan Romeo lebih dalam. "JANGAN BERTANYA! CARI DIA, CARI!" teriak Romeo, suaranya bergemuruh di telinga Tedy. Tedy, yang hampir kehilangan kesabaran, menjauhkan ponselnya dan mendecak kesal. "Ya ampun, berisik sekali," gumamnya sambil memutar matanya. Namun, ia tahu perintah atasan tidak bisa diabaikan. Dengan cepat, ia melacak lokasi Maudy melalui nomor ponselnya dan menemukan bahwa gadis itu berada di sekitar rumah sakit. “Rumah sakit…” bisik Tedy dengan sedikit kecurigaan. Meski malas, dia segera mengenakan jaketnya dan melangkah keluar dari apartemen. Udara malam terasa dingin, hujan turun deras menghantam tubuhnya, tapi Tedy tak punya pilihan. "Tengah malam begini, dan dia menyuruhku cari gadis yang hilang," keluhnya, sambil menatap hujan yang semakin lebat. Namun, meski rasa malas menyelimuti, perintah Romeo adalah segalanya. Sementara itu, di rumah sakit, Maudy keluar dari mobil Gavin tanpa sepatah kata. Dia berlari tergesa-gesa, melewati pintu masuk yang dingin dan steril. Gavin memandangnya dengan kebingungan, namun rasa khawatir menyelimuti dirinya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat Maudy begitu panik, dia tahu ada sesuatu yang salah. Tanpa berpikir dua kali, Gavin mengikutinya. Langkah kakinya bergema di koridor rumah sakit yang lengang, suasana mencekam mengiringi setiap langkah mereka. Maudy terus berlari, seolah mengejar waktu yang hampir habis. Hatinya terasa seperti dihancurkan ribuan pisau, dan hanya ada satu tempat yang ditujunya—ruang jenazah. Rasa takut yang begitu dalam menguasai dirinya, seakan bayangan kehilangan itu semakin nyata. Gavin, yang terus mengikutinya, semakin bingung. “Untuk apa dia ke ruangan itu?” pikirnya dengan cemas. Namun, pertanyaannya tak butuh jawaban segera, karena saat mereka sampai, Maudy langsung mendekati tubuh yang terbaring di bawah kain putih. Tanpa ragu, dengan tangan gemetar, dia membuka kain itu, dan saat wajah kakaknya terlihat, tangisnya pecah seketika. Suara tangis Maudy menggema di ruangan yang sunyi, memecah kesunyian dengan jeritan hati yang tak tertahankan. Gavin, yang berdiri tak jauh darinya, merasa dadanya ikut sesak. Dia mematung, tak tahu harus berbuat apa. Tangisan Maudy seolah menyayat malam yang dingin dan membuat Gavin merasakan kesedihan yang begitu dalam, meskipun ia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Dengan hati-hati, Gavin mendekat, tangannya yang besar dan hangat menyentuh bahu Maudy dengan lembut, mencoba memberi ketenangan. Namun, kesedihan Maudy terlalu berat untuk ditahan. Beban yang ia rasakan, kehilangan yang begitu besar, terlalu hebat hingga tubuhnya tak mampu menanggungnya lebih lama. Seketika, tubuh Maudy lunglai, dan dia pun jatuh pingsan di pelukan Gavin. Gavin, dengan refleks, menangkapnya sebelum tubuh Maudy menyentuh lantai. "Maudy..." bisiknya, suaranya penuh kepedihan. Ia menatap wajah Maudy yang pucat, air mata masih berjejak di pipinya. Gavin menatap tubuh tak bernyawa di bawah kain putih itu dan kini mengerti apa yang membuat Maudy begitu hancur. Kakaknya telah pergi, meninggalkan luka yang tak mungkin terobati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN