Maudy keluar dari lift dengan langkah yang goyah, tangannya gemetar saat mengusap bibirnya yang masih terasa panas dari ciuman Gavin. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kejutan dari tindakan Gavin, tetapi juga oleh perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya terpejam sejenak, mencoba menenangkan kekacauan yang melanda batinnya. Namun, kenyataan kembali menghantamnya ketika ia mendengar suara yang familiar memanggil namanya.
"Aku mencarimu ke mana-mana. Pak Romeo sudah menunggumu di ruangannya!"
Itu suara Tedy, asisten pribadi Romeo yang selalu tampak serius dan tak kenal kompromi. Maudy membuka matanya, terkejut oleh kehadiran Tedy yang tiba-tiba. Tatapannya seolah mendelik, seakan meminta penjelasan mengapa lelaki itu harus muncul saat ini.
"Kenapa? Apa kamu sudah dikejar hantu?" sindir Tedy dengan nada dingin yang selalu menjadi ciri khasnya.
Maudy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Baiklah. Aku akan segera ke ruangannya Pak Romeo," jawabnya singkat, sebelum berlalu meninggalkan Tedy dengan langkah cepat.
"Kenapa dia?" gumam Tedy sendirian, bingung dengan sikap Maudy yang terlihat lebih gelisah daripada biasanya.
Maudy melangkah cepat menuju ruangan Romeo, jantungnya berdebar lebih kencang dengan setiap langkah yang mendekatkan dirinya ke sosok yang selalu memenuhi pikirannya. Kantor Syadiran Group yang megah membentang di hadapannya, dengan dinding kaca yang menjulang tinggi, memantulkan cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela besar. Di balik pintu-pintu kayu mewah yang tertutup rapat, Maudy tahu bahwa ruang-ruang tersebut dipenuhi dengan hiruk-pikuk kehidupan bisnis yang sibuk dan ambisius.
Namun, bagi Maudy, kantor ini bukan hanya sekadar gedung perkantoran megah. Ini adalah tempat di mana takdirnya berubah tiga tahun yang lalu. Ia masih ingat dengan jelas saat pertama kali melangkahkan kaki di sini, hatinya penuh dengan ketakutan dan harapan. Hari itu, ia datang menemui Romeo untuk meminta pertolongan—permohonan yang akhirnya mengubah hidupnya selamanya. Maudy rela merendahkan dirinya, menjatuhkan martabatnya demi nyawa kakaknya yang terancam. Dan Romeo, dengan tatapan tajam dan senyum penuh kesombongan, mengambil kesuciannya malam itu dengan cara yang begitu buas, seakan ingin menghapuskan semua kebebasan yang pernah dimilikinya.
Kenangan pahit itu terukir dalam di benaknya, dan setiap sudut kantor ini seolah membawa kembali bayangan malam itu—malam di mana ia menyerahkan segalanya demi menyelamatkan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tiga tahun berlalu, tapi luka itu masih terasa segar, seperti duri yang tertanam dalam hatinya, tak bisa dicabut tanpa merusak segalanya.
Maudy terhenti di depan pintu ruangannya Romeo, hatinya kembali berdebar kencang. Tangannya perlahan terangkat, hendak mengetuk pintu yang tampak kokoh dan dingin di hadapannya. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh permukaan kayu yang halus, suara dari dalam ruangan menghentikan langkahnya.
"Masuk!" suara Romeo terdengar tegas dan dalam, seolah sudah mengetahui kedatangan Maudy bahkan sebelum ia tiba.
Dengan nafas yang tertahan, Maudy membuka pintu dan melangkah masuk. Di balik pintu itu, terhampar sebuah ruangan yang luas dan mewah, dipenuhi dengan perabotan yang menunjukkan kekayaan dan kekuasaan. Meja kerja besar di sudut ruangan dikelilingi oleh berkas-berkas dan layar komputer yang menampilkan data-data penting. Di tengah ruangan, berdiri Romeo dengan punggung tegak dan tatapan tajam yang langsung menembus jantung Maudy, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.
Maudy menghela napasnya berkali-kali, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Tapi tatapan dingin Romeo, yang selalu membawa campuran antara ketertarikan dan kekejaman, membuatnya semakin sulit untuk bernapas. Setiap detik yang berlalu di ruangan itu terasa berat, seolah dunia di sekitarnya menyusut, hanya menyisakan mereka berdua dalam ketegangan yang tak terucapkan.
"Apa yang membuatmu lama?" tanya Romeo akhirnya, suaranya tenang namun ada nada tegas yang mengintimidasi.
Maudy membuka mulutnya, namun kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya, terperangkap oleh bayangan masa lalu dan ketakutan akan masa depan.
"Maaf, Pak," jawab Maudy dengan suara yang terdengar lemah, hampir seperti bisikan. Dia berdiri di sana dengan tubuh sedikit gemetar, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.
Romeo mendengus jengah, pandangannya tajam seperti pisau yang siap menusuk. "Aku... Aku sudah bilang padamu. Kalau aku enggak suka dibohongi!" suaranya menggelegar di ruangan yang sunyi, penuh dengan kemarahan yang terpendam.
"Maksud Bapak?" Maudy menatap Romeo dengan bingung, kedua alisnya sedikit berkerut, mencoba mencari penjelasan di wajah pria yang begitu dikenalnya.
Namun, bukannya memberikan penjelasan, Romeo justru merasakan gelombang cemburu yang tak tertahankan melandanya. Bayangan malam itu, saat Maudy menyebut nama seorang pria lain dalam tidurnya, menghantui pikirannya. Cemburu yang membara di dadanya membuatnya kehilangan kendali, dan dalam sekejap, dia melangkah maju dengan cepat, mendorong Maudy ke dinding ruangan. Dinding dingin itu seolah menyerap seluruh rasa takut yang mengalir dari tubuhnya. Romeo mendekatkan wajahnya ke wajah Maudy, begitu dekat hingga Maudy bisa merasakan napasnya yang hangat dan tergesa-gesa. Tatapan pria itu menembus jiwanya, tajam dan penuh amarah.
"Katakan... apa kamu sedang berdusta padaku? Maka aku akan mengampunimu," desis Romeo dengan suara yang nyaris berbisik, tetapi penuh ancaman. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah mengiris hati Maudy.
Maudy mengepalkan kedua tangannya erat-erat, kukunya hampir menusuk kulitnya sendiri. Rasa sakit fisik itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit emosional yang kini mencabik-cabik hatinya. Dia tidak pernah mendustai Romeo. Sejak awal, hanya satu nama yang terpatri di hatinya, hanya satu pria yang telah merenggut segalanya dari dirinya—Romeo.
"Memangnya apa yang tersisa di dalam diriku? Semuanya telah Anda miliki, Pak," suaranya bergetar, kedua matanya yang indah mulai basah oleh air mata yang sulit ia tahan. Maudy lelah, tubuh dan jiwanya terkuras habis oleh amarah Romeo yang selalu meledak tanpa alasan. Setiap saat, dia merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, menunggu kapan pun untuk terjatuh dan hancur. Dia mulai merasa ingin menyerah, menyerah pada pria yang tak henti-hentinya menyiksanya dengan cara yang begitu halus namun menghancurkan.
"Pendusta!" Romeo berteriak dengan marah, langkahnya mundur, menjauhkan dirinya dari Maudy seakan tak ingin melihatnya lebih lama lagi. Dengan gerakan kasar, dia meraih tumpukan map dari mejanya, berkas-berkas yang menumpuk seperti beban yang tak terhitung jumlahnya. Dengan penuh emosi, dia melemparkan map-map itu ke arah Maudy, kertas-kertas itu berhamburan di udara, seperti hujan yang membawa ketidakadilan.
"Susun semua laporan itu dengan benar. Akhir-akhir ini pekerjaanmu tidak jelas!" suaranya penuh dengan kebencian yang dia sembunyikan di balik perintah. Romeo tahu bahwa hanya dengan melimpahkan pekerjaan yang rumit dan tak berujung, dia bisa sedikit melampiaskan rasa sakit yang ditimbulkan oleh pengkhianatan yang dia rasakan.
Maudy merasakan tumpukan pekerjaan itu seperti gunung yang menghimpit dirinya, tapi lebih dari itu, kata-kata Romeo menghancurkan hatinya yang rapuh. Dia tidak pernah menginginkan ini. Tidak pernah ingin berada dalam posisi di mana orang yang dia cintai begitu dalam justru menjadi musuh yang selalu mengincar kesalahannya. Namun, tidak ada tempat lain baginya, tidak ada jalan keluar dari neraka ini.
Dalam tidurnya, Maudy sering memanggil nama yang bukan milik Romeo—Antonio. Nama yang terdengar dari bibirnya saat ia terjebak dalam mimpi yang penuh dengan bayangan masa lalu. Tapi bagi Romeo, itu adalah bukti pengkhianatan, meskipun Maudy sendiri tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Dan kini, Romeo dengan amarah yang tak terbendung, hanya bisa memikirkan satu hal. Mungkin, jika dia menemukan pria itu—Antonio—dia akan membunuhnya, menghapus jejak-jejak yang mengganggu hatinya. Karena cinta yang telah berubah menjadi benci bisa sangat berbahaya, dan Romeo bersumpah untuk tidak membiarkan siapa pun merusak apa yang seharusnya menjadi miliknya.