Nama Kecil

2499 Kata
    Kediaman keluarga Duke Baxter terkenal dengan kemewahan dan keindahannya yang bahkan bisa menyaingi keindahan istana kekaisaran Eilaxia di mana para keluarga kerajaan tinggal di sana. Sayangnya, baik kediaman Duke Baxter maupun istana kekaisaran sama-sama tidak bisa dikunjungi oleh sembarang orang. Hanya ada beberapa waktu di mana gerbang masuk keduanya terbuka lebar, memberikan izin untuk setiap orang mengunjungi dan melihat betap indahnya dua tempat terpenting di tanah kekaisaran Eilaxia tersebut. Tentu saja siapa pun yang melihatnya, merasa tidak ingin untuk meninggalkan keindahan tersebut.     Namun, dibandingkan dengan istana kekaisaran, orang-orang lebih penasaran dengan kediaman Duke Baxter. Ya, Duke Darrance Baxter memang selalu saja dengan mudah menarik perhatian. Selain karena statusnya sebagai seorang Duke, yang juga merangkap menjadi pewaris takhta kekaisaran di posisi ketiga itu, Darrance juga memilik hal lain yang membuat semua orang tertarik padanya. Hal itu tak lain adalah kabar jika Duke Darrance Baxter memiliki darah iblis yang mengalir pada nadinya. Hal itu tak terlepas dari kemampuan Darrance yang seakan-akan sangar superior dan tak terkalahkan.     Darrance selalu menjadi pemimpin terdepan untuk pasukan kekaisaran saat perang berlangsung. Dan ketika, Darrnace terluka, tidak membutuhkan waktu lama, Darrance kembali pulih. Tentu saja semua orang berpikir jika kabar yang beredar tersebut memang benar adanya. Darrance sang Duke, adalah keturunan iblis yang memiliki kemampuan di luar akal sehat. Terlepas dari hal itu, para wanita melihat Darrance sebagai sosok sempurna untuk dijadikan seorang suami. Takhta, harta, dan rupa, sudah dimiliki oleh Darrance. Tentunya, Darrance menjadi incaran banyak wanita di ibu kota kekaisaran Eilaxia ini. Di mana semua gadis cantik dari kalangan bangsawan terhormat berada.     Jadi, Jolicia merasa jika dirinya seakan-akan mendapatkan durian runtuh saat mengetahui jika dirinya sudah resmi menjadi istri dari pria pemilik paket komplit tersebut. Jolicia mendesah, ya kini dirinya tengah berusaha untuk menerima statusnya sebagai seorang istri dari Darrance dan menyandang gelar Duchess bagi daerah kekuasaan bernama Brook ini. Jolicia menghela napas dan kembali melemparkan pandangannya pada hamparan kebun yang ditata dengan begitu apik. Jolicia sangat bersyukur dirinya bisa memiliki kesempatan untuk melihat taman kediaman Duke yang terkenal ini.     Freya dan Briana—anak didik Chaiden yang diperintahkan untuk membantu merawat Jolicia—yang berada di sana saling berpandangan. Tentu saja, keduanya merasa sangat cemas. Sejak pembicaraan Jolicia dan Darrance kemarin, Jolicia berubah menjadi lebih pendiam dari biasanya. Freya terlihat paling cemas di sana. Karena ada beberapa hal, Briana tidak bisa berada di sana terlalu lama. Briana sudah melaksanakan tugasnya untuk memeriksa kondisi kesehatan Jolicia dan membantunya untuk melatih otot-ototnya. Briana pun bersuara, “Nyonya Duchess, mohon maaf saya harus undur diri saat ini juga. Saya harus kembali ke akademi.”     Jolicia menoleh dan mengangguk. “Terima kasih atas bantuanmu, Nona Briana.”     “Cukup Briana saja, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi undur diri,” ucap Briana lalu undur dari taman di mana kini Jolicia tengah menghabiskan waktunya untuk berjemur pagi. Setelah Briana menghilang di ujung lorong, Jolicia kembali menatap taman. Untuk kesekian kalinya, Jolicia menghela napas dan membuat Freya semakin cemas saja.     “Nyonya, apa ada yang mengganggu Nyonya? Kenapa sejak tadi Nyonya terus-terusan menghela napas seperti itu?” tanya Freya. Ia tentu cemas dengan kondisi Jolicia, semakin cemas mengingat Jolicia tengah hamil muda saat ini. Briana dan Chaiden bahkan berulang kali mengatakan pada Freya untuk lebih memperhatikan Jolicia karena kandungan Jolicia yang tengah dalam masa yang sangat riskan.     Jolicia menoleh dan tersenyum pada Freya. Jolicia menepuk kursi yang berada di sampingnya. “Aku ingin berbicara denganmu, tapi bukan sebagai seorang nyonya dan pelayan, melainkan seperti seorang sahabat. Jadi, bisakah kamu duduk dan bicara denganku?” tanya Jolicia.     Freya tentu saja merasa jika akan salah saat dirinya duduk di samping nyonya yang ia layani. Itu melawan hukum dan peraturan sebagai seorang bawahan. Hanya saja, Freya tahu bagaimana watak Jolicia. Nyonya ini tidak pernah memandangan pelayan sebagai seorang bawahan, melainkan sebagai seorang keluarga yang patut untuk dikasihi. Freya pun memilih untuk duduk di kursi yang sebelumnya sudah ditepuk oleh Jolicia. Freya akan bersikap sebagai seorang sahabat dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Jolicia.     Setelah Freya duduk dengan nyaman saat itulah, Jolicia memulai untuk menyuarakan isi hatinya. “Jelas aku memiliki sesuatu yang menggangguku. Aku masih belum percaya jika kini aku sudah menjadi istri dan mengandung janin dari ikatan pernikahan yang bahkan tidak aku ingat. Aku semakin terganggu dengan penjelasan yang belum selesai dari Tuan Duke,” ucap Jolicia sembari memilin jemarinya.     Ya, kemarin Darrance belum bisa menyelesaikan penjelasannya karena ada utusan dari istana yang datang membawa perintah dari Kaisar. Darrance pun tidak bisa menunda untuk segera pergi karena mendengar jika perbatasan tengah diserang oleh kaum bar-bar yang tinggal di luar daerah kekaisaran. Karena itulah, kini Jolicia semakin dipusingkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat untuk diajukannya pada Darrance. Jolicia kembali menatap taman dengan netra emasnya yang selalu menyorot dengan sendu. “Dulu, bagaimana saat aku pertama kali datang ke kediaman ini dengan status Duchess ini? Apa aku sangat merepotkan?” tanya Jolicia.     Freya menggeleng. “Kami semua menyambut Nyonya dengan sejuta harapan. Kami berharap, Nyonya sebagai Duchess baru kami, bisa membuat tuan Duke dan kediaman ini kembali menghangat. Apa yang kami harapkan ternyata benar.”     Ucapan Freya membuat Jolicia menarik pandangannya dan menatap kepala pelayan itu. Jolicia menatap Freya dalam diam, dan membuat Freya mengulum senyum. Freya bisa melihat jika Jolicia ingin mendengar hal yang lebih jauh. “Kami semua sangat menyayangi Nyonya. Karena Nyonya adalah tuan kedua kami. Tuan yang merangkul kami sebagai keluarga, dan membawa napas baru bagi mansion yang telah lama membeku. Ya, kami sangat menyayangi dan berterima kasih pada Nyonya.”     “Apakah penilaian kalian semua memang sebaik ini padaku?” tanya Jolicia pada Freya.     Freya mengangguk. “Tentu saja. Kami sudah bersumpah setia pada Tuan Duke, dan kini karena kebaikan Nyonya, kami pun membuat sumpah yang sama pada Nyonya. Kebaikan Nyonya membuat kami tidak ragu untuk bersumpah setia dan menjadi bawahan Nyonya,” ucap Freya mencoba untuk meyakinkan Jolcia.     Jolicia menunduk sebelum menatap kupu-kupu yang terbang dan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain. Jolicia menghela napas. “Namun, bagaimana jika aku sebenarnya tidak sebaik yang dipikirkan oleh kalian? Aku mungkin sudah hidup nyaman dengan statusku sebagai seorang Duchess, tapi bagaimana dengan Kak Vivian? Sejak awal, ini bukan sesuatu yang bisa kumiliki. Aku merebut sesuatu yang sudah menjadi hak orang lain. Bukankah itu sangat jahat?” tanya Jolicia sembari memilin jemarinya dengan gelisah.     Freya tampak cemas. Jolicia mulai mendoktrin dirinya sendiri jika dirinya adalah orang jahat yang merebut hak orang lain. Freya tidak boleh membiarkan hal ini. Freya meraih tangan Jolicia dan menggenggamnya dengan lembut. Hal itu membuat Jolicia kembali menatap perempuan yang berstatus sebagai pelayannya itu. “Nyonya, Nyonya belum mengetahui semua yang terjadi. Jadi, saya harap Nyonya tidak pernah menyalahkan diri sendiri atau berpikir jika Nyonya adalah orang jahat yang telah merebut apa yang seharusnya menjadi milik orang lain. Percayalah, Nyonya tidak pernah melakukan hal itu.”     Jolicia mengulas senyum saat menyadari jika Freya yang tengah merasa cemas dan mencoba untuk meyakinkan dirinya untuk berpikir positif. Namun, Jolicia juga sadar bahwa Freya mengetahui sesuatu mengenai pernikahannya dengan Darrance. “Lalu, bolehkah aku bertanya mengenai apa yang kau ketahui? Mengenai pernikahanku dengan Tuan Duke ini.”     Freya menggeleng. “Saya tidak berada dalam posisi yang bisa menjawab pertanyaan itu, Nyonya. Hanya Tuan Duke yang berhak untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang Nyonya tanyakan pada saya ini. Jika Nyonya ingin mengetahui semuanya, Nyonya harus kembali bersabar dan menunggu Tuan Duke kembali dari perbatasan. Saat itulah, Nyonya bisa menanyakan apa pun yang ingin Nyonya ketahui pada beliau.”     Meskipun tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Freya, Jolicia sama sekali tidak bisa memaksanya untuk memberikan jawaban yang diinginkan olehnya. Karena itulah, Jolicia memasang senyum manis dan mengangguk. “Terima kasih sudah mau menjadi teman bicaraku, Freya. Kamu benar-benar membantuku,” ucap Jolicia lalu mengalihkan pandangannya kembali ke taman.     “Ya, aku tidak memiliki pilihan selain menunggu dan bersabar, bukan? Karena itulah, aku akan bersabar menunggu Tuan Duke segera kembali,” ucap Jolicia pelan.     **         Jolicia mengenryitkan keningnya yang terasa baru disentuh oleh sesuatu yang hangat dan lembut. Karena merasa terusik, Jolicia membuka matanya dan menatap netra biru gelap yang juga tengah menatapnya balik. Ah, apakah tadi Darrance sudah mengecup keningnya? Mari sampingkan hal itu dan fokus dengan kepulangan Darrance yang tiba-tiba ini. Padahal, dari Freya dan para kesatria yang ditugaskan untuk berjaga di kediaman Duke Baxter, Jolicia jelas-jelas mendengar jika Darrance baru bisa pulang sekitar tiga hari lagi. Namun kenapa kini Darrance sudah ada di kamarnya?     “Anda mengunjungi saya padahal baru saja tiiba? Seharusnya, Anda beristirahat saja. Kita bisa bertemu esok pagi,” ucap Jolicia lembut dan bangkit dari posisi berbaringnya dengan bantuan Darrance.     Darrance tidak menjawab cepat pertanyaan yang diajukan oleh Jolicia tersebut. Darrance malah mengulurkan tangannya dan menyentuh helaian rambut cokelat keemasan yang sudah ia rindukan. Ya, Darrance sendiri merasa jika dirinya terlalu berlebihan dengan merasakan kerinduan semacam ini, padahal tidak bertemu dengan Jolicia hanya beberapa hari ini. Namun Darrance tidak menunjukkan ekspresi apa pun dan tetap menatap wajah Jolicia di tengah keremangan kamar. Hanya cahaya bulan yang menembus gorden lah yang membuat Darrance bisa melihat wajah Jolicia dengan cukup jelas.     “Apa tidak ada yang ingin Anda bicarakan? Jika benar, lebih baik Anda kembali ke kamar Anda. Ini sudah terlalu larut, Anda perlu istirahat setelah menempuh perjalanan jauh,” ucap Jolicia mencoba untuk meminta Darrance kembali ke kamarnya.     Apa yang dikatakan oleh Jolicia tersebut rupanya membuat Darrance menarik tangannya, dan masih menatap Jolicia dengan netra biru gelapnya dengan lekat-lekat. Darrance yang kini duduk di tepi ranjang memilih untuk melipat kedua tangannya di depan d**a sebelum berkata, “Ada beberapa hal yang perlu aku luruskan di sini.”     Darrance melirik jemari Jolicia yang kini bekerja menyelipkan helaian rambut cokelat keemasannya yang tebal ke balik telinganya. Sepertinya Jolicia sudah siap untuk mendengarkan apa yang akan ia katakan, karena itulah Darrance kembali melanjutkan ucapannya. “Pertama, aku tidak bisa kembali ke kamar mana pun, karena ini adalah kamarku. Lebih tepatnya kamar kita. Jadi, aku berhak untuk berada di sini.”     Kening Jolicia mengernyit. Apa sebelum dirinya lupa ingatan, ia dan Darrance tidur satu kamar? Namun kenapa? Itu tentu saja bertentangan dengan adat istiadat. Karena meskipun sudah menjadi suami istri, kalangan bangsawan di kekaisaran Eilaxia tidak tidur satu kamar. Baik suami maupun istri tetap memiliki kamar pribadi masing-masing. Dan mereka hanya bisa tidur bersama diwaktu-waktu tertentu yang sudah ditentukan. Kecuali, memang pasangan ini memang memiliki hubungan yang sangat baik dan memiliki kesepakatan sendiri sejak mereka mengucap janji suci di katedral.     Lalu, termasuk ke manakah Jolicia dan Darrance? Apakah pasangan yang memang memiliki kesepakatan sejak pengucapan janji suci, atau apa mungkin …? Jolicia menghentikan pemikirannya ini. Tidak, rasanya sangat tidak mungkin jika memang hubungannya dengan Darrance memang sangat baik, atau bahkan mereka memiliki perasaan satu sama lain. Ya, itu sangat tidak mungkin. Karena jujur saja, Jolicia sama sekali tidak melihat tanda-tanda jika Darrance menaruh hati padanya. Darrance terlalu dingin dan menjaga jarak padanya.     “Lalu yang kedua, aku memang merasa lelah setelah kembali lebih cepat daripada waktunya, dan ingin beristirahat di kamar yang sejatinya adalah kamarku ini,” ucap Darrance menarik Jolicia dari pemikirannya sendiri.     Jolicia mengernyitkan keningnya. Kalau ini memang benar kamarnya dengan Darrance, lalu selama ini Darrance tidur di mana? Karena selama ini, lebih tepatnya setelah dirinya terbangun dari koma, Jolicia tidak pernah sekali pun ditemani oleh Darrance saat tidur. Kamar luas dan mewah ini hanya ditinggali oleh Jolicia seorang. Jadi, Jolicia sendiri dengan alami menyimpulkan jika ini adalah kamar pribadinya di kediaman Duke Baxter.     “Terakhir, aku tanpa sengaja membangunkanmu. Aku awalnya tidak bernit untuk membangunkan dan mengajakmu berbincang seperti ini. Aku tau jika ini bukan waktu yang tepat. Namun, aku tiba-tiba teringat dengan sesuatu. Mengenai pertanyaan yang kau ajukan pada Freya tadi siang,” ucap Darrance lagi membuat Jolicia memandanganya dengan netra keemasannya yang tampak begitu cantik di bawah kemilau sinar bulan.     “Anda mengetahui apa yang aku tanyakan pada Freya?” tanya Jolicia.     Kini kening Darrance terlihat mengernyit dalam. Seakan-akan tidak senang dengan apa yang barusan ia dengar dari Jolicia. Namun, Jolicia sendiri sama sekali tidak mengetahui apa hal yang membuat Darrance merasa tidak senang seperti ini. Rasanya, Jolicia sama sekali tidak melakukan hal salah yang kemungkinan bisa memantik rasa marah Darrance. Jolicia semakin tidak mengerti saat aura Darrance semakin menyeramkan saja. Jolicia menatap takut-takut pada Darrance. Sebenarnya apa yang membuat Darrance menjadi kesal seperti ini?     Namun, Jolicia tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan pertanyaannya. Jolicia memilih diam dan menatap Darrance dengan netar keemasannya, beberapa saat kemudian Darrance menghela napas. “Ya, awalnya aku berniat untuk membicarakan mengenai apa yang kau tanyakan pada Freya. Aku berniat untuk menjawab pertanyaan itu, mengingat betapa kau ingin mengetahuinya. Tapi aku rasa, kini aku tidak mau melakukannya. Aku akan kembali dan beristirahat di ruang baca.”     Melihat Darrance yang bangkit dari tepi ranjangnya, Jolicia dengan refleks bangkit dan duduk dengan posisi manis sementara tangannya menggenggam ujung kemeja resmi yang dikenakan oleh Darrance. Tentu saja Darrance menoleh dan menatap Jolicia dan menghela napas saat seolah-olah melihat tulisan di kening Jolicia jika wanita hamil itu tengah dalam mode keras kepala. “Ada apa lagi, Cia?” tanya Darrance dengan suara lembut membuat Jolicia bergetar dalam kegundahan.     Jolicia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan hatinya ini. Jolicia merasa dadanya menghangat saat Darrance memanggilnya dengan nama kecil tersebut. Nama yang Jolicia rasa hanya digunakan oleh Darrance untuk memanggilnya. Ya, Jolicia yakin jika hanya Darrance yang memanggil dengan nama Cia seperti itu. Jolicia menggelengkan kepalanya. Tidak, Jolicia tidak boleh seperti ini. Jolicia harus fokus. Jolicia tidak melepaskan tangannya yang masih menggenggam ujung kemeja Darrance. Ia pun menjawab, “Tolong jawab pertanyaan saya yang sudah Tuan Duke ketahui itu. Saya sama sekali tidak mengantuk, dan tidak akan bisa tidur jika Tuan tidak memberitahu saya jawaban atas pertanyaan saya.”     Darrance menghela napas. Ya, ia tahu bagaimana karakter Jolicia. Karakter keras kepala adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Jolicia. Darrance mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan Jolicia dengan lembut sebelum melepaskan genggaman itu dengan lembut. Darrance menunduk dan menyejajarkan tingginya dengan Jolicia yang masih duduk di tepi ranjang. Darrance mengusap pipi Jolicia dan berkata, “Aku tidak sedang dalam suasana hati yang memungkinkan untuk menjawab pertanyaanmu itu.”     “Ta-tapi kenapa? Bukannya Tuan sendiri yang mengatakan jika Tuan datang untuk menjawab pertanyaan saya itu?” tanya Jolici tidak sabar.     Darrance menatap netra keemasan milik Jolicia dengan dalam. “Mudah saja. Alasannya adalah, aku tidak senang dengan panggilanmu terhadapku. Jika kau ingin aku menjawab pertanyaanmu itu, kau harus lebih dulu memanggilku dengan nama kecilku.”     Jolicia mengernyitkan dahinya dalam-dalam berusaha mengingat nama kecil Darrance. Namun Jolicia sama sekali tidak bisa mengingatnya. Bahkan Jolicia sendiri tidak yakin jika dirinya memang mengetahui nama kecil Darrance yang terkenal sebagai lelaki dingin yang sangat mudah menaklukan hati para perempuan ini. Melihat Jolicia yang bersusah payah untuk mengingat nama kecilnya membuat Darrance terdiam. Darrance berkata, “Kau tidak bisa mengingatnya, bukan? Kalau begitu, jawaban yang kau inginkan akan aku undur hingga waktu yang tidak aku tentukan.”     Setelah mengucapkan hal itu, Darrance meraih lembut kepala Jolicia dan menanamkan sebuah kecupan tepat pada kernyitan di dahi Jolicia. “Tidak perlu berpikir sekeras itu. Sekarang tidurlah,” ucap Darrance lalu melangkah pergi meninggalkan Jolicia yang terpaku. Tangan Jolicia yang mungil terulur dan menyentuh sisa rasa hangat pada keningnya. Tanpa bisa ditahan sedetik kemudian rona merah merebak disekujur wajah Jolicia hingga ke leher dan bahunya.     Jolicia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya dan tanpa kata segera menggelamkan diri dalam pelukan selimut tebal yang lembut. Jolicia memejamkan matanya erat-erat untuk menepis bayangan tadi. Namun, bukan hanya Jolicia yang tampak mati gaya dengan apa yang dilakukan oleh Darrance. Si pelakunya juga sama merasakan mati gaya. Darrance bersandar di daun pintu kamar yang tertutup rapat. Kini, Darrance tengah merutuki dirinya yang tidak bisa menahan diri dengan lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN