Lukisan

2478 Kata
    Pagi hari yang seharusnya terasa damai tampak terlihat sama sekali di kediaman Duke Baxter. Semua orang tampak panik, bahkan para kesatria yang biasanya terus menampilkan citra berwibawa dan tenang, kini menampilkan ekspresi cemas. Semua ini tidak terlepas dengan kondisi Jolicia yang tiba-tiba memburuk. Jolicia terbangun ketika matahari bahkan belum menunjukkan jati dirinya. Namun yang menjadi masalah adalah, Jolicia yang tidak berhenti muntah. Jika saja perut Jolicia memang terisi oleh makanan dan makanan itu dimuntahkan olehnya, mungkin itu bisa membuat semua orang agaknya akan merasa sedikit lega.     Sayangnya, Jolicia memang baru bangun dan belum makan atau minum apa pun. Betul, yang Jolicia muntahkan hanya sisa makan malam, dan cairan asam lambung. Bisa dibanyangkan betapa Jolicia kini tengah merasa sangat tersiksa. Hal itu memang benar adanya, Jolicia sangat tersiksa dengan rasa perih yang menyerang perutnya yang terus memaksa untuk mengeluarkan isi perutnya. Padahal, kini perut Jolicia sudah benar-benar kosong. Saat asam lambung Jolicia muntahkan hal itu benar-benar terasa sangat menyiksa.     Darrance yang cemas sejak tadi memijat tengkuk Jolicia dengan lembut, guna membantu istrinya itu menguras isi perutnya. Freya sendiri memegangi wadah untuk muntahan Jolicia. Saat Jolicia selesai dengan kegiatan menyiksa tersebut, Louis yang sejak tadi bersiaga segera memberikan handuk yang sudah dibasahi air hangat pada Darrance yang kini memangku Jolicia yang terkulai lemas di tepi ranjang. Saat Darrance dengan lembut menyeka mulut dan dagu Jolicia, Chaide dengan seorang pelayan muncul di ambang pintu kamar. Tanpa diberi komandu, Freya segera membawa wadah muntahan Jolicia untuk dibersihkan, sementara posisinya segera digantikan oleh Chaiden yang tentunya akan memeriksa kondisi Jolicia.     Kini, Jolicia sudah tak sadarkan diri dalam pelukan Darrance. Rahang Darrance mengetat saat melihat wajah Jolicia yang tampak begitu pucat. Darrance mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Jolicia dengan lembut. Meskipun Darrance tidak mengucapkan sepatah kata pun, Louis dengan mudah bisa menyimpulkan jika tuannya ini tengah merasakan hatinya sakit bukan main melihat istrinya tengah dalam kondisi tidak baik seperti ini. Chaiden selesai memeriksa kondisi Jolicia, dan meminta Darrance untuk membaringkan Jolicia agar wanita hamil itu bisa tidur dengan nyaman.     Darrance menurut dan membaringkan Jolicia. Namun, Darrance sama sekali tidak beranjak dari sisi Jolicia dan kini menggenggam tangan Jolicia dengan erat. “Apa kondisi kesehatannya memburuk? Kenapa tiba-tiba dia muntah hebat seperti ini? Padahal sebelumnya, Cia sama sekali tidak muntah,” ucap Darrance masih menatap wajah Jolicia yang telah kehilangan rona indahnya.     Chaiden menghela napas. “Seperti yang aku katakan tempo hari. Kondisi Nyonya yang hamil muda sangat riskan. Dan muntah seperti ini adalah hal yang lumrah bagi ibu hamil, apalagi di kehamilannya yang masih semuda ini. Namun, jika sebelumnya Nyonya tidak pernah muntah, dan tiba-tiba muntah separah ini, mungkin ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Mungkin saja ada sesuatu yang membuatnya stress dan tertekan hingga membuat asam lambungnya naik. pengaruh hormon ibu hamil juga sangat berpengaruh dalam hal ini,” jawab Chaiden.     “Kalau begitu, untuk berjaga-jaga, lebih baik kau tinggal dan berjaga di kediaman ini.” Darrance memang berpikir itu adalah keputusan yang terbaik. Jika sewaktu-waktu kejadian ini terulang, dirinya tidak perlu membuat Jolicia merasakan penderitaan terlalu lama karena Chaiden bisa menanganinya secepat mungkin.     Namun Chaiden menggeleng. Dokter muda yang kehebatannya sudah diakui oleh kekaisaran itu tampak tak berdaya. “Maafkan aku, Darrance. Sepertinya kau lupa jika sebentar lagi adalah ujian negara untuk para calon dokter kekaisaran. Meskipun aku adalah seorang Dokter yang tidak terikat dengan kekaisaran dan bukan pula seorang dokter untuk anggota keluarga kerajaan, tetapi aku mendapatkan mandate untuk menjadi salah satu penguji bagi pada dokter muda yang menjalani ujian. Lagi, aku juga harus memberikan materi terkahir sebelum ujian di akademi. Aku memiliki kewajiban yang sama sekali tidak bisa aku lepaskan,” ucap Chaiden.     Luois yang sejak tadi terdiam, lalu berkata, “Lalu apakah kau tidak memiliki seseorang yang hampir sama kompetennya denganmu? Mungkin kau bisa merekomendasikannya untuk tinggal di sini.”     Darrance sendiri hanya diam. Louis memang sudah mewakili apa yang ingin ia katakan padanya. Darrance memilih untuk fokus menatap wajah manis Jolicia yang masih tak sadarkan diri. Sementara itu, kini Chaiden mengangguk. “Orang yang aku utus untuk menjadi terapis dan memeriksa kondisi kesehatan Nyonya terakhir kali adalah orang yang sangat kompeten. Dia adalah anak didik satu-satunya dariku. Kalian tidak perlu menyangsikan kemampuannya itu. Briana de Sanova bisa kalian andalkan.”     Kening Louis mengenyitkan keningnya lalu berkata, “Apa tidak ada orang lain yang bisa kau rekomendasikan kecuali nona muda satu itu?”     “Hei, memangnya apa yang salah dengan anak didik diriku itu? Ia sangat kompeten, kau tidak peru meragukannya,” ucap Chaiden agak kesal karena Louis tampak menyangsikan kemampuan Briana sebagai seorang dokter. Briana memang lebih muda darinya, tetapi Briana memiliki kemampuan yang sangat mumpuni di usianya itu. Lagipula, jika Briana tidak memiliki kemampuan yang baik, tidak mungkin Chaiden merekrutnya menjadi anak didik yang secara langsung mendapatkan didikan berharga dari seorang legenda di bidang kedokteran seperti dirinya.     “Aku tidak menyangsikan kemampuannya. Namun, seperti gurunya, ia tidak memiliki sopan santun.” Louis mengatakan hal tersebut dengan senyum manis yang membuat Chaiden ingin menyuntikan racun yang paling menyakitkan pada tubuh manusia satu itu. Chaiden sendiri heran bukan main, bagaimana bisa dirinya bisa berteman dengan manusia-manusia menyebalkan seperti Darrance dan Louis? Hingga saat ini pun, Chaiden tidak habis pikir.     Saat Chaiden akan meledakkan rasa kesalnya, saat itulah Darrance memberikan keputusannya yang mutlak. “Baiklah, panggil Nona dari keluarga Sanova tersebut. Kau harus mengurus semuanya hingga dirinya bisa tinggal dan menjadi dokter pribadi yang bersiaga untuk istriku. Untuk masalah p********n dan transportasi, nanti kau bicarakan pada Louis,” ucap Darrance pada Chaiden.     Tentu saja Chaiden menyeringai pada Luois, seakan-akan menunjukkan jika dirinya yang menang. Namun Louis tampak tidak terprovokasi. Ia masih memasang senyumnya yang manis. Chaiden mengangguk dan berkata, “Kalau begitu aku permisi. Aku akan mengurus semuanya sebelum aku harus fokus pada tugas pengujiku. Jangan cemaskan kondisi Nyonya, beberapa saat lagi ia pasti akan bangun. Ah, satu lagi. Sementara ini, suasana hati Nyonya harus dijaga dengan sangat baik, agar kondisinya tidak semakin memburuk. Caranya mungkin dengan mengajak Nyonya melakukan kegiatan yang sangat ia sukai.” Setelah mengatakan hal itu Chaiden berbalik, tetapi langkahnya tersandung dengan kaki Louis yang memang terlihat sengaja menjegat langkahnya.     Chaiden menatap Louis kesal setengah mati. Louis tersenyum dan berkata, “Maafkan kakiku yang terlalu panjang.”     Chaiden sangat ingin memukul atau menendang pria satu itu. Namun Chaiden tahu jika dirinya tidak akan menang jika melawan pria itu menggunakan fisik. Ayolah, mana mungkin dirinya bisa melawan seorang kepala kesatria sekaligus ajudan pribadi dari Duke Baxter yang terkenal dengan kemampuan fisiknya yang luar biasa. Chaiden beranjak pergi setelah memberikan tatapan tajam pada Louis. Ia tidak akan tinggal, tentu saja Chaiden akan merencanakan balas dendam yang pedih untuk sahabatnya satu itu.     Sepeninggal Chaiden, Darrance memberikan perintah-perintah pada Louis. Tentu saja ajudan sekaligus pelayan pribadi Darrance tersebut segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Darrance tanpa membantah satu kata pun. Sementara itu, kini Darrance yang ditinggalkan berdua dengan Jolicia, Darrance menghela napas panjang. Pria satu itu melemparkan pandangannya pada perut Jolicia yang masih dibalut gaun tidurnya yang anggun. Perut Jolicia belum memiliki perubahan yang signifikan, hanya sedikit membuncit daripada biasanya. Darrance tampak ragu, tetapi tak ayal meletakkan telapak tangannya yang besar pada permukaan perut Jolicia.     Entah kenapa, saat itu Darrance seakan-akan merasakan kehangatan yang asing menyusup dan menyebar dalam hatinya. Darrance menatap perut Jolicia sebelum berbisik, “Jangan terlalu nakal dan membuat mamamu menjadi tersiksa seperti ini. Jadilah anak baik.”       **           Jolicia menutup bibirnya tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Kini, dirinya memang tengah dibantu untuk melangkah memasuki beranda belakang kediaman Duke Baxter yang menghadap langsung pada pemandangan indah kebun bunga dan kebun buah-buahan yang berada agak dibelakang halaman belakang yang memang berukuran begitu luas. Namun, yang membuat Jolicia terkejut adalah peralatan lukis serta kanvas yang sudah tersedia di sana. Jolicia mengalihkan pandangannya pada Darrance yang kini melangkah mendekat padanya dan meminta Freya untuk memberikan tugas memapah Jolicia padanya.     Kini Jolicia sudah berada dalam rangkulan hangat Darrance. Pria itu membawa Jolicia melangkah dan duduk di hadapan sebuah kanvas yang sudah siap untuk menerima torehan berbagai warna cat. Jolicia menatap Darrance yang kini duduk di sebuah kursi yang berada tak jauh di belakang kanvas. Dengan latar pemandangan yang indah, tentu saja tampilang Darrance selayaknya seorang pria misterius yang menjadi sebuah masterpiece seorang legenda lukis. Namun Jolicia tidak bisa menahan senyum saat berpikir jika Darrance sudah repot-repot menyiapkan semua ini.     “Tuan menyiapkan semua ini?” tanya Jolicia.     “Tidak, aku meminta Louis untuk menyiapkannya. Tapi perlu diingat, jika semua ini dibeli dari uangku,” jawab Darrance membuat Jolicia tidak bisa menahan diri untuk tersenyum lebih lebar.     “Terima kasih, Tuan Duke. Terima kasih juga Tuan Louis, kalian sudah repot-repot meluangkan waktu kalian seperti ini,” ucap Jolicia dengan senyum manis yang membuat Darrance berdehem pelan meminta para kesatria dan Louis untuk menundukkan pandangan mereka. Tentu saja semua orang menunduk mengikuti perintah tanpa kata yang diberikan oleh Darrance.     Sementara itu, Louis berkata, “Nyonya tidak perlu sungkan pada saya. Dan tolong panggil saya Louis saja, Nyonya. Saya akan berterima kasih jika Nyonya mau melakukannya.”     Jolicia mengangguk. “Baik, Louis.”     Jolicia lalu melemparkan pandangannya pada Darrance. “Saya benar-benar tidak menyangka jika Tuan menyiapkan ini semua. Dan jujur, saya sangat senang,” ucap Jolicia. Karena dirinya memang belum mengingat nama kecil Darrance, Jolicia masih saja menggunakan panggilan hormat pada suaminya itu.     “Ya, aku memang sengaja menyiapkan semua ini. Sayangnya, aku sama sekali tidak menyiapkan ini dengan gratis, kau harus membayarku,” ucap Darrance membuat Jolicia agak terkejut. Ayolah, ia bahkan tidak mengingat banyak hal, dan kini Darrance meminta bayaran darinya? Jolicia bahkan tidak mengingat memangnya harta apa yang ia miliki.     “Bayar? Saya harus membayar Tuan dengan apa?” tanya Jolicia.     “Itu mudah. Lukislah aku. Jadikan aku sebagai modelmu,” ucap Darrance memantik tawa Jolicia.     Semua orang tertegun, termasuk Darrance. Ini kali pertama Jolicia tertawa lepas seperti ini setelah dirinya bangun dari tidur panjangnya. Tawa Jolicia terdengar begitu murni bagai lonceng dewi. Tawa yang sanggup membuat Darrance mengepalkan kedua tangannya untuk menahan diri agar tidak menarik Jolicia saat itu juga ke dalam pelukannya. Jolicia tampak mengangguk dan berkata, “Karena Tuan Duke memang sangat rupawan, sepertinya saya memang mendapatkan model yang sempurna. Hanya saja, saya tidak yakin bisa melukis dengan handal dan membuat lukisan Tuan terlihat sesempurna diri Tuan.”     “Lakukanlah,” ucap Darrance pada akhirnya. Freya segera berdiri di samping Jolicia untuk menyiapkan peralatan lukis dan cat. Jolicia segera mengambil kuas dan memulai melukis, tetapi anehnya ketika Jolicia baru memulai melukis bebera saat, Jolicia seakan-akan mendengar dan melihat visi jika dirinya pernah melakukan hal seperti ini dengan seorang pria.     Jolicia meringis saat merasakan sengatan sakit yang teramat pada kepalanya saat mendengar sebuah suara yang jauh dan berkata, “Lukislah aku. Jadikan aku sebagai modelmu.”     Jolicia melepaskan kuasnya dan memilih meremas rambutnya demi mengurangi rasa sakit. Namun rasa sakit itu sama sekali tidak membaik, malahan semakin terasa semakin menggigit dari waktu ke waktu. Jelas semua orang panic, Darrance segera mendekat dan menahan tubuh Jolicia yang limbung. Jolicia sama sekali tidak bisa membedakan mana yang kenyataan, dan mana ilusi. Pada akhirnya sang Duchess itu tidak bisa mempertahankan kesadarannya dan jatuh tak sadarkan diri.       **           “Tidak!” seru Jolicia yang tersentak bangun dengan napas memburu dan keringat yang membanjir di kening serta pelipisnya. Saat Jolicia masih mencoba menenangkan diri, Jolicia merasakan sebuah telapak tangan dengan lembutnya menyeka keringat pada kening dan pelipisnya menggunakan sebuah kain lembut yang harum. Jolicia tentu saja menoleh dan bertemu tatap dengan Darrance yang rupanya sudah menungguinya sejak tadi.     “Mimpi buruk?” tanya Darrance lembut.     Jolicia menggigit bibirnya dan mengangguk. “Itu menyeramkan. A … Aku melihat jika Kak Vivian membakar semua lukisanku. Tapi Kak Vivian juga mengunciku di kamar di mana kebakaran yang disengaja itu terjadi. A … Api itu berkobar besar, mereka tertawa seakan-akan siap untuk melahapku,” ucap Jolicia dengan nada bergetar, tanda jika dirinya memang terlalu takut dengan bunga tidur yang terasa begitu nyata baginya.     Darrance selesai dengan kegiatannya menyeka keringat dingin Jolicia. Ia meletakkan kain tersebut sebelum menarik lembut Jolicia ke dalam pelukannya. Jolicia sama sekali tidak menolak, karena jujur saja dirinya memang butuh sebuah pelukan yang bisa menenangkan dirinya. Darrance tidak mengatakan apa pun dan hanya menepuk-nepuk lembut punggung ringkih Jolicia serta sesekali memberikan kecupan hangat pada puncak kepala Jolicia. Berangsur, kini Jolicia sudah merasa tenang dan mencoba untuk melepaskan diri dari pelukan Darrance.     Tentu saja Darrance dengan enggan pelukannya itu. Darrance kemudian mengamati Jolicia yang kini tengah menyeka air matanya yang rupanya jatuh ketika berada dalam pelukannya. “Apa ada hal lain yang kau lihat?” tanya Darrance tiba-tiba.     Jolicia mengangkat pandangannya dan menggeleng. “Saya hanya melihat sampai api berkobar dengan sangat besarnya dan hampir melahap saya yang ketakutan,” ucap Jolicia yang kini kembali menggunakan kata-kata formal yang terasa sangat mengganggu bagi Darrance.     “Aku lebih suka kau menggunakan kata ganti ‘aku’ dan bukannya ‘saya’. Karena kau adalah istriku, bukan pelayanku. Jadi, biasakan!” perintah Darrance tegas sebelum dirinya mengernyitkan keningnya dengan dalam tampak tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius.     Jolicia sendiri segera mengingat apa yang sudah diperintahkan oleh Darrance tersebut dan akan memparaktekannya nanti, agar Darrance tidak kembali marah. Kini Jolicia menatap Darrance yang juga tengah menatapnya dengan dalam seakan-akan memiiki sesuatu untuk disampaikan, tetapi merasa enggan untuk mengatakannya. Namun beberapa saat kemudian, Darrance berkata, “Itu bukan mimpi.”     Tentu saja apa yang dikatakan oleh Darrance membuat Jolicia terkejut. “Jika itu bukan mimpi, lalu apa? Jangan bilang jika itu ….”     “Ya, itu adalah ingatanmu, Cia. Ingatanmu sudah mulai kembali,” ucap Darrance lalu mengulurkan tangannya untuk menyelipkan helaian rambut Jolicia ke belakang telinganya yang putih lembut.     “A … Apa? Tidak mungkin. Kak Vivian tidak mungkin melakukan hal itu. Jika pun ini memang ingatanku, sepertinya bagian di mana Kak Vivian yang sengaja membakar kamarku adalah hal yang salah. Kakak tidak mungkin mencoba melukai diriku,” ucap Jolicia sama sekali tidak mau menerima fakta yang tengah diungkap oleh Darrance.     “Jangan membohongi diri sendiri, Cia. Sembilan belas tahun kau hidup dengan kakakmu itu, dan pastinya kau tau bagaimana sikap serta karakternya. Dia memang sengaja melakukan pembakaran itu. Ia mencoba membunuhmu,” ucap Darrance serius. Tidak ada satu pun kebohongan yang Jolicia lihat dari kedua netra milik Darrance. Dan hal itu tentu saja membuat Jolicia bergetar karena rasa takut. Sebenarnya ingatan macam apa yang sudah Jolicia lupakan? Apa yang sudah ia lalui selama ini hingga menjadi seorang Duchess?     “Jika pun benar Kakak ingin mencelakaiku, memangnya kenapa? Apa alasan Kakak melukaiku? Apa aku sudah melakukan kesalahan yang membuat Kakak marah besar dan tidak bisa memafkannya?” tanya Jolicia dengan derai air mata. Meskipun dirinya tidak bisa mengingat jelas, dan hanya bisa mendengar kejelasannya dari bibir Darrance. Hal itu sudah lebih dari cukup membuat Jolicia merasa begitu sakit. Ya, Jolicia merasakan hatinya begitu sakit.     Darrance menghela napas. Jolicia yang dulu dan sekarang masih sama saja. Jolicia begitu lemah saat dihadapkan dengan fakta jika keluarganya sama sekali tidak bersikap selayaknya keluarga normal lainnya. Darrance mengulurkan tangannya dan menangkup pipi Jolicia dengan lembut. “Kau tidak memiliki kesalahan apa pun. Letak kesalahan ada pada kakakmu yang tidak tahu diri itu. Ia dibutakan oleh rasa cemburu. Jadi, berhenti untuk menyalahkan dirimu sendiri. Kau berhak untuk bahagia, Cia,” ucap Darrance mencoba untuk membangkitkan rasa percaya diri Jolicia. Tidak, Jolicia tidak bisa terus seperti ini. Ada hal berat yang sudah menunggu di depan, dan Jolicia harus berubah lebih kuat agar bisa menghadapinya.     “Tapi apa yang membuat Kak Vivian cemburu padaku? Padahal Kakak memiliki lebih banyak hal daripada apa yang aku miliki? Apa yang bisa membuatnya cemburu seperti itu?” tanya Jolicia.     Darrance kembali menghela napas dan menarik tangannya dari pipi Jolicia. Darrance menatap Jolicia sebelum menjawab, “Lukisan. Ia cemburu karena lukisan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN