Emosi Laura Muncul lagi

1210 Kata
Waktu sudah menunjuk angka delapan pagi. Kedua insan yang baru saja menyelesaikan malam pertama yang penuh dengan drama itu masih terlelap dalam tidurnya. Sinar mentari yang mencoba menerobos masuk ke dalam kamar tersebut tak berhasil lantaran tirai itu masih ditutup dengan rapat. Namun, dering panggilan dari ponsel Jonathan membuat telinga Laura bising sebab ponsel tersebut berada tepat di sampingnya. “Heeuuhh! Siapa sih, pagi-pagi begini telepon!” gerutu Laura seraya mengambil ponsel tersebut. Keningnya mengkerut kala melihat nomor tak dikenal menghubungi suaminya itu. “Nomor siapa nih?” Laura langsung beranjak dari tidurnya seraya menggeser tombol hijau pada ponsel tersebut. “Jonathan. Kamu pikir, dengan satu nomor bisa kamu blokir. Aku masih bisa menghubungi kamu dengan berbagai nomor yang aku punya. Di mana kamu, Jonathan? Aku sudah ada di depan rumah orang tuamu.” Laura menarik tangan Jonathan seraya melempar ponsel itu. “BANGUUNN!” teriak Laura merasa kesal. Jonathan kemudian mengusap matanya dan menatap Laura yang tengah menatapnya dengan tajam. “Ada apa, Laura? Kenapa muka kamu asem begitu? Ada apa? Lapar? Aku buatkan nasi goreng, mau?” “Kiara habis diapain sih, sama kamu? Orangnya sekarang ada di rumah orang tua kamu,” ucapnya datar. Jonathan menghela napasnya seraya mengusapi keningnya. Ia kemudian melihat ponselnya yang sudah tergeletak di atas lantai. Jonathan kemudian menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Laura. Lelaki itu lantas mengambil ponsel itu. Bahkan, panggilan itu masih berlangsung. Ia pun menutup panggilan tersebut dan mengenakan celananya. “Mau pulang?” tanyanya pelan. “Ngapain pulang. Kamu bisa jelasin di sini kalau emang nggak pernah ngapa-ngapain sama dia. Pernah janjiin apa ke dia, sampai nggak bisa terima kamu putusin? Lagian kamu juga ngapain, mau-maunya di jodohin kalau emang udah punya pacar!” Kemarahan Laura membuat Jonathan tidak bisa diam begitu saja. Ia tidak ingin Laura terus menerus berprasangka buruk kepadanya, sementara dirinya tidak pernah melakukan apa pun kepada perempuan itu. “Berapa lama, kamu menjalin hubungan dengan dia?” tanyanya lagi. “Nggak lama. Hanya setahun. Itu pun jarang bertemu. Kiara sibuk dengan pendidikannya. Sekarang, harusnya tidak perlu tidak terima seperti itu karena memang saat kami masih bersama pun, jarang bertemu. Harusnya dia bisa langsung move on kemudian cari yang baru.” “Nggak semudah yang kamu ucapkan, Jonathan. Bicarakan ini baik-baik, jangan bikin aku jengkel dan marah. Atau, aku sendiri yang ngomong sama dia?” Jonathan menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Jangan! Biar aku saja.” “Sama aku juga! Aku ikut! Titik!” Jonathan menghela napasnya dengan pelan. “Kalau kamu sudah mau go public, it’s oke. Tapi, kalau belum ingin, jangan dulu.” “Udah. Aku udah kamu grepe-grepe. Kenapa harus disembunyikan terus.” “Digrepe?” Jonathan bahkan baru mendengar kata-kata itu. “Disetubuhi!” Laura menjelaskan. “Aaah!” Jonathan menghela napasnya dengan panjang. “Mandi, yuk! Sepertinya kamu butuh refresh otak, supaya tidak marah-marah terus.” “Aku marah karena kesel. Dia teleponin kamu terus. Punyaku, nggak ada tuh ditelepon-telepon.” “Karena dia banyak perempuannya, Laura. Bisa bedakan dengan yang setia dan banyak simpanannya.” “Yakin, dia setia? Harusnya kalau dia legowo, udah ikhlaskan kamu. Bukan ganti pacar, Jo. Tapi udah nikah. Kamu yang bilang sendiri, nggak mau mempermainkan pernikah—“ Jonathan menarik tangan perempuan itu kemudian memeluknya. Mengusapi punggung polos yang belum mengenakan sehelai benang pun. Mengusapinya dengan lembut dengan kepala menumpu di bahu perempuan itu. “Jangan cemburu buta, Sayang. Aku tidak pernah mempermainkan pernikahan. Dia, bisa aku atasi tanpa harus kembali padanya. Pasangan yang sudah terikat dalam janji suci di hadapan imam dan saksi, itu jauh lebih mulia dari sekadar pasangan yang tidak ada status jelas. “Aku hanya ingin bersama kamu. Meskipun kamu menyebalkan, biang rusuh, kalau ngomong nggak pernah difilter lagi. Tapi, itulah alasan kenapa aku mencintai kamu. Karena manusia random seperti kamu itu sudah sangat langka. Kamu boleh mengatai aku dengan sebutan aneh kamu itu. “Hanya satu, yang aku minta. Jangan curiga, jangan cemburu, dan satu lagi ... jangan menghakimi aku dengan dalih ketidarelaan Kiara aku putuskan. Jangan ya, Laura. Pernikahan kita baru beberapa hari. Saling percaya saja, oke?” Begitu lembut tutur kata Jonathan hingga membuat Laura tenang. Yang sedari tadi mengeluarkan api yang tak padam-padam, akhirnya meleleh setelah es kutub Utara itu memeluknya. Seperti elemen air dan api. Keduanya memang cocok disatukan. Hanya saja, manusia ada batas kesabarannya. Entah Jonathan akan terus bersikap kalem atau akan membuat hawa panas juga, tidak ada yang tahu. “Kalau nanti Kiara datang lagi, boleh nggak ... aku jambak?” tanyanya dengan polosnya. Jonathan lantas terkekeh. Ia pun melepaskan pelukan itu setelah Laura berucap dengan pelan. “Jangan. Sebagai istri yang baik, sikapi dengan baik juga. Kecuali kalau sudah menyakiti perasaan kamu. Tapi, semoga saja kalian tidak pernah bertemu. Aku takut kamu kenapa-napa.” Laura memiringkan kepalanya. “Yakin, takut aku yang kenapa-napa? Bukan dia? Karena kamu tahu aku bar-bar dan tukang marah-marah. Takut, Kiara aku bogem wajahnya?” Jonathan menggeleng. “No. Kamu, yang aku takuti,” ucapnya dengan yakin. Melihat keyakinan Jonathan, Laura langsung diam kemudian menelan saliva dengan pelan. “Bikin nasi goreng. Emang ada, nasinya?” Laura langsung membahas makanan. Jonathan kembali membuka ponselnya dan mencari aplikasi delivery food. “Banyak yang jual di luar. Mau bubur, atau nasi goreng?” “Dua-duanya, boleh?” Jonathan terkekeh seraya meringis pelan. “Banyak makan rupanya, yaa.” Laura menyunggingkan bibirnya. “Banyak. Kalau nggak banyak, nanti Mommy marahin aku.” “Heemmm! Anak mami emang beda,” ucapnya seraya mengusap pucuk kepala istrinya itu. “Sembari menunggu makanannya datang, kita mandi dulu, ya. Kamu udah telanjang begini. Tinggal nyemplung aja ke bathtub.” “Haahhh!” Laura baru sadar bila dirinya tidak mengenakan apa pun. Ia kemudian menutup dadanya dengan polosnya. “Aku ternodai,” ucapnya kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Jonathan geleng-geleng kepala dengan kelakuan istrinya itu. Sungguh lucu dan bisa membuat giginya kering karena tertawa setiap kali Laura melakukan tingkah lucu dan anehnya. Waktu sudah menunjuk angka dua siang. Di puncak yang begitu sejuk padahal di siang hari. Laura yang hanya membawa celana pendek dan kaus pendek itu lantas kedinginan. Jonathan berinisiatif memeluk perempuan itu dari arah samping. Di kursi panjang di halaman villa, sembari memandang pemandangan asri di sana. Dua insan yang merupakan pengantin baru itu tengah menebar keromantisan di sana. Laura menoleh ke arah suaminya dengan pelan. Debaran jantungnya membuat dirinya tidak bisa bergerak lantaran takut Jonathan mendengarkan detak jantungnya yang berdetak dengan cepat itu. “Jo?” panggil Laura kemudian. Jonathan menolehkan kepalanya. “Heum? Ada apa?” tanyanya pelan. “Anget, Jo. Kirain sikap dingin kamu bisa bikin suhu tubuh kamu jadi dingin juga.” Jonathan tersenyum tipis. “Aku diam, dingin, dan hal lainnya itu karena tidak ingin ada orang yang salah paham padaku. Kamu pun pasti mengakuinya kalau dosen di kampus itu, hanya aku yang memiliki wajah tampan.” Laura menyunggingkan bibirnya mendengar betapa percaya dirinya suaminya itu. “Baru kali ini, denger kamu ngomong pede abis.” “Yaa emang bener, kan? Kamu pikir, siapa lagi ... yang tampan selain aku? Tidak ada, kan?” Laura terdiam. Yang dikatakan oleh Jonathan memang benar. Bahkan, bisa dibilang Laura sangatlah beruntung menjadi suami dari idola kaum hawa. Dering ponsel Jonathan kembali berdering. Menyebabkan emosi Laura kembali muncul lagi. “Hadeuuhhh!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN