Jonathan mengangguk. “Pasti.” Kemudian menerbitkan senyumnya.
Dengan sangat pelan, lelaki itu melajukan temponya dengan sangat hati-hati. Menggerakan tubuhnya hanya untuk membuat Laura terbiasa akan benda asing yang masuk ke dalam tubuhnya.
“Euuh!” keluh Laura seraya menggigit bibirnya menhan desahan yang ingin dia keluarkan. Namun, bukannya mendesah, yang ada menangis lagi. Ia pun memilih untuk diam saja seperti patung boneka yang tengah digerayangi.
Mata itu kemudian terbuka. Menatap Jonathan yang masih mencoba bertahan dengan sikap Laura yang sedari tadi hanya diam. Jonathan benar-benar bekerja sendiri.
“Kenapa, Jo?” tanya Laura tanpa dosa.
Jonathan menatap Laura kemudian mencabutnya lagi. Duduk di samping perempuan itu seraya menatapnya dengan lekat.
“Maunya, kamu ini juga ikut gerak. Jangan diam kaku seperti robot begitu. Kenapa ditahan? Semangatnya laki-laki itu karena mendengar desahan istrinya.”
Laura menggaruk rambutnya. “Yaa habis, aku nggak ngerti, Jo. Harus gimana sih? Mana meki masih sakit. Gimana mau desah-desahan.”
Jonathan mengacak rambutnya pelan. “Baiklah. Sudah sampai di sini saja. Yang penting kamu sudah berhasil aku bobol.”
Laura menghela napasnuya dengan pelan. “Kamu marah?” tanyanya kemudian.
Jonathan menggeleng pelan. “Nggak kok. Aku mengerti, kita baru sekali main. Aku ke kamar mandi dulu,” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam kamar mandi.
“Mau ngapain?” tanyanya dengan pelan.
“Ngapain lagi. Buang calon cucu Mami!” sengalnya kemudian.
Laura menghela napasnya dengan pelan. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan menarik tangan Jonathan. Ia tidak tega melihat suaminya harus mengeluarkan sendiri sementara lelaki itu sudah memiliki istri.
“Kenapa?” tanya Jonathan kemudian.
“Kamu sudah punya istri. Kenapa masih buang-buang dia ke toilet?”
“Kamu belum siap, Lau. Aku tahu it—“
Laura menarik kepala lelaki itu kemudian meraup bibirnya. Memegangi kepala suaminya dan berciuman layaknya permainan yang pertama mereka lakukan.
“Aku nggak mau kamu buang itu lagi di toilet. Lakukanlah. Aku pasti bisa mengerang, mendesah, uwel-uwel rambut kamu, jambak rambut kamu dan sebagainya. Atau … mau aku coba dilumat juga?”
Jonathan menatap Laura dengan lekat. “Yakin, bisa begitu? Ini … kamu makan?” tanyanya seraya mengusapi miliknya.
Laura menghela napas kasar. “Nggak sekarang juga. Mau nanya Mommy dulu.”
“Jangan! Jangan, oke? Kamu jangan buat aku malu di depan orang tua kamu, Laura.” Jonathan melarang istrinya untuk bertanya hal apa pun kepada mamanya itu.
Sebagai istri yang baik, Laura pun mengangguk. Menuruti perintah sang suami dan tidak akan bertanya tentang apa pun kepada orang tuanya. Kecuali mamanya sendiri yang memberi ilmu memuaskan pasangan.
“Jadi gimana nih? Jadi apa nggak?” tanya Laura kembali.
Jonathan menarik tangan perempuan itu kemudian mendudukkan perempuan itu di tepi tempat tidur. Menatapnya dengan lekat dan mengulas senyumnya dengan lembut.
“Laura?”
“Heung?”
Jonathan menghela napasnya dengan pelan. “Bisa nggak, bersikap lembut dan manis ke aku? Untuk di malam ini saja. Supaya malam pertama kita berkesan dan tidak akan bisa dilupakan seumur hidup.”
Laura menggigit bibir bawahnya. Bahkan, ia tidak tahu bagaimana bersikap lembut kepada suaminya itu. Yang dia lakukan selama ini hanya kebar-baran yang dia perlihatkan.
“Baiklah. Mas Jonathan yang tercinta,” ucapnya kemudian menerbitkan senyumnya. ‘Cinta? Emang gue cinta, sama dia?’ Laura bingung sendiri.
Permainan itu kembali dimulai. Menciumi bibir perempuan itu dengan lembut, menjelajahi setiap inci kulit putih dan mulus itu dengan lembut. Jonathan melakukannya dengan pelan tapi mematikan.
Sudah puas pemanasan. Jonathan kembali menyatukan miliknya di bawah sana. Hanya perlu sekali hentakan saja, sesuatu di bawah sana masuk dengan sempurna walau masih terasa sempit.
Satu jam berlalu. Dengan banyak gaya yang sudah mereka keluarkan, Jonathan sudah tak tahan ingin menembakkan sesuatu di bawah sana. Gerakannya semakin tak terkendali. Bahkan pekikan keluar dari mulut Laura juga sudah tidak bisa dihentikan.
Jonathan menggeram seraya mengeluarkan laharnya di bawah sana. Tubuhnya mengejang seketika hingga benih-benih itu keluar dengan sempurna di bawah sana.
“Dahsyat!” ucap Laura seraya mengatur napasnya.
“Bukan main.”
Laura mengusap rambut lelaki itu. “Jo. Udah puas?” tanyanya kemudian.
Jonathan menggeleng. “Belum. Masih ada kelanjutannya lagi. Setiap hari kalau bisa. Di kampus juga boleh.”
Plak!
Laura memukul kepala suaminya itu karena kesal. Sementara Jonathan terkekeh dengan pelan kemudian memeluk istri mungilnya dan mengecup pipinya.
“Jangan dijaga, yaa. Kalau hamil, bisa cuti dulu satu semester. Mami hanya punya aku, berharap banget kita bisa memberinya malaikat kecil untuknya,” ucap Jonathan dengan lembut.
“Kenapa Mami nggak hamil lagi?”
“Nggak tahu. Kalau sekarang, pasti jawabannya sudah tua. Kalau bahas dulu, dia nggak pernah mau bahas. Entah kenapa, mungkin males aja.”
Laura manggut-manggut dengan pelan. “Kalau Mommy, nggak bisa punya anak lagi karena rahimnya diangkat. Makanya nggak bisa punya anak lagi. Tapi, punya tiga anak aja udah bikin mereka ruwet.”
“Yang paling kerasa jadi orang tua itu sepertinya saat urus masalah Gerald, yaa?”
Laura menoleh kepada suaminya itu. “Aku nggak mau bahas itu, Jo. Cukup menyedihkan dan … dan nggak ada yang mau mereka kayak gitu.”
Jonathan mengecup kening istrinya. “Baiklah. Cukup jadikan pelajaran saja, dan sepertinya itu tidak akan terjadi pada kamu. Karena Papa sudah gerak cepat menikahkan kamu denganku.”
Laura menghela napas kasar. “Ini gimana ceritanya. Kenapa aku mau-maunya disentuh kamu.”
Jonathan kemudian menggetok kening istrinya itu. “Masih belum paham, kalau aku suami kamu? Laura, meskipun kamu tidak mencintaiku, bukan berarti kamu wajib menolak keinginanku. Dilarang menolak permintaan suami! Dosa!”
Laura mengerucutkan bibirnya kemudian menatap Jonathan yang tengah melihat langit-langit kamar di sana.
“Kamu kenapa, bisa cinta sama aku? Aku kan, rese. Bahkan bisa jadi, dulu aku sering banget bikin kamu jengkel.”
Jonathan mengendikan. “Mungkin, karena keunikan kamulah yang buat aku jatuh cinta sama kamu. Perempuan random, dengan segala petakilan dan keunikannya. Tidak perlu mencari alasan kenapa aku mencintai kamu. Semoga kamu pun tidak perlu mendapat alasan harus mencintai aku. Aku akan menunggunya.”