Jonathan mengambil ponselnya dan melihat siapa yang tengah menghubunginya itu. Kemudian menghela napasnya seraya menatap Laura yang tengah menggerutu kecil.
Tanpa memberi tahu, Jonathan menerima panggilan tersebut seraya menatap Laura yang masih seperti tadi.
"Iya, Pi?"
Laura langsung menoleh ke arah suaminya itu. "Papi, ternyata."
"Kamu di mana, Jo? Kok nggak ada di rumah?"
"Lagi di villa, Pi sama Laura. Ada apa?"
"Oh. Lagi bulan madu, yaa? Emangnya Laura udah mau?"
Jonathan terkekeh pelan. "Mau lah, Pi. Telepon aku hanya untuk menanyakan itu saja?"
"Nggak. Papi lagi di rumah kamu. Kita mau ke luar negeri hari ini. Nggak lama sih, hanya satu mingguan saja."
"Sama Mami?"
"Ya iyalah, Jonathan."
"Ke mana, Pi?"
"Ke Milan. Mami kamu lagi pengen jalan-jalan katanya. Tadinya mau ajak kalian juga. Tapi, Laura lagi kuliah. Nanti saja lah. Kalian bisa jalan-jalan sekalian bulan madu saat libur semester nanti. Dua bulan lagi, kan?"
Jonathan menganggukkan kepalanya. "Oke, Pi. Have fun, yaa." Jonathan menutup panggilan tersebut setelah tahu bila kedua orang tuanya hendak pergi jalan-jalan ke luar negeri.
"Kenapa? Tadi si Kiara bilang lagi ada di depan rumah kamu. Papi, nanyain ngapain dia di sana?" tanya Laura ingin tahu.
Jonathan mengatup dagunya dengan tangan kanannya. Seraya menatap sang istri yang sedari tadi selalu saja emosi bila membahas Kiara. Tidak ada istri yang marah bila mantan kekasih terus menghubungi suaminya. Pun dengan Laura, meskipun berkata dia tidak mencintai Jonathan. Bukan berarti dia tidak merasakan cemburu kepada mantan kekasih suaminya itu.
"Mami sama Papi mau liburan, bukan bahas Kiara. Kalaupun mereka ketemu Kiara, pasti dijelaskan kalau aku sudah menikah," ucapnya santai.
Laura melirik suaminya kemudian menghela napas pelan. "Yakin?" tanyanya kemudian.
Jonathan mengulas senyumnya kemudian menarik tangan perempuan itu untuk ia peluk. Memeluk tubuh mungil Laura menciptakan kenyamanan dalam dirinya.
"Aku senang, kamu cemburu. Itu artinya kamu care padaku. Lucu juga, kalau lihat kamu udah marah-marah. Asalkan kamu percaya, kalau aku menjelaskan apa pun mengenai Kiara."
Laura menatap Jonathan yang tengah mengusapi punggungnya itu. "Padahal dia cantik, lho. Lebih cantik dia daripada aku, lebih dewasa dia, dan tentunya gak akak ngelunjak sama kamu."
Jonathan menyunggingkan senyumnya. "Orang seperti sudah banyak di dunia ini. Tapi, kalau seperti kamu itu sudah jarang. Entah karena usia kamu yang masih muda, anak manja, bungsu, dan sebagainya. Atau memang kelakuan kamu yang seperti ini. Aku menyukainya."
Laura mengerucutkan bibirnya. "Selalu ada ledekan dalam memuji."
"Biar sinkron, Laura. Kalau terus menerus mengejek kamu, yang ada aku kena getok kamu lagi."
"Dasar!" ucapnya kemudian menatap malas ke arah suaminya itu.
"Sudah lapar lagi? Aku belikan makanan lagi, mau?"
Laura menatap jam di ponselnya. Sudah menunjuk angka lima sore. Sudah hampir tiga jam lamanya mereka duduk di sana.
"Belum lapar sih. Kapan pulang?"
"Nanti, jam sepuluh malam. Habis obrak-abrik kamu."
Laura mengerutkan keningnya. "Lagi?" tanyanya kemudian.
"Lagi dong! Masa iyaa hanya sekali. Aku sudah bilang kan, kalau bisa setiap hari."
"Laahh. Kirain seminggu sekali."
Jonathan lantas mengusap wajah istrinya itu seraya geleng-geleng kepala. "Kamu belum merasakan nikmat karena masih sakit. Kita coba lagi malam ini, dijamin akan ketagihan."
Laura meringis pelan. "Kok kamu tahu, kalau aku lagi nahan sakit?"
Jonathan mengendikan bahunya. "Tahu. Karena kamu sendiri yang memperlihatkan semuanya. Tapi, itu hal yang lumrah menurutku. Semuanya pasti merasakan nyeri yang luar biasa saat pertama kali dibobol."
"Kayak udah pengalaman banget. Udah pernah bobol perawan lain, selain aku?"
Jonathan terkekeh seraya menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Hanya kamu. Masuk pun hanya kamu. Aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, aku tidak pernah tidur dengan siapa pun termasuk Kiara."
"Lalu, kenapa Kiara masih ngejar-ngejar kamu padahal nggak pernah kamu grepe-grepe?"
Jonathan mengendikan bahunya. "Mungkin menyesal, karena sudah pergi begitu saja, cuek, dan terlalu fokus pada dunianya. Giliran diputusin, nggak mau."
Laura terdiam. Yang dikatakan Jonathan ada benarnya.
"Lalu, apa yang kalian bicarakan saat di kampus kemaren?" tanyanya ingin tahu.
"Tidak mau diputusin, Laura. Hanya itu saja. Dia juga minta maaf, ingin menjelaskan sesuatu yang harus aku ketahui. Aku dengarkan, dan ternyata dia hanya ingin kembali. Intinya itu-itu juga. Ingin kembali."
"Lalu, kalau aku bikin jengkel kamu bahkan kesabaran kamu sudah habis, akan melampiaskan semuanya ke Kiara? Datang padanya lalu tidur dengannya. Seperti di film-film itu."
Jonathan terkekeh seraya menggetok kening istrinya itu. "Makanya, Laura. Jangan kebanyakan nonton film. Aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Marah sama kamu bukan berarti harus melampiaskan semuanya pada perempuan lain. Apalagi sampai tidur dengan perempuan lain. Aku tidak akan seperti itu."
Laura menelan salivanya dengan pelan. Ia kemudian menatap Jonathan lagi. Sungguh, lelaki itu amatlah sangat santai bila berbicara. Tidak seperti dirinya yang sedari tadi berbicara dengan suara yang cukup membuat bising telinga.
Jonathan kemudian memesan makanan untuk makan malam. Menghiraukan Laura yang sedari tadi berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Tentu saja ia tidak peduli, sementara semuanya hanyalah hayalan Laura saja. Jonathan menghargai istrinya, dia mencintai perempuan itu dan tentu saja tidak akan melukai hatinya dengan bermain gila di belakang Laura.
Waktu sudah menunjuk angka delapan malam. Keduanya baru saja selesai makan malam hingga perutnya terasa penuh.
Laura tengah mengusapi perutnya yang terasa penuh itu seraya merentangkan tubuhnya di atas sofa.
"Belum ada bayinya, kali." Jonathan menghampiri Laura setelah selesai merokok.
Laura menyunggingkan bibirnya. "Siapa juga, yang lagi mikir ada bayinya di sini."
"Kamu, lagi masa subur atau bukan?" tanyanya kemudian.
"Masa subur itu kayak gimana?" tanyanya polos.
Jonathan menghela napas kasar. "Lima sampai sepuluh hari setelah mens, Laura. Kalau belum mens, berarti tidak sedang dalam keadaan subur."
"Oooh! Baru ... eeuum! Kayaknya baru seminggu yang lalu, aku mens." Laura berbicara dengan santainya.
"Syukurlah. Semoga bulan depan udah jadi, bayinya."
Laura mengendikan bahunya seraya melirik suaminya. "Nggak jadi pun bisa bikin lagi," ucapnya kemudian.
Jonathan kemudian menarik tangan perempuan dan meraup bibirnya tanpa memberi aba-aba lagi. Laura lantas membelakakan bola matanya kala merasakan kecupan yang dibuat oleh lelaki itu kepadanya.
Jonathan melepaskannya lagi. Mengusapi bibir mungil itu dengan lembut seraya menatap sang istri dengan lekat. "Masih belum mencintaiku?" tanyanya kemudian.
Laura menggeleng pelan. "Nggak perlu dipaksa, kan? Nanti juga cinta, kalau udah pengen cinta mah. Kamu tahu nggak, dulu Mommy nggak pernah berniat untuk jatuh cinta sama Papa. Tapi, bisa aja tuh mereka produksi anak tiap hari.”
Jonathan manggut-manggut dengan pelan. “Baiklah. Kita mulai sekarang aja, yaa? Setelah itu, pulang. Oke?”
Tanpa ragu, perempuan itu mengangguk dengan semangat seraya menerbitkan senyumnya dengan lebar kepada suaminya itu.