“Misyaaa!!” Laura berteriak kemudian menghampiri Misya yang tengah duduk di resto bersama sang kekasih.
“Anak dajjal! Ngapa sih lo, teriak-teriak mulu? Dikira hutan apa.” Misya menyunggingkan bibirnya.
“Misya. Besok gue suruh izi nggak masuk. Tolong kasih tahu Pak Santoso, yaa. Gue nggak nggak bisa masuk. Mau ke villa.”
“Bulan madu lo, yee? Udah mau nih, ceritanya? Kok bisa?” tanyanya ingin tahu.
“Emang kenapa sih Lau, harus ditunda-tunda? Enak tahu!” timpal Ricko kepada Laura.
“Diem, dugong! Gue nggak ngomong sama elo. Emang dasar p*****l elo mah.”
Misya memukul lengan sahabatnya itu. “Sendirian?”
“Mana ada. Laki gue nungguin di mobil. Nggak mau ke sini dengan alasan malas. Nggak mau lihat muka kalian pada.”
Misya lantas menyunggingkan bibirnya. “Setan Kutub Utara mana mau, mencairkan suasana di sini. Kita mah bobrok, dia mah kalem.”
Laura meringis pelan. “Untung ganteng, yaa. Masih ketolong dikit.”
Misya memutar bola mata lagi. “Udah siap beneran? Kok bisa?”
Laura menghela napasnya. “Dia … udah cinta, katanya sama gue.”
Uhukk! Uhuuk!
“Serius?” Misya berucap seraya menahan batuknya. “Anak Sultan Jason berhasil naklukin setan Kutub Utara? Gimana ceritanya? Kirain bakalan kaku, rumah tangga elo. Tahunya bisa jatuh cinta juga tuh orang.”
“Dia kan pernah pacaran, Misya. Katanya, kenapa nggak bisa mencintai istrinya sendiri. Dia udah jadi suami gue. Hal yang harus dia lakukan adalah mencintai gue. Dahlah, gue mau pulang. Setan Kutub Utara udah berisik chat gue terus. Bye!”
Misya melambaikan tangannya kepada Laura. Sementara perempuan itu sudah masuk ke dalam mobilnya.
“Lama banget. Minta izin udah kayak orang muslim naik haji,” sengal Jonathan karena kesal kepada istrinya yang baru tiba di mobil.
“Namanya juga diajak ngobrol. Cuma sepuluh menit doang juga. Berisik deh!” Laura mengerucutkan bibirnya.
Jonathan diam. Ia kemudian melajukan mobilnya menuju villa yang ada di kota Bogor. Mereka akan melakukan bulan madu dalam waktu sehari saja. Hanya untuk menenangkan suasana Laura agar tidak kaget dengan pergulatan yang akan dilakukan oleh Jonathan kepadanya.
“Pernikahan kita kan, masih disembunyikan. Kalau nanti aku hamil, gimana?” tanya Laura seraya menoleh kepada Jonathan.
“Aku tidak pernah mengiyakan perintah kamu untuk menyembunyikan pernikahan kita. Aku sudah bilang ke semuanya kalau aku sudah menikah. Meskipun tidak memberi tahu siapa, orang yang sudah berhasil aku nikahi.”
Laura menelan salivanya dengan pelan. Memang pada dasarnya Laura lah yang menyembunyikan semuanya. Tidak ingin satu orang pun yang tahu tentang pernikahan itu. Hanya karena dia masih mencintai Virza, malu karena menikah dengan dosen sendiri.
“Aku nggak keberatan, kalau kamu kasih tahu semuanya,” ucap Laura kemudian mengatup bibirnya.
Jonathan tersenyum tipis. “Gampang!” ucapnya santai. “Nanti juga kalau kamu hamil, anaknya siapa?”
“Anak setan Kutub Utara.”
Jonathan terkekeh mendengarnya. Bahkan, tertawa pun sangat minim. Benar-benar sangat menjaga mulutnya untuk tidak mengeluarkan suara yang membuat bobrok image-nya.
Dua jam kemudian, mereka sudah tiba di villa milik Jonathan. Keduanya langsung masuk ke dalam villa tersebut kemudian duduk di sofa ruang tengah.
“Udah berapa lama, punya villa ini? Sering bawa Kiara, ke sini? Udah tidur, sama dia?”
Jonathan menggeleng. “Aku tidak pernah menyentuh barang yang bukan milikku. Belum tentu dia jadi jodohku.”
“Anak Tuhan,” ucapnya yang entah mengejek atau memuji.
Jonathan menghela napasnya dengan pelan kemudian menatap Laura dengan lekat. “Kamu sendiri, kenapa nggak pernah mau main kayak gitu? Beda banget sama kelakuan kedua kakak kamu. Mama kamu juga. Bukannya mereka selalu bermain di mana pun dan kapan pun?”
Laura mengendikan bahunya. “Nggak tahu. Mungkin badungnya udah ke Kak Gerald dan Kak Kinara.”
Jonathan manggut-manggut dengan pelan. “Baiklah kalau begitu. Aku pesan makan malam dulu. Khawatir asam lambungnya kumat.”
Laura melirik ke arah suaminya yang tengah memesan makanan. Sepertinya lelaki itu sedang malas masak. Alhasil, Jonathan memilih untuk memesan makanan saja.
Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di balkon kamar lantai dua, keduanya tengah duduk sembari menikmati semilir angin yang begitu sejuk.
“Gimana, Laura? Udah siap?” tanya Jonathan setelah membuang puntung rokok ke dalam tong sampah.
“Bentar.” Laura kemudian masuk ke dalam kamar “Tunggu di situ!” teriaknya kepada Jonathan. Ia tidak ingin Jonathan melihat apa yang sedang ingin dia lakukan di dalam kamar itu.
Jonathan mengendikan bahunya kemudian menyenderkan punggungnya di tiang seraya menatap pemandangan indah di sana.
“Jo?” teriak Laura kemudian. “Udah siap nih, Jo!”
Jonathan mengulas senyumnya kemudian masuk ke dalam kamar setelah Laura memanggilnya. Ia kemudian terkekeh melihat Laura mengenakan lingerie transparan yang diberikan oleh Tiara sebagai hadiah pernikahan.
Jonathan kemudian membuka kaus yang masih ia kenakan. Kemudian menghampiri Laura dan mengecup kening perempuan itu seraya meredupkan lampu. Hanya lampu meja saja yang menyinari kamar itu.
“Your’e ready?” ucap Jonathan pelan.
Laura menganggukkan kepalanya seraya menatap Jonathan yang sudah tidak bisa mengontrol dirinya.
Bibir itu kemudian meraup bibir Laura. Menciuminya dengan lembut. Namun, tautan itu semakin dalam dan semakin menuntut.
“Gimana? Udah kerasa enak?” tanya Jonathan seraya melepas tali lingerie yang masih dikenakan oleh perempuan itu.
“Enakan apaan? Kalua berciuman mah udah hal lumrah, kali.”
Jonathan terkekeh pelan. “Baiklah. Kita mulai yang lebih dari sekadar berciuman,” ucapnya kemudian menarik tubuh perempuan itu dan meraih dadanya. Mengusapinya dengan lembut kemudian menyesapnya satu persatu.
Ia kemudian memulainya. Mencoba menerobos masuk ke dalam lubang kenikmatan yang katanya bisa ketagihan kalau sudah mencobanya.
Meleset. Sekali lagi Jonathan mendombraknya tanpa ada pantang menyerah dalam dirinya. Hingga di menit kelima, dinding pertahanan itu akhirnya bobol.
Dengan keringat membasahi wajahn lelaki itu, akhirnya bisa menghela napas lega karena sudah berhasil masuk ke dalam.
“Laura?” panggil Jonathan pelan.
“Huwaaaa! Sakit, Jonathaaaannn!” teriak Laura seraya menangis karena merasakan perih di bawah sana.
Cup!
Jonathan mengecup mata Laura yang sedari tadi mengeluarkan air matanya. Bukan hanya menitikannya, melainkan meraung-raung, meringis kesakitan. Jonathan akhirnya menenangkan perempuan itu agar lebih relax.
“I love you,” bisik Jonathan dengan suara lembutnya.
Sembari terisak dengan pelan, Laura mengusap air matanya yang mengalir di pipi. “Sakit, Jo,” ucapnya pelan.
Jonathan menganggukkan kepalanya. “Iya, Laura. I know. Tapi, jangan kayak anak kecil jatoh dari sepeda juga, nangisnya.”
Laura terisak pelan seraya menatap Jonathan yang masih berada di atasnya. Bahkan miliknya masih terendam di bawah sana, belum berani ia gerakan karena tidak mau membuat Laura semakin menjadi.
Perempuan itu benar-benar membuat Jonathan tepuk jidat. Pergulatan untuk pertama kalinya harus diiringi dengan tangisan suara menggelegar yang dibuat oleh perempuan itu.
“Aku mulai, ya? Sudah merasa baikan?” tanyanya kemudian.
“Pelan-pelan,” ucapnya memohon.