Waktu sudah menunjuk angka dua belas malam. Acara dinner keluarga sudah selesai dilangsungkan. Pertemuan antar dua keluarga itu cukup sukses.
“Kamu tahu nggak, tadi Mami bilang apa?” kata Jonathan kepada istrinya itu.
“Tahu!” ucapnya pelan.
Jonathan tersenyum tipis. “Kalau nggak mau, belum mau, jangan dipaksa.”
Laura tidak menjawabnya. Matanya sudah berat, ingin ditutup dan tak ingin mendengar suara apa pun. Jonathan kemudian menghela napasnya dengan pelan dan kembali melajukan mobilnya agar segera sampai ke rumah.
Lima belas kemudian, mereka pun tiba di rumah. Laura segera keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam rumahnya. Tidak peduli dengan Jonathan yang masih di dalam mobil.
Ting!
Notifikasi pesan masuk di dalam ponsel lelaki itu. Ia baru menghidupkan ponselnya karena tidak ingin ada yang mengganggu saat pertemuan keluarga itu.
Tanpa nama: [Kamu di mana? Kenapa nomornya nggak aktif?]
Jonathan meghiraukan pesan tersebut. Ia memilih memblokir nomor itu dan kembali melangkahkan kakinya hingga masuk ke dalam rumah.
Melihat Laura yang sudah tepar, tertidur di atas ranjang dengan gaun yang masih menempel di tubuh perempuan itu. Jonathan kembali menghela napasnya seraya geleng-geleng kepala.
“Kenapa Tuhan memberiku istri unik seperti ini,” gumamnya kemudian melepas sepatu yang masih melekat di kakinya.
Mengganti pakaian formal itu dengan mengenakan celana boxer saja. Dadanya ia biarkan telanjang karena sedang ingin mengerjai Laura malam itu.
Biar saja perempuan itu kembali berteriak saat melihat dirinya tidur tanpa mengenakan apa pun saat itu.
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Laura membuka matanya kemudian menatap langit-langit kamar tersebut.
“Bentar, bentar. Perasaan ini kaki berat amat,” ucapnya kemudian menatap ke arah samping. Saat ini, dia tidak kaget lagi atau berteriak. Karena sudah tahu kalau Jonathan pasti akan tidur satu kamar dengannya lagi.
“Jonathan, bangun. Kaki kamu ini, berat banget!” Laura mencoba menyingkirkan kaki suaminya yang melilit di atas kakinya.
Jonathan membukanya dengan pelan. Saat itu, tatapan mereka begitu dekat bahkan deru napas keduanya saling berembusan.
“Kenapa?” tanya Jonathan kemudian.
“Kaki kamu, berat.” Laura pun berhasil menyingkirkan kaki suaminya itu dari kakinya. “Heeuuh! Bisa nggak, kalau tidur jangan deket-deket!”
Jonathan menyunggingkan senyum tipis. Ia kemudian beranjak dari tidurnya dan merentangkan tangannya.
Laura menelan salivanya kala melihat tubuh kekar milik suaminya itu. Begitu indah dan sangat enak dipandang. Namun, kala matanya menangkap sinyal yang berdiri mentereng dengan jelasnya, ia pun menolehkan kepalanya dengan cepat.
Membuang muka karena tidak ingin melihat sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia lihat, kecuali melihat milik anaknya Gerald.
“Gede banget. Mana muat di liang gue yang kecil mungil imut kayak muka gue ini,” gumamnya seraya merapikan selimutnya. Ia kemudian segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi.
“Kamu mau sarapan apa? Biar aku siapkan,” kata Jonathan dengan elegannya menawarkan diri menyiapkan sarapan untuk istrinya itu.
“Heeuh? Mau nyogok, ceritanya? Buat apa, Pak Jonathan yang terhormat?” kata Laura kemudian menatap datar suaminya itu.
Jonathan mengendikan bahunya. “Ya sudah kalau tidak ma—“
“Roti bakar selai nanas!” ucap Laura kemudian segera masuk ke dalam kamarnya setelah memberi tahu ia ingin sarapan apa di pagi hari itu.
Jonathan menyunggingkan senyum tipis. Ia pun keluar dari kamarnya kemudian menyiapkan sarapan untuknya dan juga untuk Laura—istri yang paling unik dan lucu menurut seorang Jonathan yang sedang berbaik hati menyiapkan sarapan di pagi hari itu.
Lima belas kemudian, Laura pun keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap sudah ia kenakan.
“Emang kamu nggak mau mandi?” tanya Laura kemudian duduk di kursi meja makan.
“Selamat makan,” ucap Jonathan dengan suara datarnya. Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan istrinya itu.
Laura hanya menyunggingkan bibirnya kemudian mengambil roti tersebut dan melahapnya dengan semangat. Perutnya sudah tak sabar ingin segera diisi oleh makanan yang sudah menggoda hidungnya sedari tadi.
“Mama kamu bilang, kamu punya asam lambung. Wajib sarapan, dengan apa pun kamu harus makan. Jangan meninggalkan sarapan, makan siang dan makan malam. Aku juga sudah siapkan s**u kotak dan sandwich untuk bekal di kampus. Sorry! Baru tahu kalau kamu punya asam lambung.”
Jonathan menjelaskan kepada perempuan itu mengapa dirinya langsung inisiatif untuk membuatkan sarapan pagi ini. Rupanya, Kayla memberi tahu bila Laura memiliki asam lambung yang merupakan penyakit yang diturunkan oleh sang mama kepadanya.
“Ooh!” Hanya itu yang diucapkan oleh Laura kepada suaminya itu.
Jonathan diam. Hanya menatap Laura yang dengan lahapnya memakan roti bakar buatannya.
“Aku mandi dulu,” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya.
“Aku juga mau berangkat. Status kita masih disembunyikan. Hanya sebagian orang saja yang tahu, dan itu pun udah aku peringatkan untuk jangan memberi tahu kepada siapa pun!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya.
“Oh! Satu lagi. Thank you untuk roti bakar dan sandiwich-nya.” Laura kembali melangkahkan kakinya keluar dari rumah tersebut.
Jonathan menghela napas pelan. “Whatever!” ucapnya kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Setibanya di kampus. Laura duduk di kursi taman karena jam kuliah diundur ke satu jam yang akan datang. Alhasil, ia tidak punya kerjaan selain melamun sembari meminum s**u kotak yang sudah disiapkan Jonathan di dalam tasnya.
“Jonathan aneh. Kenapa saat di kampus, kayak batu es yang baru keluar dari kulkas. Dingin banget dan nggak gampang mencair. Senyum aja sulit. Tapi, waktu di rumah, banyak omong, kadang nyebelin bahkan ....” Laura menghela napasnya.
“Dia berani menunjukkan pedang pusakanya di depan gue! Sialan! Gue kan jadi terngiang-ngiang. Aah!” Laura menjambak rambutnya sendiri sembari berbicara seorang diri.
“Ngapa lo?” Misya menghampiri Laura yang tengah duduk di bangku panjang tersebut.
“Abis diubek-ubek Pak Jonathan ya, lo?” tebak Misya kemudian.
Laura melirik sahabatnya dengan malas. “Nggak ada!”
“Aahh! Payah, lo. Kebanyakan gengsi. Ngapa sih? Jangan bilang, elo udah nggak perawan!”
“Nggak! Gue masih ori, Misya. Gila lo!” Laura memutar bola matanya.
“Terus? Kenapa takut banget diubek-ubek laki sendiri? Karena nggak ada cinta? PSK aja berani megang pedang orang karena lihat duitnya gede. Gimana sih, lo!”
Laura menelan saliva dengan pelan. “Masalahnya, gue belum siap. Gue takut banget. Tadi pagi gue lihat pas lagi on. Gede banget. Kalau nanti gue nangis gimana?”
Misya tertawa mendengar ucapan polos sahabatnya itu. “Yaa namanya juga udah dewasa. Tubuhnya tinggi, proposional. Udah pasti pusakanya juga gede. Nangis udah pasti sih. Tapi yang bakal bikin ngakak paling juga elo bakalan teriak gak jelas gitu.”
Laura mengerucutkan bibirnya kemudian menghela napasnya dengan pelan. Ia pun menatap Misya yang tengah sibuk membalas pesan masuk dari sang kekasih.
“Misya. Jonathan kemarin lihatin potongan video si Virza lagi main sama perempuan coba. Dia mikir nggak ya, kalau gue juga udah diubek-ubek si Virza? Eeh! Sialan bener itu orang. Gue udah mati-matian belain dia di depan bokap gue. Tahunya berengsek. Sialan bener itu orang!”
Laura tampak kesal kepada mantan kekasihnya itu. Di sisi lain, dia beruntung karena menuruti perintah sang papa untuk menikah dengan pilihannya. Tapi, dia masih belum nyaman bahkan belum mencintai Jonathan. Ada niat untuk mencintainya pun tidak ada.
“Nggak bakalan, Lau. Dia percaya, kalau elo masih perawan. Asalkan jangan nolak, kalau dia lagi ajak elo atau nawarin elo buat bikin anak. Lagian kalau Jonathan nggak yakin elo masih perawan, boleh dites. Gitu aja dipikirin.” Misya memutar bola matanya.
Laura menghela napasnya dengan pelan. “Emang, kalau untuk melakukan itu, nggak perlu ada cinta?”
Misya menggeleng pelan. “Nggak. Banyak juga tuh yang nggak pake cinta, tapi hanya untuk kebutuhan aja. Tapi, mungkin aja elo bakalan jatuh cinta kalau Pak Jonathan memperlakukan elo dengan baik dan lembut.”
“Sorry, ganggu! Ada yang kenal Jonathan Albert Jovanca? Aku telepon soalnya nggak bisa.”