Laura dan Misya menoleh kompak ke arah perempuan cantik, tinggi, langsing. Cukup sempurna bagi pria yang melihatnya sudah pasti ingin memiliki perempuan itu.
“Woaah! Bidadari turun dari mana ini?” gumam Misya, terpesona melihat kecantikan perempuan itu.
“Kalau boleh tahu, Mbak ini siapa?” tanya Laura kemudian.
“Eeum ....” Perempuan itu tidak meneruskan ucapannya karena matanya sudah menangkap orang dia cari. Ia kemudian melebarkan senyumnya dan melangkahkan kakinya menghampiri Jonathan yang tengah berdiri sembari menerima panggilan entah dari siapa.
“Wahh! Wahh! Kayaknya pacarnya laki elo tuh! Gosipnya kan, Pak Jonathan punya pacar. Kata gue juga apa, Lau. Ada kan, pacarnya. Mana cantik banget, lagi. Kagak bisa move on gue sama mukanya.”
Laura menelan saliva dengan pelan seraya menatap suaminya yang terlihat marah kala perempuan itu menghampirinya. Lalu, pergi dari taman tersebut tanpa ingin tahu siapa sebenarnya perempuan itu.
“Nggak panas sih, hanya gosong aja. Tapi, kenapa harus gitu? Kenapa, Lau? Harusnya elo foto, terus kasih bukti ke Papa. Bilang, ini ... pilihan terbaik Papa? Cowok udah punya pacar, kenapa harus dikasih ke gue.” Laura mengusap wajahnya setelah tiba di dalam toilet.
“Nggak panas, tapi gosong doang. Itu artinya elo cemburu, Laura. Jangan diem aja. Elo yang paling kuat meskipun itu cewek pacarnya. Elo istrinya, pangkatnya jauh lebih tinggi dari hanya sekadar dijadiin pacar doang! Jangan lemah! Tapi, kalau saingannya begitu, berat juga sih.
“Apalagi kalau ceweknya punya power kayak kakak elo dulu. Bisa rebut Kak Sandra dan sekarang jadi bininya. Bisa aja, kalau dia punya power yang lebih kuat dari dia. Tapi kan, nggak masalah juga. Elo belum diapa-apain, kan?”
Laura menggeleng pelan kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Lemes gue, Misya. Lihat cewek bening begitu, bahkan bikin gue pengen mundur alon-alon. Gue pulang aja deh. Ke rumah Kak Kinara tapi. Jangan bilang Jonathan, yaa.”
Laura dan Misya keluar dari toilet secara bersamaan.
“Baru dua hari jadi bininya Pak Jonathan, udah dibikin sakit hati begini. Gimana ke depannya, yaa?” kata Misya kemudian menatap Jonathan yang seperti tengah mencari keberadaan seseorang.
“Laki elo lagi nyari elo kayaknya tuh!”
Laura menatap Jonathan kemudian mengendikan bahunya. “Gue balik, yaa.” Laura melambaikan tangannya kepada Misya kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Sementara Misya kembali ke dalam kelas karena jam kuliah akan segera dimulai.
“Misya. Kamu lihat Laura?” Jonathan menghampiri Misya dengan napas yang terengah-engah.
“Muka Bapak kenapa? Kayak panik gitu? Ketahuan, yaa? Makanya, Pak. Kalau masih punya pacar, jangan nerima perjodohan. Laura pulang!” Misya memberi tahu bila Laura melihat Jonathan dan perempuan itu berbincang.
Jonathan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia kemudian pergi ke ruangannya dan izin pulang, mengejar Laura. Menjelaskan kesalahpahaman itu.
Sementara Laura pergi ke rumah Kinara karena Gerald sedang berbulan madu dengan istrinya di luar negeri.
“Gimana, gimana? Si Jonathan emang punya pacar. Tapi, udah dua bulan ini menghilang. Jonathan udah kirim pesan buat putus, udahan. Nggak mau digantung nggak jelas gitu. Jangan salah paham, Dek. Baru nikah juga. Nggak mungkin ah, Jonathan begitu. Berani kalau emang iya. Berani ke Papa maksudnya.”
Kinara meyakinkan Laura agar jangan salah paham terlebih dahulu kepada perempuan yang menanyakan Jonathan di kampus tadi.
“Gitu, yaa?” ucapnya kemudian.
“Gue ngomong panjang kali lebar, dan elo hanya jawab gitu doang. Astaga! Ini adek pengen dijitak emang.” Kinara memutar bola matanya.
“Aunty Laura. Aunty tahu nggak, kemaren aku lihat pacar Kakak lagi gandeng cewek di depan sekolahku.” Cristy—puteri semata wayang Kinara dan Nicko. Hasil pembuahan yang tidak pernah disangka-sangka jika Nicko akan memiliki keturunan.
Namun, karena kejadian melahirkan di tujuh tahun yang lalu membuat Nicko enggan untuk memiliki anak lagi. Yang trauma adalah Nicko. Betapa ia ketakutannya saat itu.
“Hooh, Cristy. Cowokku, mantan cowokku maksudnya. Emang gila. Nggak usah kasih info lagi. Nggak penting.”
“Oke, Aunty!” ucapnya kemudian mencium pipi perempuan itu.
“Nggak pernah minta adek?”
Kinara menggeleng. “Nggak. Udah ada si cuprit. Ya udalah, main sama anaknya Kak Gerald aja. Udah seneng dia.”
Laura menghela napas kasar. Pikirannya teringat pada perempuan cantik yang ternyata memang mantan kekasih Jonathan.
“Aah! Males banget ketemu Jonathan. Udah ketebak banget tuh! Pasti banyak drama. Nggak mau disalahin dan lainnya. Ngasih tugas aja, padahal dia yang salah, tetep nggak mau salah. Apalagi masalah beginian.” Laura mengembungkan pipinya.
“Ya udahlah. Nggak usah dipikirin. Kalau Jonathan bahas, tinggal manggut-manggut aja. Kalau nggak, yaa nggak usah diingetin.”
Laura melirik kakaknya itu. “Pengen ngadu sama Papa.”
“Jangan, Laura. Papa kita itu pria terkiller di dunia. Sepanjang sejarah, hanya dia doang yang hampir gila tapi nggak jadi.”
Laura tersenyum miring. “Salah sendiri, egois. Ya udahlah, aku nggak akan kasih tahu Papa dulu.”
“Nggak usah, Laura. Jangan apa-apa langsung ngadu ke orang tua. Selesaikan dulu, pelan-pelan. Kamu ini masih harus banyak belajar, Lau. Jangan apa-apa diceritakan ke Mommy Papa, yaa. Selesaikan dulu, antara kamu dan Jonathan. Kalau emang udah nggak ada lagi jalan, baru deh, minta tolong orang tua. Oke, bestie?”
Laura menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Iya, Kak. You are my best sister, Kak. Aku padamu, Kakak.” Laura memeluk kakaknya itu.
Tak lama setelahnya, dering ponsel Kinara berbunyi. Panggilan dari Jonathan. Mau apa lagi, kalau bukan menanyakan keberadaan sang istri di sana.
“Suami kamu udah nelepon nih! Pulang gih.”
“Iya, Kakak. Aku pulang. Hanya lima menit doang juga. Kudu aja ditelepon.”
“Namanya juga khawatir, Laura.”
“Khawatir. Kayak orang penting aja, di hidupnya.”
Kinara mengendikan bahunya seraya menerima panggilan tersebut. “Heung?” ucapnya kemudian.
“Ada Laura nggak, di sana? Di rumah nggak ada soalnya.”
“Barusan udah pulang lagi. Habis numpang makan siang.”
Jonathan menghela napasnya. “Terima kasih,” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.
“Random bener ini orang,” gumam Kinara kemudian beranjak dari duduknya.
Sementara Laura sudah tiba di rumahnya. Ia menatap Jonathan yang tengah berdiri di ambang pintu masuk. Tanpa menyapanya, Laura masuk ke dalam rumah tersebut.
Jonathan lantas mengusap wajahnya kemudian mengejar Laura yang sudah masuk ke dalam.
“Kenapa pulang nggak bilang-bilang?” tanya Jonathan kemudian.
“Kamu sendiri, ngapain pulang?” Laura balik bertanya.
“Aku tanya, kenapa kamu balik nanya?”
“Karena pengen pulang. Emang kenapa? Nggak akan ada yang berani DO aku juga,” ucapnya ketus.
Jonathan masih menyimpan stok kesabarannya dalam menghadapi sikap jutek istrinya itu. Dia tahu, Laura sedang marah padanya karena kehadiran perempuan di kampus tadi.
“Aku tahu, kamu melihat dia. Kiara. Kamu melihat dia di kampus, kan?”
Laura menoleh ke arah suaminya itu. “Pentingkah, kalau aku tahu dia ke kampus? Bodo amat, Jonathan. Jangan pikir, aku kayak gini karena dia ke sana. No! Big no! Tapi, lebih ke kecewa sama kamu. Terlihat baik di depan orang tua aku, tapi nyatanya nggak gitu!”
Jonathan menelan salivanya dengan pelan. “Aku bukan orang yang kamu pikirkan, Laura.”
“Tapi, nyatanya kamu kayak gitu. Mau ngelak apa lagi, Jonathan?” teriak Laura yang sudah habis batas kesabarannya.
Jonathan kembali menarik napasnya dengan panjang. “Jangan salah paham, Laura. Aku ... aku hanya mencintai kamu.”