Kado dari Mertua

1212 Kata
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Laura lebih dulu pulang ke rumah dari Jonathan karena lelaki itu sedang ada meeting dengan para dosen lainnya. “Halo, Kak. Di mana? Nanti malam ikut dinner nggak?” Laura menghubungi Kinara. “Nggak, Lau. Itu hanya dinner keluarga suami kamu aja. Kita nggak ikutan, males juga. Lama.” “Yaah. Kak Gerald, gimana?” “Apalagi dia. Itu orang lagi bulan madu, mau kasih adik buat si kucrit.” “Haah? Udah mau punya adek? Gilak!” “Gilak kenapa? Si kucrit udah gede, kali. Udah mau tujuh tahun usianya.” “Iya sih. Ya udah deh, aku mau mandi dulu. Kirain kalian juga ikut. Males banget, nggak ada kalian.” “Laura, Sayang. Kamu udah beristri, ada keluarga baru yang harus kamu sambut. Jangan harus ada kami terus. Beradaptasi dengan keluarga baru itu wajib. Jangan sedih terus dong. Masih cinta, sama Virza? Kamu yakin, dia mau ikut kamu?” Laura menelan salivanya dengan pelan. “Masih, Kak. Tapi, mau gimana lagi. Bener sih, kata Kakak. Belum tentu mau ikut aku. Aku juga sama, nggak akan mau juga. Papa juga pasti nentang banget.” “Itu kamu tahu. Udah … nikmati aja jadi pengantin baru. Udah unboxing belum?” “Unboxing dari Hongkong! Baru juga nyampe rumah, malah disuruh ngerjain tugas. Lagi pula, aku belum siap, Kak.” “Kenapa? Enak kok.” “Kak!” Kinara lantas tertawa mendengar Laura menggerutu. “Udah, yaa. Aku mau mandi dulu.” Laura kemudian menutup panggilan tersebut dan melempar asal ponsel tersebut ke atas tempat tidur. Merasa tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya, ia membuka pakaiannya karena hendak membersihkan diri. “Lama-lama juga kamu pasti akan melupakannya. “Astagaaa!” Laura terperanjat kaget kala mendengar suara bariton yang tengah berdiri di ambang pintu. “Maksudnya?” tanyanya seraya menutupi bagian dadanya dengan kemeja yang sudah dia lepaskan. Jonathan menghampiri perempuan itu. Sementara Laura melangkah mundur, tak ingin Jonathan mendekatinya. “Kamu sudah punya suami. Jangan mencintai orang lain yang belum tentu masih cinta sama kamu. Kamu yakin, dia masih cinta sama kamu?” tanyanya tanpa menghentikan langkahnya. Hingga mentok ke tembok, Laura sudah tak bisa mundur lagi. “Emangnya kenapa, kalau aku masih cinta sama dia?” Jonathan menghela napasnya. Ia kemudian mengambil ponselnya dan memberikan bukti jelas bahwa Virza bukan lelaki baik untuk Laura. “Masih mencintainya?” tanyanya kemudian. “Hargai keputusan papa kamu, Laura. Jangan membencinya karena sudah menjodohkan kamu dengan aku. Dia lebih tahu dari kamu, supaya anaknya tidak terjerumus dalam lubang yang salah.” Jonathan menggetok kening Laura kemudian keluar lagi dari kamar tersebut. “Mandi duluan aja. Aku mau ngopi dulu.” Laura masih menganga melihat potongan video Virza sedang bercinta dengan perempuan lain. Tanggalnya pun masih tertera dengan jelas, satu bulan yang lalu. “Anak setan!” ucapnya jengkel. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi seraya menggerutu kesal. Lima belas menit berlalu. Sambil menunggu jam tujuh tiba, Laura memilih duduk di sofa kamar tidurnya sembari menikmati secangkir teh chamomile kesukaannya. “Masih cinta, sama orang yang udah khianati kamu?” Jonathan kembali membahas perasaan Laura. Perempuan itu kemudian melirik tajam suaminya yang baru selesai mandi. “Nggak usah ngeledek deh! Kamu juga punya pacar, kan? Jujur!” Jonathan mengangguk. “Punya. Dua bulan yang lalu udah putus tapi. Aku menerima perjodohan orang tua kita karena aku sudah tidak punya pacar lagi.” Laura menghela napas kasar. “Kenapa saat di kampus kamu kayak setan kutub utara. Tapi, di sini banyak ngomong.” Jonathan tersenyum miring. “Karena kamu tidak pernah mau mengenal dosen kamu sendiri lebih dekat.” “Emang sifatnya kayak gitu. Kenapa malah nyalahin aku?” “Aku nggak nyalahin kamu, Laura. Jangan salah paham.” Laura menyunggingkan bibirnya seraya melirik tajam pada suaminya itu. “Tolong jaga attitude kamu, ya. Orang tuaku sangat mengedepankan kedisipilinan. Kamu boleh ngelunjak ke aku, tapi jangan pada orang tuaku. Jangan sampai aku obrak-abrik kamu saat pulang dinner nanti.” “Nye nye nye nye!” Laura menghiraukan bahkan meledek lelaki itu. Jonathan masih sabar. Menikah dengan perempuan yang masih berusia dua puluh satu tahun merupakan tantangan tersendiri baginya. Perbedaan usia tujuh tahun itu cukup membuatnya lebih berpikir dewasa dan memahami kondisi Laura. Ia hanya geleng-geleng kepala seraya menyisir rambut tebal hitam itu. Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Di The Golden Resto, mereka sudah sampai di sana kemudian menyapa keluarga Jonathan yang sudah tiba di sana. Laura yang diminta supaya menggandeng tangan Jonathan merasa tersiksa di malam itu. Harus menerbitkan senyum, menyapa dengan ramah, dan lain sebagainya. Harus bersikap feminim juga jangan sampai lupa. “Cantik banget, menantu Mami.” Tiara memuji kecantikan sang menantu. Laura mengulas senyumnya. “Terima kasih, Mami. Mami juga cantik banget.” Tiara kemudian menggandeng menantu kesayangannya itu dan duduk di meja yang telah disediakan di sana. “Bagaimana, Sayang? Jonathan tidak pernah memarahi kamu, kan? Dia memang sedikit diam orangnya, tapi … kalau sudah marah, jangan dilawan. Bisa kayak macan kelaparan.” Laura meringis pelan. “Iya, Mi. Udah tahu kalau itu. Soalnya kalau lagi ngajar, nggak pernah sekali pun dia mengumbar senyum.” Tiara terkekeh pelan. “Menghindari kontak batin, Sayang. Supaya tidak jatuh cinta pada siapa pun kecuali sama kamu.” Laura benar-benar dibuat melting oleh mertuanya itu. Jonathan tidak semanis sang mama, hanya kejengkelan yang selalu pria itu tunjukkan kepadanya. “Makan dulu, yuk! Ini, ada makanan khas Eropa, makanan kesukaan kamu, Nak. Mami sudah siapkan semuanya. Selamat makan ya, Sayang.” Tiara begitu perhatian kepada Laura. Seolah seperti anaknya sendiri, ia sangat disayang oleh mertuanya itu. Namun, tetap saja tidak akan merubah dirinya untuk bisa jatuh cinta kepada pria yang baru saja menjadi suaminya. ‘Ini kenapa pikiran gue melayang ke arah jauh, yaa? Baru dua kali ketemu sama mamanya Jonathan, kenapa dia kayak udah kenal gue dari lama? Perasaan waktu di gereja nggak kayak gini.’ Laura menggaruk rambutnya dengan pelan. Banyak kejanggalan setelah melihat kedekatan Jonathan dengan Jason, Tiara yang begitu perhatian kepadanya, dan jangan lupakan Kayla yang sedari tadi berbincang dengan menantunya itu. “Nggak mungkin banget kayaknya kalau mereka baru kenal sebulan dua bulan. Gilak! Apa gue doang, yang nggak tahu apa-apa?” Laura menghela napasnya dengan pelan seraya menatap kedua orang tuanya yang tengah berbincang dengan menantunya itu. “Laura?” panggil Tiara kemudian. Laura menoleh. “Heuh! Iya, Mi?” “Euum … bagaimana dengan malam pertama kalian? Sukses?” Uhuk! Uhukk! Laura tersedak oleh makanan yang tengah ia kunyah. Bagaimana tidak, pertanyaan Tiara mengundang emosi jiwa karena sudah bertanya mengenai malam pertama penuh dengan emosi di dalamnya. ‘Sukses bikin gue gondok, iyaa. Malam pertama disuruh ngerjain tugas! Hanya satu di dunia ini dan itu hanya suami gue!’ Laura menggerutu dalam hatinya. “Eeuh! Belum, Mi. Kemarin aku harus ngerjain tugas kuliah dulu,” ucapnya jujur. “Walaah. Kirain langsung ditembak. Ternyata belum. Padahal, Mami udah kasih sesuatu untuk Jonathan. Udah dikasih belum, ke kamu?” Laura menggelengkan kepalanya. “Kasih apa, Mi?” tanyanya ingin tahu. Tiara menerbitkan senyum nakal. Ia kemudian memperlihatkan gambar yang ada di dalam ponselnya. Dengan mata membola, ia kemudian menelan salivanya dengan berat kala melihat gaun seksi yang sering dikenakan oleh Kayla. “Nanti pakai ya, Nak. Mami udah gak sabar, pengen punya cucu,” ucapnya tanpa dosa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN