Aku merasakan embusan napas Abs di pipiku. Bau alkohol dari mulutnya yang menyengat menusuk hidungku. Aku merasa apa yang Abs lakukan padaku kali ini bukan sebuah kekhilafan seperti malam itu. Abs sengaja melecehkanku. Hatiku bertambah remuk saat Abs mencengkeram rahang bawahku dan memaksa melumat bibirku.
“Argh!” Aku mengerang ketika Abs menggigit bibir bawahku dan seketika aku mengecap rasa anyir darah di lidahku. Abs sudah melukaiku.
Tak hanya perasaanku yang tersakiti, tubuhku juga merasakannya. Aku meronta sebisaku, tetapi cengkeraman kuat tangan Abs di lenganku justru berpindah ke pinggang. Abs menekan tubuh atletisnya ke tubuhku hingga aku bisa merasakan bukti gairahnya yang menekan perutku. Aku tak bisa bergerak lagi, terjebak di antara tubuh Abs dan dinding dapur. Aku semakin tidak berdaya saat Abs melancarkan invasinya lagi ke bagian tubuhku yang lain. Abs sudah kehilangan kewarasannya. Ia menjadikanku sasaran kebencian yang tak beralasan.
“Kakak, sudah.” Aku memohon pada Abs, tetapi Abs seperti ditulikan. Pria yang kusebut kakak itu semakin menggila.
Isak tangisku mengiringi ketidakwarasannya malam ini. Ingin sekali aku berteriak, tapi aku tidak ingin mempermalukan diriku sendiri dan Mama. Meski Abs terbukti melecehkanku, semua kesalahan pasti akan dilempar telak padaku oleh orang-orang yang berpihak pada Abs, penguasa rumah dan keluarga ini. Aku meringis menahan perih di bibirku. Tubuhku terasa sangat lemas. Kurasa aku sudah tidak sanggup lagi meronta dan menolak siksa yang mendera tubuh dan jiwaku. Abs b******k!!!
“Eh, maaf, Tuan.” Suara Mbok Darmi memecah kebisuan.
Abs seketika menghentikan lumatannya di bibirku.
Aku memalingkan wajah, menghindari melihat si pemilik suara. Aku malu dan sangat terhina dengan perlakuan Abs padaku.
“Tuan, maaf, saya tidak sengaja melihat Anda dan Non ….” Mbok Darmi menghentikan ucapannya saat melihatku. Ada kilat tak percaya yang terpancar dari matanya.
Abs melepas cengkeramannya dari pinggang dan dadaku, lalu meninggalkanku tanpa berkata sepatah kata pun. Aku yang sudah tak bertenaga jatuh terduduk di lantai sambil menangkup wajah. Isakanku tak dapat kutahan lagi. Abs gila! Aku membencinya! Benci!
“Non Rissa.” Tangan Mbok Darmi menyentuh bahuku.
“Mbok Darmi.” Aku memeluk kepala asisten rumah tangga di rumah ini dengan erat, Aku tidak bisa membohongi diriku kalau saat ini aku benar-benar rapuh.
“Mbok, Rissa mohon jangan kasih tahu siapa pun soal ini, ya. Kakak sedang mabuk. Mungkin dia hanya ….” Air mataku yang kian deras mengalir, menghentikan kalimat yang akan kuucapkan.
“Iya, Non. Mbok ngerti. Mbok tidak akan bilang sama siapa-siapa.” Mbok Darmi mengusap rambutku penuh kasih.
Mbok Darmi inilah yang selama ini sering membantuku dan Mama. Mbok Darmi tahu betul perjuangan kami di rumah ini. Perjuangan yang tak berujung.
“Ayo, Non, Mbok antar ke kamar.” Mbok Darmi memapahku ke kamar.
“Mbok, jangan kasih tahu siapa-siapa, ya.” Aku memohon sekali lagi pada Mbok Darmi sebelum meninggalkan kamarku. Mbok Darmi mengangguk. Semoga saja Mbok Darmi memegang janjinya.
○○○
Pagi ini rasanya berat sekali untukku melangkah ke ruang makan. Kejadian semalam begitu membekas di hati dan pikiranku. Aku tidak mau bertemu dengan Abs lagi. Aku membencinya. Namun, dengan terpaksa, agar tak menimbulkan kecurigaan aku duduk berhadapan dengannya di meja makan.
“Rissa, kenapa bibirmu? Sepertinya, kok, robek?” Mama memperhatikan luka bekas gigitan Abs di bibirku.
“Oh, ini mmm … Rissa jatuh dan bibir Rissa terbentur daun pintu semalam, Ma,” kataku terbata-bata. Aku menatap Mama dengan gugup. Aku tahu Abs sedang menatapku, memperhatikanku dari tempat duduknya. Aku hanya tak berani untuk balas menatapnya.
“Makanya, anak perempuan kalau pulang jangan malam-malam. Memang segitu banyaknya tugas kuliah dari dosenmu, ya, sampai kamu harus menyelesaikannya tiap hari dengan teman-temanmu dan harus pulang malam? Udah kayak p***n aja pulang malam terus!” ujar Mama Lastri ketus.
“Lastri! Kalau ngomong direm sedikit!” Mama mulai naik pitam dengan ucapan Mama Lastri.
“Sudah! Pagi-pagi sudah ribut. Rissa, ayo kita berangkat!” ajak Papa.
“Rissa berangkat bareng sama Abs, Pa.” Abs berdiri, lalu menatapku yang masih terkejut dengan kalimat yang dia ucapkan.
Jantungku berdetak kencang. Bagaimana caraku menolak ajakan Abs di hadapan semua anggota keluarga? Aku tak mau pergi dengan pria berengsek ini.
“Ayo, Rissa!” ajak Abs.
“Anak-anak saja bisa akur, masa mamanya berantem melulu?” sahut Papa.
Akur dari mana? Ajakan Abs itu perintah yang harus dituruti bukan pertanda akur.
“Ayo, cepat Rissa! Kakakmu sudah menunggu,” bujuk Mama.
Sepertinya, Mama terlihat senang. Mungkin Mama berpikir Abs mulai menerimaku sebagai saudaranya. Hatiku miris melihat senyuman di wajah Mama. Andaikan Mama tahu yang sebenarnya.
“Ma, Rissa bareng Papa aja.”
“Rissa, kakakmu satu kampus sama kamu. Kalau Papa mengantar kamu, Papa harus muter lagi nanti. Abs lagi baik, tuh.” Mama memegang kedua pundakku dengan bangga.
Ya Tuhan, aku tidak bisa mengecewakan Mama. Biarkan Mama saat ini berprasangka seperti itu. Aku hanya berharap Mama tak pernah mengetahui perlakuan Abs yang sebenarnya padaku.
Aku pergi ke kampus bersama Abs. Aku menekuk wajahku sepanjang perjalanan. Aku masih kesal dan marah pada Abs. Aku benci pada pria yang kusebut kakak. Setibanya di halaman parkir kampus kami, aku segera keluar dari mobil Abs dan berlari kecil menghindar dari Abs. Aku bergegas masuk ke kelasku dan tak ingin keluar lagi. Bahkan, ketika Talita dan Andra mengajakku ke kantin setelah jam kuliahku selesai, aku menolak. Aku tak ingin melihat wajah Abs.
“Babe, look who’s standing in front of the door.” Talita berbisik padaku di menit-menit terakhir Pak Hartawan menjelaskan materi mata kuliahnya tentang Ekonomi Makro.
Aku menoleh ke arah pintu. s**t! Abs sudah berdiri di sana. Tatapannya tepat tertuju padaku. Mau apa Abs di sana? Konsentrasiku hilang seketika. Makhluk menyebalkan itu! Mau apa lagi dia?
Beberapa saat kemudian, kelas pun berakhir. Satu per satu mahasiswa meninggalkan ruangan. Aku sengaja berlama-lama di dalam kelas bersama Talita. Aku berharap Abs sudah menghilang saat aku keluar nanti, tapi ternyata aku salah. Abs masih mematung di depan kelasku.
“Ayo, ah, kita pulang. Udah bubar semua. Tuh, kakak gantengmu sudah menunggu.” Talita menarik tanganku.
Aku tak punya alasan lagi mengelak.
“Halo, Kakak Abs.” Dengan genitnya Talita menyapa Abs.
Abs hanya menyunggingkan senyum tanpa membalas sapaan Talita. Kemudian, Abs memegang pergelangan tanganku saat aku lewat tepat di hadapannya.
“Ayo, pulang!” kata Abs pelan.
“Aku nggak mau pulang bareng Kakak!”
Abs menarik paksa tanganku hingga mau tidak mau aku harus mengikutinya. Aku tidak suka Abs menyeretku.
“Kakak, aku nggak mau!” Aku menaikkan nada bicaraku. Aku tahu orang-orang di sekelilingku pasti mendengarku. Aku tak peduli. Aku benci selalu diperlakukan seperti ini. Aku bukan budaknya.
“Lepaskan! Aku nggak mau pulang bersama Kakak!”