8. Merindumu

1789 Kata
“Kakak sudah tidak waras! Aku nggak mau pulang bareng Kakak!” Aku terus berteriak. “Diam kamu!” bentak Abs. Abs terus menarik tanganku dan tak memedulikan banyak pasang mata yang memandang perlakuan kasarnya padaku hingga ke tempat parkir. Dengan sekali dorong, Abs berhasil memaksaku duduk di dalam mobilnya. Aku masih menangis saat Abs menginjak pedal gas, tetapi tetesan air mataku tidak mengusik sisi iba Abs sama sekali. Ia justru mengunci pintu mobil dan tak memedulikan teriakanku. “Kakak, buka pintunya!” Aku memukul-mukul kaca jendela. “Jika kamu tidak berhenti berteriak seperti anak kecil, aku bersumpah akan membuat kita berakhir di pemakaman.” Ancaman Abs membuatku otomatis diam. Aku tidak mau mati hanya gara-gara membencinya. Abs tidak berhak mendapatkan apa yang ia mau. Abs terus melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Entah apa yang ada di pikirannya, ia dengan sengaja melecehkanku dan sekarang bersikap posesif padaku. Ia bahkan tak meminta maaf atas tindakannya semalam padaku. Abs benar-benar manusia batu. Sudah tiga hari Abs memperlakukanku layaknya seorang tawanan dan sudah tiga hari pula aku tak bertemu Mario. Aku tak bisa menyelesaikan kesepakatan bodohku dengan si bule gila itu. Aku memeluk bantal. Terselip sedikit kerinduan pada Mario. Aku merindukan rasa nyaman ketika berada di dekatnya. Tanpa ada rasa takut dan paksaan ketika aku harus dekat dan bicara dengannya. Ya, aku merindukan bocah tua nakal itu. Malam ini ingin sekali aku menghubunginya. Bodohnya, meski sudah berulang kali bertemu dengannya, aku selalu lupa meminta nomor ponselnya. Tapi, ya sudahlah. Selama tiga hari terakhir ini juga si gila itu tidak berusaha mencariku. Apalah arti seorang Carissa Aleysia Pratama untuk seorang Mario Grissham. Pria matang yang punya segalanya, sementara aku hanya anak seorang selir yang tidak pernah mendapatkan tempat di kerajaan sendiri. Air mataku bergulir membasahi bantal. Terkadang, aku berpikir bahwa hidup ini sudah terlalu mengecewakan. Kenapa aku harus lahir dari rahim seorang istri kedua? Kenapa aku harus selalu diperlakukan tidak adil? Kenapa aku harus dibenci? Apa salahku? Suara ketukan di pintu kamarku terdengar jelas sekali. Aku buru-buru menghapus air mataku dengan punggung tangan. Aku bergegas menuju pintu. Aku khawatir Mama yang mengetuk pintu kamarku di tengah malam begini. Aku membuka pintu kamarku. Abs berdiri di hadapanku dengan wajah penuh memar dan di beberapa bagian ada luka robek. Abs memelukku dan membuatku terpangah. “Kakak kenapa? Apa yang terjadi?” Meski aku membenci Abs, tapi aku tidak tega melihat kondisinya yang seperti ini. Abs tak mengatakan apa pun sampai aku memapahnya duduk di atas ranjang. “Sebentar, Rissa ambil kotak P3K dulu.” Aku mengambil kotak kecil berisi obat dan peralatan medis darurat di atas nakas di pojok kamarku. Aku mengobati luka di wajah Abs sebisaku dengan hati-hati. Luka robek di pelipisnya harus segera ditutup dengan menempelkan plester khusus luka di sana. Jemariku masih menekan ujung plester ketika tiba-tiba tangan Abs menyentuh lalu meraih tanganku dengan lembut, tidak seperti biasanya. “Terima kasih. Maaf, aku sudah menyakitimu,” ucap Abs pelan. Aku diam tidak tahu bagaimana harus merespons ucapan Abs. Aku pun tidak berusaha melepas tangan Abs yang memegang erat tanganku. Aku selalu merasa ketakutan saat Abs menyentuhku. Perasaan takut itu pun tak bisa kusembunyikan. Tubuhku selalu gemetar setiap kali itu terjadi. Namun, akhirnya aku melepaskan tanganku dari pegangan Abs. “Kakak, sebaiknya, Kakak kembali ke kamar.” Abs kembali meraih tanganku. “Jangan menemuinya lagi.” Aku mengangkat kedua alisku, tidak tahu apa yang dibicarakan Abs. “Menemui siapa?” “Mario Grissham.” Aku membulatkan mata. Aku tak percaya apa yang baru saja kudengar. “Kakak, aku—” Belum selesai aku berbicara, aku mendengar derit pintu kamar terbuka. Saat ku menoleh, aku melihat Mama Lastri menerobos masuk ke kamarku dengan tergesa-gesa. “Ya Tuhan! Apa yang terjadi, Abs? Kenapa wajahmu ini, Nak?” tanya Mama Lastri dengan nada panik. “Rissa, Abs kenapa? Pasti gara-gara kamu, ya, Abs jadi begini? Makanya, jangan suka keluyuran nggak jelas!” “Bukan, Mama Lastri. Rissa nggak—” “Alah, diam kamu! Alasan saja!” potong Mama Lastri dengan nada geram. “Mama, sudah!” Bentakan Abs menghentikan tuduhan Mama Lastri padaku. “Mama nggak lihat Carissa memakai baju tidur? Aku yang membangunkan Carissa untuk mengobati lukaku!” Aku terperangah tidak percaya. Antara haru dan bahagia, seluruh perasaan itu kini membanjiri hatiku. Ini pertama kalinya, Abs membelaku di depan mamanya. Memutar kembali kejadian beberapa hari terakhir, mungkin Abs membelaku bukan karena dia ingin, tapi karena dia merasa bersalah padaku. Dia ingin membayar rasa bersalahnya padaku dengan membelaku di depan mamanya. Kilat mata Abs tak lepas dariku saat Mama Lastri membimbingnya berjalan keluar dari kamarku beberapa saat kemudian. Pagi ini, Abs memaksa mengantarku ke kampus. Syukurlah, Mama Lastri tidak memperbolehkan anaknya keluar rumah dengan keadaan seperti itu, wajah babak belur. Aku pun tak ingin Abs mengantarku. Thanks to Papa yang akhirnya bersikeras melarang Abs mengantarku. Aku merasakan tatapan mengancam Abs yang mengisyaratkan agar aku tak lagi menemui Mario. Meskipun tidak dikatakan secara eksplisit, tetapi Abs berhasil memberikan kode keras padaku dengan pancaran matanya yang berkilat tajam. Beruntung, hari ini aku terbebas dari Abs. Aku berniat menemui Mario kembali untuk menyelesaikan kesepakatan kami sepulang kuliah. Sambil menyusun rencana, aku menghabiskan waktu istirahatku bersama Talita di kantin kampus. “Babe, tumben nggak diantar kakgan lagi?” Talita meneguk minumanku. “Yeah, nanya, sih, nanya, tapi minuman gue jangan ditenggak juga, dong!” Aku menyambar gelas minumanku dari tangan Talita sambil mengerucutkan bibir. “Kakak lagi sakit.” “Sakit apaan?” “Kepo lo, ah.” “Harus dong. Siapa tahu bisa gue tengokin.” “Nggak bisa. Kakak kena penyakit menular. Cacar monyet.” Wajah Talita langsung bertransformasi. Alisnya menyatu dan matanya melotot. “Serius lo?” Aku tertawa pelan lalu memberi jawaban bohong. Aku tidak mau semua orang tahu kondisi Abs yang sebenarnya. “Duarius. Bercanda gue. Kakak cuma lagi pusing sama demam saja.” “Oh, syukurlah kalau begitu.” Suara tawa beberapa mahasiswa yang memasuki kantin menyapa telinga dan otomatis membuatku memalingkan pandangan ke arah mereka. Netraku menangkap sosok Andra yang berjalan menuju mejaku. “Kak Andra!” panggilku. Andra melambaikan tangan lalu menghampiriku. “Ada apa, cantikku?” “Kak, bisa bicara sebentar?” Aku berdiri. “Bisa. Perjam cepek ya,” gurau Andra membuatku sontak mengerucutkan bibir membentuk pose duckface. “Nggak usah marah gitu dong. Nanti cantiknya hilang,” lanjut Andra, “Kita bicara di sana saja ya.” Andra menunjuk kursi kosong di samping jendela. Aku mengangguk setuju kemudian kualihkan pandangan ke arah Talita meminta pengertiannya. “Lita, sebentar, ya.” “Iyes, Bestie!” ucap Talita sambil tersenyum. Aku dan Andra duduk di kursi yang ditunjuk Andra. Aku tidak sabar ingin segera mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalaku sejak semalam. “Kak, apa Kakak tahu semalam Kak Abs berantem sama siapa?” “Semalam, Abs seperti orang kesetanan, Riss. Semabuk apa pun Abs, dia nggak pernah seperti itu. Saat di kelab, kami bertemu orang yang bernama Mario. Kata Abs, dia rival papa kalian. Kamu tahu Abs. Dia paling nggak bisa menahan emosinya.” “Jadi, semalam Kakak berkelahi dengan Mario?” “Kenapa emangnya, Riss?” “Nggak, Kak. Nggak kenapa-kenapa. Kak Abs nggak mau cerita ke Papa kalau habis berantem sama Mario. Thanks ya, kak, informasinya.” Siang ini, aku membuat alasan pada Papa agar tak meminta Pak Asan menjemputku pulang karena aku akan menemui Mario. Aku memesan taksi online. Dalam hitungan menit, taksi yang kupesan pun datang. But, wait! Apakah benar yang kulihat di hadapanku ini taksi online? Memang ada, ya, taksi online yang menggunakan Porshce? Auw! Mungkin aku salah. Mobil ini bukan taksi yang kupesan. Aku mengurungkan niatku untuk masuk ke mobil mewah di depanku ini. Aku tetap berdiri mematung menunggu taksi yang kupesan. Mobil mewah berwarna merah yang berada tak jauh dariku mundur dan berhenti tepat di hadapanku. Sang pengemudi menurunkan kaca jendelanya dan memintaku masuk. Sekilas, aku hanya melihat seorang pria berambut cokelat terang mengenakan blazer abu-abu. “Masuk!” pinta pria itu. Suaranya seperti tidak asing bagiku. Sh*t! Aku baru sadar bahwa pria pemilik mobil mewah di hadapanku ini adalah Mario. Aku masuk ke mobilnya dan dengan segera membatalkan taksi online yang kupesan. “Aku pikir kamu penjahat,” kataku pada Mario sesaat setelah duduk di jok penumpang di sebelah Mario. “Memang ada ya penjahat ganteng kayak aku?” Mario masih menatap jalanan yang sedikit padat. “Ih, Pede banget, sih. Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?” “Kamu maunya ke mana?” “Terserah.” “Kalau ke hotel bagaimana?” “Apa? Nggak mau! Ngapain kita ke hotel? Kamu pikir aku gadis macam apa?” “Kamu gadis berusia 20 tahun 8 bulan yang belum pernah pacaran dan ciuman pertamamu denganku,” jelas Mario membuatku meradang. Aku meninju lengan Mario pelan. “Dasar menyebalkan!” “Kita ke hotel.” Mario membelokkan arah laju mobilnya masuk ke sebuah hotel berbintang. “Mario! Mau ngapain kita ke sini?” Aku mulai geram dan sedikit takut. Mau apa si bule gila ini mengajakku ke hotel? “Ssstt! Diam ya, anak kecil. Jangan berisik! Ayo keluar!” Aku penasaran apa yang akan dilakukan bule gila ini. Setelah aku keluar dari mobilnya, Mario menggandeng tanganku memasuki lobi hotel. Banyak pasang mata memperhatikan kami. Mungkin mereka pikir aku gadis ABG yang sedang kencan dengan g***n. “Good day, Mr. Mario!” sapa resepsionis hotel ramah. “Good day!” Sepertinya, Mario sering datang ke hotel ini. Terbukti hampir semua pegawai hotel ini mengenalnya dan melayangkan tatapan serta senyuman super ramah. Eh, tapi kan semua karyawan hotel wajib bersikap ramah pada semua tamu. Entahlah, aku pusing memikirkannya. Mario mengaitkan jemarinya ke jemariku seakan aku anak kecil yang perlu pengawasan ekstra dan bisa tersesat di tempat ini. Ia membawaku ke lantai teratas hotel. Setahuku, kamar di lantai teratas sebuah hotel adalah penthouse. Kamar termewah untuk pemilik atau orang yang dianggap penting oleh pihak hotel. Apakah Mario pemilik hotel ini? “Silakan masuk, Nona!” Mario mempersilakan aku masuk. Aku menuruti perintah Mario dan masuk ke kamar itu. Belum sempat mataku menikmati keindahan suasana di dalam kamar, Mario menarik tanganku dan membawaku ke pelukannya. Aku mengembus napas lega dalam dekapan hangat Mario. Rasanya nyaman sekali berada di sini, dalam dekapannya. “I miss you,” bisiknya. Aku pun sangat merindukannya, tapi aku tidak mau terlihat begitu murahan di hadapan Mario. Aku menyuarakan embusan napasku berlagak kesal. “Huh! Kita mau apa di sini?” “Kamu pikir mau apa seorang pria dan perempuan ada di kamar yang sama?” Aku melepaskan diriku dari dekapan Mario. “Dasar omes!” Mario kembali menarik lembut tanganku, lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggangku. “Mario, awas ya jangan macam-macam!” ancamku sambil meronta manja. “Cuma satu macam, kok. Aku mau kamu.” Mario mencecap bibirku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN