“Abs, jangan!” Aku membuka mataku lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Syukurlah hanya mimpi.
“Akhirnya, kamu bangun juga. Aku pikir kamu mau tidur di sini sampai pagi.” Mario mendekat dan duduk di sampingku.
Aku menangkup wajahku dan menunduk cukup lama. Sial! Kenapa bayangan Abs selalu muncul? Bahkan, dalam mimpiku pun dia selalu hadir. Pria b******k itu mulai mengacaukan hidupku.
“Siapa Abs?” Mario berpindah duduk ke meja jati dan posisinya sekarang berhadapan denganku. Aku merasakan lututnya yang menyentuh lututku. Kenapa sih harus dekat-dekat begini? Sebal.
“Apa?” Aku mendongak kemudian.
“Abs. Siapa dia?” tanyanya menyelidik.
“Abs … Abs kakakku.”
“Kamu sepertinya ketakutan sekali saat menyebut namanya dalam tidurmu tadi.”
Aku memutar otak mencari alasan yang masuk akal. “Dia galak. Aku kemarin merusak tugas kuliahnya dan dia marah besar."
“Aku pikir dia pacarmu.”
“Ngarang! Mana minumanku? Aku haus.” Aku berusaha keras mengalihkan arah pembicaraan kami.
Mario tersenyum sok manis sambil menyodorkan segelas minuman. “Ini, Cantik.”
“Dingin. Aku mau yang hangat,” kataku setelah meneguk minuman dari gelas kristal itu.
“Kamu mau yang hangat? Sini, peluk.” Mario merentangkan kedua tangannya.
“Ih, dasar bocah tua nakal!” Aku menekan telapak tanganku ke dadanya agar menjauh.
“Kamu bilang minta yang hangat.”
“Sana, ah! Jangan dekat-dekat.” Aku kembali mendorong menjauh d**a bidang pria itu.
“Tidak mau. Aku mau di sini melihatmu. Melihat wajah bangun tidurmu.” Mario bergeming.
“Jam berapa ini?” Aku melirik arlojiku. “Apa? Jam 11? Ya Tuhan. Aku harus cepat pulang.”
Aku mulai panik. Oma pasti murka melihatku baru pulang hampir tengah malam. Nasib! Kenapa harus selalu sial seperti ini, sih? Pakai acara ketiduran pula di sini.
“Aku harus pulang.”
Aku berdiri dengan cepat, tapi Mario menarik tanganku hingga keseimbangan tubuhku goyah. Aku terjatuh dengan kedua tangan bertumpu pada pundak Mario.
“Auw!” pekikku tertahan.
Kening dan hidung kami beradu cukup kuat. Sakit sekali. Air mataku mulai menuruni pipiku. Aku mencoba mengatur napas sambil menahan rasa sakit. Kami berdua sama-sama memegang hidung kami. Aku yakin Mario pun pasti merasakan hal yang sama denganku.
“Sakit.” Aku terisak.
“Aku juga.”
“Makanya, jangan kasar. Sakit tahu!” Aku sedikit membentak Mario.
“Maaf. Tidak akan terulang lagi. Promise!” Mario mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf "V". “Sudah, jangan nangis lagi. Cantik kamu hilang kalau nangis.” Mario menyeka air mataku dengan jemarinya.
“Ayo, aku antar pulang!”
“Bagaimana dengan yang pertama? Mmm, maksudku ….”
Belum sempat aku merampungkan ucapanku, Mario melumat bibirku. Mario terus menekan tengkukku sampai aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku berusaha menikmati sentuhan Mario, tapi hatiku tidak tenang. Ini sudah jam 11 lebih dan aku masih di sini. Bagaimana reaksi orang-orang di rumah nanti ketika aku pulang?
“Yang pertama sudah selesai. Ayo, aku akan mengantarmu pulang!” Mario meraih tanganku dan menarikku pelan, membantuku berdiri.
Aku melihat beberapa orang security berbisik-bisik saat aku keluar gedung bersama Mario. Kurasa, aku tak perlu peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Saat ini, aku ingin pulang dan tidur di ranjang empukku.
Pagi harinya ketika semua berkumpul di ruang makan untuk sarapan.
“Jam berapa kamu pulang semalam, Rissa?” Oma mulai menginterogasiku saat kami sarapan pagi ini. Raut wajahnya yang mirip Cruella de Vil dari film Dalmatian versi pertama membuatku sedikit merinding.
“Jam … mmm … jam 12, Oma.” Aku menunduk menghindari tatapan galaknya.
Hampir tak berjeda, Oma meracau seperti biasa. Omelannya terhadap Mama menusuk gendang telingaku. “Ranti, kamu didik anakmu ini dengan benar. Baru masuk kuliah saja pulangnya tengah malam terus. Tidak pantas anak perempuan pulang tengah malam terus-terusan.”
Aku mengangkat wajah dan pandangku bertemu dengan pandangan Mama yang mungkin sedari tadi menatapku. “Iya, Bu. Saya akan beri tahu Rissa.”
“Hei, Rissa, inget kamu itu anak Tjandra Pratama. Jangan sampai gara-gara kamu, nama keluarga ini jadi tercoreng,” kata Mama Lastri dengan intonasi sinis.
“Sudahlah, Lastri. Rissa, kan, pulang larut karena mengerjakan tugas bersama teman-temannya, bukan ke kelab malam atau nongkrong di kafe dan mabuk-mabukan,” sela Papa membelaku.
Ucapan Papa menampar langsung Mama Lastri. Abs memang sudah beberapa kali ketahuan pulang dalam keadaan mabuk berat, tapi karena dia cucu kesayangan Oma, tak ada yang berani berkomentar jelek pada putra mahkota penerus kerajaan bisnis keluarga Pratama itu.
Aku pun tak ikut berbicara sepatah kata pun. Aku malas membuat keributan. Aku memilih meneruskan makan. Syukurlah, pagi ini aku tak melihat Abs di ruang makan. Lega rasanya tak melihat makhluk itu di hadapanku. Hidupku semakin terasa normal tanpa harus menahan kesal dan marah setiap saat.
***
Hari berganti dengan cepat. Malam ini adalah malam kesebelas sejak pertama kali aku bertemu Mario. Aku sudah melakukan setengah kesepakatan bodohku dengan Mario. Aku sudah berciuman dengannya sebelas kali. Entahlah, berciuman dengan pria berusia sekitar tiga puluhan itu membuatku merasa aneh. Aku merasa sedang diajari dan dibimbing layaknya anak TK yang sedang les calistung. Namun, aku juga tak bisa mengingkari bahwa aku merasa nyaman ketika berada dekat dengannya.
Seperti biasa, Mario mengantarku pulang. Meski usia pria itu sudah matang, Mario selalu menjagaku dalam batasan kesepakatan kami. Kami hanya berciuman dan dia tak pernah menginginkan lebih.
Aku berjalan berjinjit dengan menenteng sepatuku di tangan kananku. Aku mengendap–endap dalam keremangan cahaya ruang belakang yang biasa disebut para pelayan rumah ini dengan sebutan dapur santai karena tak ada aktivitas memasak di dapur santai ini. Semua aktivitas memasak dilakukan di dapur utama.
“Sudah selesai kencannya?”
Godamnit! Suara berat Abs membuat jantungku hampir copot. Walau aku tak bisa melihat Abs karena minimnya cahaya di ruangan ini, tapi aku bisa mengenal, bahkan sangat mengenal pemilik suara itu.
Abs menyalakan kembali lampu ruangan hingga aku bisa menatap wajahnya. Dia duduk di sudut ruangan dengan sebotol vodka di tangannya. Sepertinya, Abs mabuk lagi.
“Kakak, sedang apa di situ? Kakak sukses membuatku hampir mati terkejut!” kataku sinis.
“Kenapa tidak mati saja sekalian? Aku rasa itu lebih baik untukmu daripada harus berkencan dengan pria tua dan membuat malu keluarga,” balas Abs sinis sembari menatapku tajam.
Abs sepertinya kesal sekali melihatku. Jujur, aku sedikit takut melihat tatapan Abs yang seperti itu.
“Kenapa Kakak bilang begitu? Aku tidak berbuat aneh-aneh yang membuat keluarga kita akan kehilangan nama baik.”
Aku menggigit bibir bawahku. Aku merasa seperti sedang diadili atas sebuah kejahatan yang tidak kulakukan. Apakah sebuah kesalahan berkompromi dan membuat kesepakatan dengan Mario? Kesalaha apa yang sudah kulakukan yang akan mencemarkan nama keluarga ini?
“Setiap hari pulang malam dan berkencan dengan rival papamu sendiri, kamu bilang nggak aneh?” Abs beranjak dan mendekat padaku.
“Rival Papa?” Aku terkejut. Dari mana dia tahu soal aku dan Mario?
“Mario Grissham. Sungguh memalukan!” Abs melintas di hadapanku.
“Apa bedanya sama Kakak? Apa yang aku perbuat selalu memalukan untuk keluarga ini. Kakak sendiri hampir setiap malam bersenang-senang dengan teman-teman Kakak dan gadis-gadis kelab malam itu, lalu pulang dalam keadaan mabuk seperti ini. Apa ini bukan hal yang memalukan?” Nada bicaraku mulai naik. Aku tak peduli ada asisten rumah tangga yang akan mendengar karena letak ruangan ini dekat dengan kamar-kamar mereka.
Abs menghentikan langkahnya dan berbalik mendekat padaku. “Tentu berbeda. Sangat berbeda.”
Tubuhku mulai gemetar karena reaksi Abs yang terpindai netraku, ia tampak sangat marah padaku. Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Apa pun yang aku lakukan, semua orang masih akan menghormatiku. Aku putra keluarga Pratama yang sah, sedangkan kamu hanya anak seorang simpanan. Atau jangan-jangan kamu bukan anak Papa?” Abs menyunggingkan senyum sinisnya.
Ucapan Abs sungguh membuat hatiku sakit. Dia selalu merendahkanku seperti itu. Aku tak bisa menahan air mata yang mulai menggenangi selaput mataku. Selama ini, aku mencoba bertahan dengan semua siksa verbal yang aku terima darinya. Namun, kali ini, kesabaranku sudah habis. Aku tak ingin membalas semua ucapan Abs. Saat ini, aku bahkan tak mampu berbicara karena air mataku pasti sudah mengalir deras.
Aku berjalan cepat meninggalkan Abs yang masih berdiri mematung. Sedetik kemudian, Abs menyusulku dan meraih tanganku. Abs mencengkeram lenganku, lalu mendorong tubuhku ke dinding.
“Lepaskan!” Aku meronta. Benar saja, hanya dengan satu kata itu air mataku langsung berderai.
“Tidak akan!” bisiknya. “Kamu harus dihukum karena sudah melukai hatiku.”
“Kakak, lepas!” Aku memohon padanya.
Aku mulai membenci Abs. Abs memang b******k. Dia tak peduli padaku bahwa aku adiknya. Mungkin karena memang dia tak pernah menganggapku sebagai adik. Dia dengan sengaja melecehkanku seperti ini.