Tanpa pikir panjang aku segera mengunci kamarku. Kekhawatiran Abs akan mengikuti membuat seluruh tubuhku gemetaran. Aku tak pernah menduga akan dilecehkan Abs. Kali ini, Abs sangat keterlaluan padaku. Tidak masalah selama ini dia memendam kebencian, tapi mencoba melecehkanku adalah perbuatan yang tak akan kumaafkan seumur hidup.
Aku bersandar ke kepala ranjang sambil memeluk lututku erat. Aku menahan tangisku dengan menggigit ujung selimut yang menutup sampai ke pundakku. Derai air mata tak bisa membohongi rasa sakit hati yang mendera lantaran perlakuan Abs tadi. Ya Tuhan, sampai kapan aku akan diperlakukan seenaknya oleh Abs?
Usahaku untuk menghentikan air mata yang terlanjur membasahi pipi tidak berhasil. Semakin kuat keinginanku untuk berhenti menangis, semakin deras kurasakan aliran air bening itu menerobos keluar dari mataku. Semalaman aku hanya meratapi nasib malangku.
Dengan mata sembap, aku melangkah keluar dari kamarku pagi ini. Aku berharap tidak bertemu dengan Abs. Aku pernah sangat mengagumi Abs walaupun selama aku mengaguminya, dia tak pernah sekali pun menyukaiku sebagai saudaranya. Namun, sekarang kekaguman itu sirna begitu saja setelah kejadian semalam. Rasa kagum dan bangga mempunyai kakak seorang Abraham tak lagi membuatku membusungkan d**a. Perbuatan Abs semalam sungguh menjijikkan dan hina. Aku benci Abs.
“Rissa, sini, Sayang. Ayo, sarapan dulu.”
Suara Papa menghentikan langkahku. Aku tidak punya kekuatan menatap orang-orang di ruang makan ini karena aku tahu Abs berada di sini. Aku memikirkan alasan yang akhirnya kulontarkan untuk mencegah diriku duduk di ruangan ini.
“Rissa sudah telat, Pa. Rissa minta diantar Pak Asan duluan boleh kan, Pa?”
“Abs, kamu antar adikmu dulu. Kamu, kan, hari ini kuliah siang.”
Perintah Papa sontak mengejutkanku. Aku bahkan tidak mau melihat wajah Abs lagi.
“Apa? Pa, Rissa sama Pak Asan saja.” Aku memaksa.
“Kamu sama kakakmu saja,” tegas Papa sebelum ia mengalihkan pandangannya pada Abs. “Abs, kamu mau kan mengantar Rissa?”
Aku melirik ke arah Abs. Dari raut wajahnya yang seperti biasa, datar tanpa senyuman, Abs sepertinya tidak mau mengantarkanku, tapi perintah Papa tidak bisa dibantah.
Abs mengambil kunci mobilnya, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruang makan tanpa sepatah kata pun. Setelah berpamitan pada semua orang yang ada di ruang makan, aku pun keluar mengikuti langkah Abs.
Bagai dua orang asing, seperti biasanya, aku dan Abs hanya saling membisu selama berada dalam perjalanan ke kampus. Bedanya kali ini, aku membisu karena menekan rasa marahku pada Abs, bukan lagi takut dibentak Abs sebagai adik kecilnya. Perjalanan beberapa belas menit ini sangat menyiksaku. Bersyukur, saat kurasa aku tidak sanggup lagi menahan amarah yang berdentam di dalam d**a dan kepalaku, mobil yang membawa kami berbelok ke arah area parkir kampus.
“Maaf untuk semalam.” Ucapan Abs memecah kesunyian di antara kami ketika mobil berhenti berjalan.
Aku tak ingin menanggapi atau melihat wajah Abs. Aku langsung keluar dari mobil dan membanting pintunya sekuat tenaga. Masa bodoh jika yang kulakukan akan merusak pintu mobil mahal Abs. Aku tidak peduli.
***
Aku sengaja mencari alasan lagi agar Papa tidak menjemput dan aku bisa pulang terlambat setelah jam kuliahku selesai. Aku ada janji ketemuan dengan Mario, si bule gila itu. Meskipun pikiranku sedang tidak fokus dan sedikit lelah karena kurang tidur, tetapi aku tetap harus bertemu dengannya. Aku tidak bisa membiarkan Papa menderita lebih lama lagi. Oma akan terus menekannya. Aku tidak tega melihat Papa diperlakukan seperti itu.
Dengan menumpang taksi akhirnya aku tiba di gedung perusahaan si bule gila itu. Awalnya, aku ketakutan untuk masuk. Mengingat kejadian kemarin malam, aku sedikit gugup saat melewati satpam yang berjaga di pintu.
“Mbak! Mbak!”
Salah satu satpam memanggilku setelah aku melewatinya. Kenapa bukan dari tadi sih memanggilku? Kenapa harus di tengah-tengah lobi seperti ini? Sial banget sih aku. Pasti Pak Satpam itu mau mengusirku dari sini.
Aku menunduk dan berusaha mengabaikan beberapa pasang mata yang menatapku. Aku memutar tubuhku menghadap Pak Satpam yang berjalan ke arahku. Segenap kekuatan sudah kukumpulkan untuk menghadapi pengusiranku nanti.
“Mbak, maaf. Nama Mbak siapa?” tanya Pak Satpam.
Ya ampun, ngapain nanya-nanya nama? Kujawab atau nggak, ya? Huft, ribet amat sih cuma mau ciuman sama bos di sini. Ups, hanya karena syarat saja.
“Sa-saya Carissa. Carissa Pratama.” Akhirnya aku menyebutkan namaku.
“Oh, kalau begitu ikut saya, Mbak.”
Ikut? Ikut ke mana? Keluar? Ah, tidak mungkin Pak Satpam mengusirku. Nada bicaranya saja lembut, tidak seperti kemarin. Baiklah, aku menuruti ucapan Pak Satpam dan mengikuti langkahnya. Yes!!! Pak Satpam ini tidak mengusirku. Ia membawaku ke lantai di mana ruangan sang CEO berada. Ruangan si bule gila.
Eits, tunggu dulu! Kenapa yang keluar dari ruangannya bukan Mario? Di mana si bule gila itu?
“Mbak Carissa?” tanya wanita yang baru saja muncul dari ruangan Mario itu.
Aku mengangguk.
Wanita bersetelan blazer ungu itu tersenyum manis padaku. “Pak Mario sudah menunggu, Mbak. Saya Icha, asisten Pak Mario. Kalau Mbak Carissa butuh apa-apa, hubungi saya saja. Tinggal tekan angka tiga dari telepon di ruangan Pak Mario.”
Aku heran. Kenapa tingkah orang-orang yang kemarin bersikap kasar padaku mendadak bersikap manis hari ini? Pasti ada yang salah dengan otak mereka.
Aku masuk ke ruangan Mario. Aku melihatnya duduk di balik meja kerja. Sadar aku tidak seseksi dan secantik wanita tadi, aku hanya bisa diam saat pandangan Mario menelanjangiku dari atas ke bawah.
“Kamu sudah datang? Aku pikir kamu menyerah?”.
Aku mengerucutkan bibirku lalu melontarkan jawaban sinis. “Tidak akan.”
“Ya, lagi pula gadis mana yang tidak mau berciuman denganku?”
Aku menarik sebelah ujung bibirku. Mario mulai menyombongkan diri. Percaya diri sekali pria ini.
“Aku! Aku tidak mau beciuman denganmu kalau saja kamu tidak memaksaku dengan kesepakatan bodohmu itu!” Emosiku mulai terpancing.
“Benarkah?” Mario bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Mario menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Jantungku kembali berdetak cepat dan suaranya mulai memenuhi telingaku. Semoga saja pria di hadapanku ini tidak mendengar dentaman di dadaku yang menggebu.
“Tapi, kamu menikmatinya, ‘kan?” lanjut Mario.
Pertanyaan Mario membuatku seperti gadis-gadis yang ada di pikirannya. Terus terang aku menikmati sentuhan bibir lembut Mario di bibirku, tapi aku tidak mau terlihat se-bitchy itu. Aku berusaha mengelak dengan memalingkan pandangan ke arah lain.
“Apa kamu sudah mempelajari Philematology?”
“Apaan sih yang begituan harus dipelajari? Mending langsung praktik.” Ups! Aku keceplosan bicara. “Maksudku—“
“Jadi, kamu mau langsung praktik?” potong Mario. “Sini.” Mario mendekatkan wajahnya padaku. Iris birunya berhasil mengunci dan menghipnotis pandanganku untuk beberapa saat sebelum aku sadar bahwa ia pria m***m. Yang ada di pikirannya hanya tentang ciuman.
Otomatis aku menarik wajahku menjauh. “Ih, dasar bapak-bapak otak m***m!”
“Apa? Bapak?” Mario semakin mendekatkan wajahnya padaku.
“Kamu kan sudah tua. Masa mau aku panggil kakak? Huh, nggak banget.”
Deg! Mendadak, aku teringat Abs. Aku memejamkan mataku beberapa detik. Bayangan Abs melintas begitu saja. Tubuhku gemetaran mengingat kejadian semalam, lalu perlahan-lahan ingatanku mulai menghilang tergantikan warna hitam pekat. Gelap.
“Hei. Kamu kenapa?” Suara Mario terdengar samar di telingaku.
Aku berusaha semampuku untuk tetap sadar. Harus sadar sebelum si m***m ini bertindak macam-macam padaku. Kupaksakan mataku terbuka meskipun terasa berat.
“Aku haus,” tuturku asal.
“Oh, aku kira kamu mau pingsan tadi. Cuma haus saja drama banget.” Kudengar nada ledekan terlontar dari ucapan Mario.
Ia melepaskan tangannya dari wajahku, lalu berbalik dan berjalan menuju mejanya. Aku berusaha tetap berdiri tegak dan tidak terjatuh sambil mengamati gerak-geriknya. Mario menelepon dan mengatakan sesuatu pada seseorang. Aku tak begitu memperhatikan apa yang dibicarakannya. Jantungku masih berdetak kencang dan kepalaku rasanya seperti habis dihantam palu si Thor. Masih ada bayangan Abs berlalu-lalang di benakku dan sumpah, itu sangat menggangguku.
“Kamu duduk dulu saja. Sebentar lagi minumanmu datang.” Mario kembali bercengkerama dengan laptopnya.
Aku duduk dan bersandar ke punggung kursi yang sangat nyaman. Sejuknya udara yang diembuskan AC di ruang ini membuat mataku yang sangat lelah perlahan memejam.