4. Benci

1835 Kata
Aku tertegun mendengar pengakuan pria ini. Bukankah seharusnya pemilik perusahaan ini seorang pria tua berambut putih dan bertubuh gendut? Cowok ini sih pantasnya menjadi seorang model. Masa iya sih dia pemilik perusahaan ini? Sumpah, aku bingung dengan pertanyaan-pertanyaanku sendiri. “Apa kamu yakin kamu Mario? Jangan bercanda. Mario yang punya perusahaan ini pasti sudah tua. Mungkin usianya lebih tua dari papaku. Jangan mengarang indah kamu!” Aku menaikkan volume suaraku. “Kalau begitu, kamu salah gedung. Pemilik perusahaan dan gedung ini adalah aku. Jika bukan Mario, aku, yang kamu cari, kamu bisa segera keluar dari sini.” Sial, tatapan pria itu seperti mengusirku. Aku mengernyit. Aku masih tak percaya pria yang berdiri di hadapanku adalah Mario Grissham. Jauh sekali dari perkiraanku. Seketika, aku merasa menjadi penjahat yang menyusup ke gedung ini. Tatapan pria yang mengaku bernama Mario ini membuat jantungku berdetak cepat dengan tiba-tiba. “Kamu salah gedung, Nona. Pintu keluarnya ada di sebelah sana.” Pria itu menunjuk ke arah pintu. Sialan! dia benar-benar mengusirku. Namun, aku masih tetap meragukan pengakuannya tadi. “Apa aku harus memanggil satpam agar mereka bisa mengantarmu keluar?” tanya pria yang mengaku sebagai Mario itu dengan nada sinis. “Apa? Oh, tidak. Tidak perlu! Aku bisa keluar sendiri, Mr. Mario. Tapi, tunggu dulu! Kalau kamu memang Mario Grissham berarti kamu bekerja sama dengan papaku, Tjandra Pratama?” “Kamu anaknya si Tjandra?” Mario tersenyum mencemooh. Pria itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mencebik. Ih, menyebalkan juga sikapnya. “Iya. Kenapa memangnya kalau aku anaknya Tjandra Pratama? Ada yang salah?” “Hmm, Tjandra… Tjandra. Aku baru mengambil alih 45 persen sahammu saja, kamu sudah mengutus bocah ingusan untuk menerorku?” “Hei! Dengar, ya, Tuan, Mister, atau apalah sebutanmu. Aku ke sini bukan untuk menerormu. Aku ingin bernegosiasi denganmu.” “Negosiasi? Negosiasi macam apa yang bisa kamu tawarkan padaku, anak kecil?” “Everything! Aku mau kamu mengembalikan 20 persen saham perusahaan Papa.” Aku berusaha tegas di hadapan Mario. Dia sudah menyebutku anak ingusan dan anak kecil. Aku akan membuktikan bahwa aku bukan anak ingusan biasa. Kamu akan melihat bagaimana bocah ingusan ini meruntuhkan kesombonganmu. “Jadi, Tjandra sengaja mengutusmu agar aku mau mengembalikan saham yang diberikannya sebagai p********n utangnya?” Mario tersenyum masam. “Tidak! Bukan begitu. Jangan sangkut pautkan dengan Papa. Aku yang mau bernegosiasi denganmu.” “Memang kamu pikir bisa semudah itu mengembalikan semuanya? Bukan harga yang murah, Nona. Even for 20 percent. Apa yang akan kamu tawarkan padaku untuk 20 persen saham itu?” Mario berjalan mendekatiku. Kini jarak kami hanya beberapa sentimeter saja. Aku gugup sekali saat dia memandangku dari atas sampai ke bawah. Tatapannya bagai singa lapar yang ingin menerkamku. “Apa saja," tegasku secara spontan. "Apa saja asal kamu mengembalikan 20 persen saham Papa. Hanya 20 persen saja, tidak lebih,” lanjutku. Mario mengernyitkan dahinya. Dia sepertinya tidak percaya aku berkata sungguh-sungguh. Aku melakukan ini untuk Papa. Aku yakin semua yang kulakukan untuknya tidak akan pernah kusesali. “Really?” “I’m serious, Sir.” “Okay. Tunggu di sini.” Mario berjalan ke mejanya, lalu duduk dan menuliskan sesuatu di atas selembar kertas. Aku bertanya-tanya, apa isi tulisannya itu? Aku masih berdiri menunggunya karena Mario tidak mempersilakanku duduk. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa selembar kertas yang sudah dilengkapi dengan materai di bagian bawah kertas itu. “Ini.” Dia menyerahkan kertas itu padaku. Aku membacanya. Tulisan di atas kertas itu langsung menghantam dadaku. Goresan pena yang ditulis Mario seketika menutup aliran oksigen dari hidung ke paru-paruku. Napasku sesak dan lututku langsung lemas. “A-apa ini?” tanyaku terbata-bata. “Kamu ingin 20 persen saham papamu, ‘kan?” “Tapi, aku rasa tidak harus seperti ini juga kali.” “Kalau kamu tidak mau, ya sudah. Kamu boleh keluar dari ruanganku.” Uh, pria ini benar-benar membuatku naik darah. “Oke. Baiklah. Kapan aku harus mulai?” “Sekarang juga boleh.” Jantungku berdetak makin kencang. Tubuhku gemetar dan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Bagaimana aku harus mencium Mario? Pacaran saja belum pernah, apalagi berciuman. Mario keterlaluan. Kenapa dia memberikan persyaratan harus menciumnya sebanyak 20 kali? Satu kali ciuman untuk satu persen saham yang akan dikembalikannya. Dasar, bule gila! Namun, aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan membantu Papa. Aku tidak akan mundur hanya karena pria sinting itu menawariku penawaran gila. Aku mendekat padanya. Dengan berjinjit, aku mendekatkan bibirku ke pipinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, membuatku merasakan sensasi horor saat bibirku menyentuhnya. Merinding disko! “Sudah.” “Apanya?” Mario mengangkat kedua alisnya. “Menciummu.” Mario terkekeh. Suara tawanya sukses mengolok-olokku. “Hanya itu kemampuanmu? Sepertinya, kamu tidak tahu atau memang never been kissed?” lanjutnya mencemooh. “Yang tertulis di sini, kan, hanya mencium tidak ada jenis ciumannya.” jawabku dengan gugup. “Sini, aku ajari kamu cara berciuman yang baik dan benar.” Mario menarik pinggangku hingga dadaku merapat dengan d**a bidangnya. Mario menempelkan bibirnya di bibirku, lalu dengan lembut memagut dan mengulum, mengisap bibir bawahku dan memainkan lidahnya di mulutku. Pertukaran ludah yang diciptakannya membuat sensasi hororku pergi entah ke mana. Rasanya menjijikan tapi membuatku rileks. Apakah seperti ini rasa ciuman yang sebenarnya? Mario terus menekan tengkukku dengan sebelah tangannya hingga aku hampir mati sesak napas dalam bungkaman kenikmatan. Menyadari aku hampir tak bisa bernapas, Mario melepaskan bibir seksinya dari bibirku yang mulai membengkak. “Itu namanya ciuman.” Manik birunya menatapku. “Berarti sudah satu kali dan kamu harus mengembalikan satu persen saham Papa." Aku menegaskan dengan setegas-tegasnya hakku. “Masih nol. Tadi itu hanya contoh.” Mario berbalik dan berjalan ke mejanya. “Apa?!” Seenak jidatnya dia bilang ciuman tadi hanya contoh. “Sekarang pulanglah. Besok kamu mulai dengan yang pertama. Jangan lupa pelajari Philematology. Kalau tidak tahu tanya saja ke Google.” Mario berbicara tanpa menatap wajahku. “Menyebalkan!” Aku bergegas keluar dari ruangan Mario dan pulang dengan taksi. Rasanya cukup melelahkan hari ini. Namun, aku sedikit senang bisa bertemu dengan Mario dan membuat kesepakatan dengannya walaupun aku merasa sedikit mual saat dia memainkan lidahnya di dalam mulutku tadi. Beruntung, saat aku pulang, Papa sudah berada di rumah sehingga tidak banyak pertanyaan dari Oma. Setelah membersihkan diri, aku teringat ucapan si bule gila itu bahwa aku harus mempelajari Philematology. Aku membuka laptopku dan mulai mengetikkan Philematology di pencarian Google. Aku menemukan artikel tentang philematology dan membacanya. Damn! Si bule gila itu sudah sangat merendahkanku. Masa aku disuruhnya mempelajari cara berciuman? Ya, philematology itu ilmu yang mempelajari tentang ciuman. Awas kamu, Mario Grissham! Aku melempar tubuhku ke kasur. Berguling mengahadap dinding sambil memeluk guling. Aku kesal sekali pada si gila itu, tapi sentuhan bibirnya membuat dadaku berdentam hebat sampai menulikan telinga. Ciumannya masih terbayang dan terasa nyata di bibirku. Caranya membungkam mulutku hingga tak sekali pun aku melancarkan protes membuatku penasaran bagaimana rasa ciuman kami berikutnya. Huft! Aku mengembus napas perlahan. Lintasan peristiwa yang memicu desir aneh dalam diriku tadi terus membayangi. Ya Tuhan, bagaimana agar hatiku kembali tenang? Tidak terasa mataku mulai lelah. Aku melihat jam di layar ponselku sudah lewat tengah malam. Suara berisik terdengar dari luar kamarku beberapa saat kemudian. Jantungku mulai berdetak kencang dan tenggorokanku seperti tercekik. Aku merubah posisiku menjadi duduk bersandar ke punggung ranjang. Tidak lama, aku mendengar suara benda yang berat jatuh ke lantai. Aku takut, tapi aku penasaran. Akhirnya, aku memberanikan diri membuka pintu kamar. Aku mengintip sedikit dari daun pintu yang hanya sedikit kubuka. Aku melihat seseorang tertelungkup di lantai. Dengan tubuh gemetaran, aku memperhatikannya sekali lagi. Memastikan apa yang kulihat adalah manusia biasa dan bukan hantu. Oh God, ternyata dia Abs. Aku segera mendekat pada Abs. “Kak? Kakak.” Aku mengguncang pundak Abs. Sepertinya, Abs mabuk berat. Sengatan aroma alkohol tercium dari mulutnya. “Kakak, bangun.” Aku mengguncang pundak Abs sekali lagi. Aku tak mau Oma sampai tahu cucu tersayangnya pulang dalam keadaan mabuk berat seperti ini. Abs tetap tak beraksi. Ia membuatku hampir panik. “Mmm,” gumam Abs. “Kakak.” “Mmm.” Kelegaan mengaliri jiwaku saat Abs merespons panggilanku. Syukurlah, dia tak akan jadi bahan kemurkaan Oma. Semoga saja aku bisa menyelamatkannya dari semua itu sebelum ada yang melihat kakakku yang jahat ini benar-benar tak sadarkan diri. Aku membantu Abs berdiri, lalu meletakkan tangan Abs di pundakku dan memapahnya ke kamarnya. Selama tinggal di sini, aku tak pernah masuk ke kamar Abs. Suatu hal yang sangat dilarang. Aku membukakan pintu. Aku meneliti isi kamarnya yang luas. Ukurannya hampir dua kali dari luas kamarku. Kamar bernuansa hitam putih dengan kesan maskulin tampak sangat mencerminkan seorang Abraham Aleysio Pratama, hot and cool. Aku ragu saat akan melangkah masuk, tapi Abs tidak bisa berjalan sendiri. Berjalan dengan bersandar padaku saja masih sempoyongan, apalagi berjalan sendiri. Aku putuskan memapahnya sampai ke ranjang. Abs duduk di tepi ranjangnya sambil menangkup wajah dengan kedua tangan. Sementara, aku membantunya membuka sepatu. Meski selalu jahat padaku, Abs tetap saudaraku. Aku hanya mencoba peduli padanya. Aku kembali berdiri setelah melepas sepatu Abs dan berbalik hendak keluar dari kamarnya, tapi Abs menarik tanganku hingga aku terduduk di sebelahnya. “Auw!” Abs menatapku. Aku tak pernah berhadapan sedekat ini dengan Abs. Kali ini, aku bisa melihat dengan jelas manik cokelat yang menatapku tajam. Rahangnya yang tegas mengeras seakan menahan sesuatu untuk dikatakan. Semua itu membuatku merinding. “Kak, aku mau kembali ke kamarku. Kakak sebaiknya tidur biar nggak pusing.” Aku mencoba melepaskan pegangan erat Abs di pergelangan tanganku. “b******k kamu! Kamu pikir bisa seenaknya mempermainkanku?” Abs lalu mencengkeram kedua lenganku dengan erat hinga aku merasa kesakitan. “Kakak, aku Rissa. Kakak, lepaskan aku!” Sepertinya, Abs baru saja dikecewakan seorang gadis atau mungkin kekasihnya hingga dia menganggapku gadis itu. “Aku tahu kamu Rissa. Kamu pikir karena aku minum beberapa botol bir saja aku bisa mabuk parah? Aku tahu kamu anak p*****r itu!” Aku terperangah. Kenyataannya, Abs sadar betul dengan semua tingkahnya. Aku meronta dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Abs, lalu aku melayangkan tamparan ke wajahnya. Aku tak peduli dia kakakku. Yang jelas, dia sudah menghina Mama. “Dengar ya, Abraham! Mama bukan p*****r. Mama istri sah papamu dan Mama bukan perebut suami orang! Kalau mamamu, mungkin iya! Semua orang tahu bagaimana kisah mamamu ketika ingin dinikahi Papa. Dia yang pantas disebut p*****r!” Abs balas menamparku dengan sangat kuat. Rasanya aku mau pingsan. Kepalaku terasa sangat pusing dan pipiku terasa panas. Aku terhuyung dan hampir terjatuh saat Abs menarik tubuhku mendekat padanya, lalu melempar tubuhku ke ranjang. Abs menindih tubuhku dan mengunci gerakku dengan tangan dan kakinya. Abs menciumku dengan kasar. Aku meronta dan terus meronta, tapi Abs seperti ditulikan, dia terus mencecap dan menghisap bibirku. Sebelah tangan Abs berusaha menurunkan pakaian dalamku. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Aku diperlakukan seperti gadis murahan oleh kakakku sendiri. KAKAKKU! “Kakak, sudah! Aku mohon, Kak. Jangan lakukan ini padaku! Aku adikmu!” Abs sepertinya tersadar dengan seruanku. Dia merangkak turun dari tubuhku dan kembali duduk di tepi ranjang. Sementara, aku segera turun dari ranjang dan berlari keluar dari kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN