VII

2414 Kata
“Iman,” Afrak mendahului. Afrak menatap lagi. “Jawabannya Iman.” “Iman tidak dapat terlihat, tapi keberadaan dapat kita rasakan di dalam hati. Iman tidak memiliki bau, tapi keberadaannya sangat penting, membuat seorang teguh pada ajaran agamanya. Terdiri dari tiga rangkai, lisan yang artinya harus di ucapkan dengan mulut, harus di yakini dalam hati dan di amalakan dalam perbuatan. Ketiganya saling bergadengan, jika satu hilang, maka yang lain akan cacat. Begitulah iman,” kata Afrak. Atreya yang berada di belakang Afrak tersenyum sumringah. Jawaban mereka benar, terlihat dari bendera berwarna hijau berkibar ngantikan jam tadi. Selamat kalian berhasil ... Semua berjamaah bernafas lega, mengucap alhamdulillah bersama. Lalu langit mulai berubah warna, mereka kembali merasa dikocok seperti masuk ke dalam wadah air. Dan saat mereka membuka mata, mereka sudah ada di ruangan arena bissmilah game dengan telunjuk yang masih menyentuh air di wadah. Ting ...ting...ting Suara itu dari dalam wadah. Mereka spontan langsung menarik telunjuknya dan tiba-tiba keluar sesuatu dari dalam wadah itu, sinar ke atas, bak proyektor yang menampilkan sisa waktu yang mereka punya tadi yang berubah menjadi koin-koin emas, yang muncul keluar. “Kita harus bagi rata koin ini,” kata Atreya. Mereka sibuk memunguti koin emas itu. Ting ...ting...ting Suara itu lagi, mereka kembali memperhatikan layar proyektor dari wadah air itu. Ada kotak harta karun yang terkunci. Sentuh kotak harta karun untuk membukanya. Ingatlah hanya orang yang pantas yang bisa membukanya. Abidan refleks menyentuh kotak itu, namun muncul silang merah pertanda tidak bisa. Abimata, Abimayu dan Arlan mencoba namun mereka mendapat hasil yang sama. Saat Atreya hendak menyentuh, Afrak menyela. “Afwan, tapi kotak itu pasti bisa terbuka jika saya yang menyentuhnya karena saya yang sudah menjawab teka-teki itu. Jadi percuma saja kalo kamu menyentuhnya.” Meski kesal Atreya memilih mundur, membiarkan Afrak untuk maju. Afrak menyentuh kotak itu, yang muncul tanda silang, Afrak menyentuh kotak itu, satu kali, dua kali, Afrak mulai cemas, malu pada perkataannya sendiri. “Tuh, anak emas ternyata gak bisa juga,” cemooh Abidan yang di sambut tawa tertahan dari Abimata, sukses membuat Afrak malu bukan kepalang dan langsung mundur. “Tinggal kamu yang belum nyoba,” Abimayu menepuk pelan pundak Atreya. Atreya maju, ia teringat kalo tempat ini seperti pondok, segala sesuatu harus di awali dengan mengingat Allah SWT. “Bissmilah,” gumam Atreya sebelum menyentuh kotak itu. Dan ...kotak itu terbuka. Semua menatap takjub sinar yang keluar dari kotak itu. Dan sesuatu meluncur ke tangan Atreya. Sebuah liotin berbentuk hati. “Masyallah, bagus banget ....” Arlan berdecak kagum. Dan Atreya, karena kemurahan hati kamu membantu nenek penjual pisang, kamu berhak mendapat pedang platinum yang akan menemani kamu selama di permainan. Muncul pedang panjang mengantung di udara. Pedang itu sangat kemilau, ada batu-batu indah yang menempel di sarung pedang itu dan di gagang pedang terdapat lingkaran berbentuk hati. Atreya segera meraihnya. Dan meletakan liontin itu di tengah gagang pedang tadi. “Tuh pedang kayaknya emang dibuat khusus buat kamu, liontinnya juga pas di tari di tengah gagang pedang itu,” kata Abimayu, yang tentunya mendapat anggukan setuju dari yang lain, kecuali Afrak. “Pedang ini bisa kita gunakan buat melindungi diri, kalo misalnya ada sesuatu yang berbahaya,” kata Atreya. “Ya, Lo, entar jangan jauh-jauh dari gue, biar gue aman selalu,” tambah Abidan. Semua tertawa. “Lo udah kayak ketua aja, Rex,” ujar Abimata menepuk bangga pundak Atreya. “Iya cocok nih kalo jadi ketua tim,” timpal Arlan. Afrak diam membatin, ketua, hanya cocok untuknya yang selalu bertanggung jawab, bukan orang seperti Atreya yang selalu buat onar. “Ayo kita keluar dari ruangan ini, kita harus beristirahat buat besok,” ajak Abimayu. Mereka keluar. Dan pedang yang Atreya pegang tadi menghilang. “Jadi pedang itu hanya berlaku di arena permainan,” simpul Atreya. “Ya ...” “Udahlah, dari pada mikirin pedang, meding pikirin buat makan siang mau makan apa,” sela Abidan. “Kayaknya makan bakso enak kali ya, eh, batagor juga, cilok, cimol. Mau semuanya.” “Ingat gak boleh mubazir dan berlebihan,” tambah Atreya. Abidan terkekeh geli, “Rex, Lo ada di sini, mode ustadz banget deh. Kerasa wibawa banget, gue bawaanya berasa pengen patuh sama omongan Lo, soalnya adam banget,” sanjung Abidan. Yang dari jauh Afrak menatap sinis. “Dasar penjilat,” gumamnya, tapi entah kenapa sebagian hati Afrak juga merasakan demi kian. Atreya tidak seperti Atreya di pondok. “Sa ae, Lo,” canda Atreya. “Gue ya tetap gue. Si minyak yang keluar dari air.” ** Minyak saat berada di dalam air, ia seperti penganggu, tidak berguna dan mengotori air. Membuat air menjadi tidak enak saat diminum, atau di gunakan untuk yang lain. Semua orang memaksa minyak itu berubah jadi air, tapi minyak tetaplah minyak, ia terlahir dengan potensi itu. Mungkin tidak sepenting air, tapi hadirnya berguna. Sayangnya semua orang tidak mau peduli itu. Mereka mencoba menekan minyak untuk menjadi air. Padahal menjadi baik, tidak harus menjadi air. Ada banyak cara menjadi baik dengan jalannya masing-masing. “Liat bintang lagi? “Abimata menghampiri Atreya yang seperti malam kemarin duduk di bawah langit bertabur bintang yang ia pinta, namun kali ini tidak ada rokok yang menyelip di jarinya. “Ya, Bung, gak biasa tidur cepat. Biasanya kalo di pondok jam segini masih dengerin ceramah di masjid. Jadi udah kebiasaan tidur malam, gua bisa tidur kalo masih jam segini,” sahut Atreya. “Bung sendiri kenapa belum tidur ?” Abimayu tersenyum. “Entahlah.” Atreya tersenyum kecil sebagai respon lalu kembali menatap langit. Meski langit bertabur bintang itu hanya lukisan yang terlihat sangat nyata, tertempel di atap ruangan, sudah cukup mengusir penat Atreya. “Saya salut sama kamu, kamu tidak suka pesantren itu, tapi kamu bisa bertahan bertahun-tahun di sana. Apa yang kamu tunggu?” Atreya menoleh cepat, memperlihatkan ekspresi yang tidak seperti tadi. Alis Atreya terangkat, dia bingung dengan pertanyaan yang diajukan untuknya. “Di sini kamu akan jauh lebih baik.” “Saya bisa berada di sini karena, berusaha kabur dari pondok kalo Bung lupa.” Atreya tersenyum kikuk. “Iya, itu setelah berapa tahun kamu di pondok. Selama itu kenapa tidak terlintas ide itu? “ Abimayu tersenyum samar, sadar kalo Atreya tidak mau menjawab pertanyaannya yang terdengar sangat simpel tapi sepertinya tidak untuk Atreya. Abimayu memalingkan wajahnya, kembali menatap langit. Keheningan menyelimuti keduanya. Atreya tenggelam dalam ingatannya dan Abimayu berusaha untuk memberi ruang pada Atreya, dia tidak ingin hadirnya malah mengangguk Atreya. “Bung, bisa kita kumpul di luar ruangan ?” Afrak berdiri di belakang Atreya dan Abimayu. Atreya dan Abimayu menoleh sembari berdiri menyamai tinggi Afrak. “Di luar ruangan? “ “Iya. Yang lain juga sudah berkumpul di sana, Bung,” sahut Afrak. Abimayu mengangguk. “Lo juga harus ngumpul.” Afrak menatap Atreya sekilas sebelum melangkah pergi beriringan dengan Abimayu. “Ngapain coba?” gumam Atreya pelan, enggan untuk menuruti kehendak anak emas dengan wajah datar itu. “Bung, ayo,” panggil Abimayu, menoleh setelah berjalan agak jauh dari Atreya. Otomatis Afrak juga ikut menoleh, dan wajah songongnya kembali tertangkap mata Atreya. Atreya tidak ingin malam tenang berubah jadi kacau karena kekesalan pada Afrak. Dengan setengah hati Atreya berjalan kecil, mengikuti langkah mereka. “Kita mau ngapain di luar ruangan arena?” tanya Abimata, begitu sampai di tempat, mereka duduk melingkari api unggun pompa. Terlihat Abidan yang nampak mengucek matanya, terlihat jelas dia baru saja bangun tidur dan dipaksa untuk duduk di sana. Afrak tidak menjawab, sampai Abimayu duduk dan Atreya duduk di sebelahnya. “Sudah berkumpul semua ...” Afrak bergumam sebelum berjalan ke depan, menjadi center. “Maaf sebelumnya karena saya mengganggu waktu istirahat kalian.” Abidan berdecak, “Ck, buruan deh mau ngomong apa? Ngantuk nih gue! “ Afrak memutar bola matanya, sedikit kesal, tapi memilih untuk tidak mengatasi protes Abidan. “Jadi, tujuan saya mengumpulkan kalian semua di sini, karena, saya ingin kita menentukan ketua tim hari ini juga. Tantangan yang bakal kita hadapi besok pasti lebih sulit, gak ada alasan buat kita nunda-nunda pemilihan ketua tim.” Abimayu dalam duduknya, nampak mengangguk, jelas dia setuju dengan usul Afrak. Arlan yang duduk di sebelah Abimata juga nampak setuju-setuju saja. “Terus ...Lo maunya gimana? Coba to the point aja. Lo pengen jadi ketua tim, kan?” sarkas Abimata, yang sadar betul dengan gelagat Afrak yang selalu ingin di dengar, bahkan dengan seenak hatinya, membanguni orang untuk membicarakan hal seperti ini. “Memang siapa lagi yang cocok jadi ketua, selain gue?” sahut Afrak ringan. “Atreya. Dia cocok jadi ketua,” sela Abidan membuat senyum songong Afrak perlahan memudar, wajahnya mulai terlihat kesal. “Kok?” Atreya mendelik pada Abidan. Abidan nyengir tanpa dosa. “Gimana kalo kita adain voting aja,” Arlan menengahi. “Iya kita voting aja,” setuju Abimayu. “Tapi voting kayak apa ya? “ Arlan bergumam pelan. “Gimana kalo kita, buat vote dengan nulis di kertas terus kita kumpulin di kotak itu.” “Jadi kandidatnya Atreya dan Afrak. Afrak nomor satu dan Atreya nomor dua,” tambah Abimayu. “Tapi kertas dan pulpennya dari mana? “ “Kita tinggal minta di dalam ruangan arena.” Atreya menggosok pelan lengannya yang meremang karena terkena hembusan angin malam. Ia tidak menggunakan pakaian berlengan panjang layaknya Arlan, Abimata, Abimayu dan Afrak. Atau menutupi diri dengan selimut tebal seperti Abidan yang anteng dalam pelukan hangat selimut bermotif hitam polkadot “Biar gue minta kertas dan pulpen di dalam,” Atreya mengajukan diri, sekalian berniat meminta jaket di dalam ruangan. “Gak perlu!” sentak Afrak saat Atreya berbalik hendak melangkah, ia langsung menyusul langkah Atreya. Afrak berdiri sebentar di sebelah Atreya. “Gue yang bakal menang, biang onar mana bisa jadi ketua.” Atreya mendengus. Jika di pondok, mungkin Atreya tidak akan segan-segan menganjal langkah Afrak dan paling jauh mereka akan adu jontos. Toh, di pondok, citra Atreya memang sudah buruk, Atreya berpikir tidak masalah jika sekali lagi semua orang melihatnya buruk. Tapi di tempat ini, Atreya bukan ingin bermaksud memperoleh citra baik, bukan. Tapi di sini, Atreya merasa bernafas lega. Tidak ada rasa sakit yang selama ini selalu mendorong dirinya melakukan hal-hal nakal, yang Atreya tahu jelas, semua itu tetaplah salah, sebanyak apa pun argumen yang Atreya berikan sebagai pembelaan. Atreya tahu dia melakukan banyak kesalahan di pondok. Atreya tidak percaya pada kalimat, orang jahat adalah orang baik yang tersakiti. Tidak ada pembenaran yang dapat menormalisasi perbuatan jahat, sebaik apa pun argumen atau air mata dibalik cerita sedih mereka. Orang baik tidak akan menjadi jahat hanya karena disakiti itulah kenapa ia disebut baik. Hanya orang-orang yang berpura-pura baik yang akan menujukan topeng aslinya saat dia tersakiti. Ya, hanya orang yang berpura-pura. “Rex, ngapain bengong? Sini duduk aja. Lo gak kedinginan apa? Mau bagi selimut sama gue?” goda Abidan. Atreya bergidik. “Apaan sih Lo.” “Ih, Lo mah malu-malu.” “Is najong banget Lo!“ Atreya menghadiahkan bogem pelan di lengan Abidan, sebelum menjatuhkan dirinya di atas rumput rapi yang sampai detik ini masih Atreya curigai sebagai rumput imitasi. Abidan malah cekikikan. “Tuh, pake selimut.” Abidan melempar selimut, yang tepat jatuh di pangkuan Atreya. “Idih, Lo ma’aruf banget. Udah pakai jaket, pake selimut juga.” “Suka-suka gue dong.” Abidan terkekeh, dan tawanya menular pada yang lain. “Ini, kertas dan pulpennya,” kata Afrak, ditanganya ada satu buku tulis dan satu pulpen, mereka harus bergantian menulis kandidat yang dipilih. Setelahnya mereka mengumpulkan dan diacak pelan bak arisan ibu-ibu. Tidak alasan kenapa mereka melakukan ini, mereka hanya iseng saja. Abimayu dan Arlan menawarkan diri untuk membuka kertas. “Nomor pertama. Itu artinya, suara pertama, untuk Afrak.” Afrak tersenyum lebar. “Suara kedua, milik Atreya.” Terdengar suara tepukan gemuruh yang tentunya dari Abimata dan Abidan yang sangat bersemangat. Atreya tertawa melihat tingkah keduanya, gaya preman tapi kelakuan anak TK. Afrak cemberut. Senyumnya tadi diambang punah. “Suara ketiga untuk Atreya.” Senyumnya langsung hilang total. Dan sisa suara lainnya atas nama Atreya. Afrak berdecak keras. Ia hanya memperoleh satu suara, dan itu suaranya sendiri. Afrak bangkit dan langsung pergi tanpa sepatah kata, masuk ke dalam ruangan. “Idih anak emas ngambek,” Abidan malah cekikikan. “Rex, selamat Lo jadi ketua kita nih.” Abimata meninju pelan lengan Atreya, yang di balas Atreya dengan senyum lebar. Atreya senang jika, sahabatnya senang. Sesimpel itu. “Lo bakal tambah keren, kalo nanti sebelum berangkat ke arena game, Lo pake perisai di d**a itu tuh. Asli bakal keren banget, apa lagi Lo ada pedang yang kece badai, tinggal tambahi kuda putih. Beeehh ...” Abidan menggeleng-geleng lebai. “Udah kayak pangeran kesasar,” tambah Abidan. “s**l Lo! “Atreya langsung melempar selimut yang dia gulung-gulung bak bola dengan cepat dan tepat mengenai wajah sangar Abidan. Dan tawa mereka makin menjadi. Di dalam ruangan, Afrak mengintip interaksi hangat mereka, seperti tidak peduli akan ketidak hadirkan dirinya. Dia sendirian di sini. Afrak membatin, ‘Atreya selalu beruntung untuk banyak hal’. “Afwan, ibu-bapak cari siapa? “ Afrak menoleh. Pandangnya yang sejak tadi fokus menatap gerbang bercat putih dengan tulisan selamat datang di pondok Nur Hikmah, teralihkah pada sepasang suami-istri yang nampak mencari anak mereka. “Dia tidak mau menemui kalian.” Seorang santri yang Afrak tahu sebagai adik tingkatnya menyampaikan pesan. Pasangan suami istri itu nampak sedih, namun ia tutupi dengan senyum di wajahnya. “Ya udah gak papa. Terima kasih ya, karena kamu udah mau nolongi bu. Ini buat kamu.” “Eh, gak usah, Bu.” Santri itu menolak halus. “Anggap ini hadiah buat kamu.” “Hadiah?” Santri itu nampak bingung, pasalnya, hadiah tidak boleh ditolak. “Syukron, makasih, Bu, Pak.” “Boleh ibu minta tolong kasih paket ini?” Sekardus terlihat di tangan wanita itu. “Bu, afwan, tapi ibu ayah ana tadi baru datang. Mereka pasti cariin ana.” Santri itu menatap nanar kardus yang terarah padanya, ia tidak berdaya. Ingin membantu, tapi tidak bisa. “Oh, iya gak papa.” “Hem, saya pamit ya, Pak, Bu, makasih hadiahnya.” Pasangan suami istri itu tersenyum mengiringi kepergian santri itu. Namun setelahnya wajah mereka menjadi sedih. Kaki Afrak tergerak mendekati mereka. “Afwan bu, apa ada yang bisa saya bantu? Paket itu untuk santri di sinilah, ehm maksud saya, anak ibu.” “Iya. Dia kelas 7 A.” “Wah sekelas sama saya, Bu. Biar saya yang anterin.” “Alhamdulillah, makasih ya, Nak. Tolong berikan pada—“ Afrak berdecak keras, mengingat apa yang tidak ingin dia ingat lagi. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN