Session satu.
Hangat sinar matahari pagi, menyapa lembut mata-mata yang sudah terjaga sejak azan subuh berkumandang. Mereka berada di dunia bissmilah game, dunia game yang menjunjung syariat-syariat Islam, sesuai namanya, game ini layaknya pondok kedua bagi Atreya, mereka wajib melakukan ini dan itu.
“Sudah siap semua?” tanya Abimayu.
Atreya mengedarkan pandangnya, Abimata dan Abidan sudah berlagak seperti orang yang akan bertempur di medan perang. Mereka meminta jaket tebal yang kanan kiri bahunya ada sejenis baja yang kuat, dan di depan da*da mereka ada sejenis tameng berwarna gold yang menyilaukan terkena pantulan sinar matahari, diam-diam Atreya terkekeh, sedikit salut dengan persiapan mereka, namun juga lucu karena kostum yang mereka gunakan.
Sedangkan Atreya, Abimayu dan Arlan hanya menggunakan jaket tebal biasa dan sepatu bot panjang, menurut Abimayu, mereka akan menghadapi situasi yang tidak terduga, dan menggunakan jaket tebal untuk berjaga-jaga jika mereka mendapat situasi dingin. Afrak sebenarnya juga memakai kostum yang sama tapi ada sedikit yang berbeda di atas kepalanya ada peci dan Afrak lebih memilih sendal jepit ketimbang sepatu bot yang katanya lebih fleksibel.
“Siap,” kata Atreya, yang sukses saja membuat ruangan itu seperti tempat disko, berkedap-kedip dengan cahaya merah.
Afrak menghela nafas panjang, menatap tajam Atreya. “Gak di pondok, gak di sini, Lo emang gak pernah taat aturan.”
Baik di luar mau pun di dalam arena, mereka sangat wajib untuk menggunakan kata-kata yang telah disetujui. Misalnya, mengganti kata, siap, oke, iya, menjadi insyallah. Karena kata siap, oke, iya, bermakna pasti mutlak yang setara dengan janji. Sedangkan manusia tidak pernah bisa memastikan segala sesuatu dengan mutlak, semua selalu ada batasan, entah ada halangan atau ada hal yang tidak terduga.
Keduanya lalu terlibat tatapan sengit tanpa kata.
Atreya yang terlebih dahulu mengalah, ia mengakhiri tatapan sengit itu, tidak ada gunanya untuk melanjutkan pertengkaran ini. Atreya berdecak pelan, menarik nafas panjang, “Insyallah, siap.”
Abimayu tersenyum, Arlan refleks menepuk pelan bahu Atreya seraya tersenyum lebar, entah tepukan di bahu Atreya bermakna bangga atau tepuk biasa saja. Atreya tidak ingin mempertanyakan. Mereka mulai berjalan memasuki arena game.
“Atreya kamu bawa kunci untuk membuka pintu itu, kan?” tanya Abimayu.
Atreya mengangguk pelan. Karena mereka belum memutuskan memilih ketua, semua setuju—hanya Afrak yang tidak sebenarnya, tapi suaranya terlalu minoritas untuk didengar, untuk menitipkan kunci permainan pada Atreya.
Afrak memperhatikan kunci berwarna gold, dengan ukuran sedang layaknya kunci normal pada umumnya, hanya berbeda di bagian ujung yang sedikit lancip dan ada seperti mutiara.
Krek ....
Pintu berwarna putih itu terbuka. Mereka mematung sejenak, Atreya mengambil langkah pertama untuk masuk, dan disusul yang lain. Seperti biasa pintu kembali tertutup otomatis setelah semuanya masuk. Mereka melihat wadah air di tengah ruangan yang diletakan di atas balok persegi panjang.
Atreya menoleh bingung, ragu untuk mendekati wadah air itu. Abimayu menyakinkan dengan tatapan matanya. Atreya mulai memberanikan diri untuk mendekat.
“Sentuh dengan membaca bismillah ...,” gumam Atreya, membaca tulis yang ada di dalam wadah air itu.
“Sebaiknya kita menyentuhnya bersamaan,” putus Atreya. Yang lain mengangguk setuju. Mereka semua mulai mendekat dan menjulurkan telunjuknya bersama.
Dan semua seperti waktu itu, mereka seperti dikocok dan semenit berikutnya mereka berada di tempat yang berbeda.
Di pedesaan, layaknya pedesaan bisa, mereka berenam berada di lalu lintas orang ramai berlalu lalang, mereka seperti tidak terpengaruh dengan keberadaan mereka berenang, dan semua berjalan biasa saja. Atreya mengedarkan pandangnya, ini benar-benar desa biasa, ada orang yang berjualan di sisi kanan kiri, anak-anak kecil yang bermain riang di sudut ujung jalan, rombongan ibu-ibu yang sedang sibuk memilih sayur, saling menyapa dan sebagainya.
Suasana ini tidak seperti game yang ada di kepala mereka, mereka tertipu ekpetasi sendiri. Seketika rasa malu akan kostum yang terkesan kontras dengan orang-orang yang memakai baju biasa, merambat ke hati mereka, Afrak yang sudah lebih dulu melepas jaketnya, dia kini terlihat normal layaknya yang lain, di karenakan sendal yang ia gunakan. Atreya, Abimayu dan Akan, masih terlihat sedikit aneh meski telah melepas jaket, dikarenakan sepatu bot yang terkesan sangat tidak cocok untuk kegiatan sehari-hari. Sementara Abidan dan Abimata nampak fine saja, mereka tidak masalah terlihat berbeda. Lahir dan besar sebagai preman justru membuat mereka suka jika terlihat berbeda, terlebih menurut mereka dengan kostum itu, mereka terlihat gagah, bak kesatria yang baru saja menang dari pertempuran.
“Lalu apa lagi?” gumam Atreya, setelah lelah mengedarkan pandangnya mencari klue atau sejenisnya.
“Kita harus mencarinya,” sahut Abimayu. Yang sebenarnya juga tersirat kebingungan pada suaranya. “Mungkin seperti kertas atau apa teka-teki misi apa yang harus mereka lewati.
“Ini game apaan sih, kok gak jelas banget,” protes Abidan.
Dalam kebingungan terdengar suara, ‘waktu kalian mencari hanya tiga puluh menit’.
Mereka saling melempar pandangan, bertanya apa kalian mendengarnya? Mereka saling mengangguk, mengedarkan pandangan bingung kenapa hanya mereka yang bisa mendengarnya, sedangkan orang-orang di sana nampak biasa saja. Tidak lama di langit terlihat segumpal awan yang membentuk angka tiga puluh. Jika diperhatikan dengan seksama awan itu seperti stopwatch yang akan di mulai dalam hitungan tiga.
Satu..
“Kita harus mencarinya dalam waktu itu, jika tidak kita bisa terjebak selama dua jam di sini, dan harus menghadapi tantangan untuk keluar,” gumam Abimayu.
Semua mengangguk kaku, cemas, binggung memenuhi wajah mereka.
Dua...
“Duh, kalo tegang gini gue jadi lapar,” Abidan mengelus perut datarnya.
Melihat itu, Arlan terpingkal. Bisa-bisanya dalam keadaan genting Abidan malah lapar. Yang lain refleks juga tertawa, wajah mereka tidak setegang tadi, kecuali Afrak yang berdiri, menjaga jarak dari mereka.
“Di otak Lo cuman ada makan doang! “sentak Afrak, tidak humanis.
Abidan mendelik, wajah laparnya berubah menjadi rahang mengeras, hawa pertengkaran terasa akan mengudara.
“Ubahlah, ini waktunya cuman sepuluh menit, kalian malah berantem! “Atreya menengahi keduanya. Abimata langsung menarik Abidan menjauh dari Afrak.
“Dasar berandal ! Gak punya etika!” dengus Afrak yang sampai dengan sempurna di telinga Atreya, yang posisinya berada di depan Afrak.
Atreya menoleh. “Lo gak ngerasa bersalah? Pertengkaran ini Lo pertama kali yang mulai,” desis Atreya.
Rahang Afrak mengeras, tidak terima dengan pertanyaan Atreya. “Lo nyalahin gue? “katanya dengan suara tertahan yang hanya bisa di dengar mereka berdua.
“Apa salahnya pernyataan Abidan tadi? Setiap orang punya kebiasaan beda. Lo aja kalo lagi tegang selalu sibuk maini peci. Terus apa salahnya orang kalo tegang jadi lapar, kok Lo yang sewot?”
“Karena gue mau pulang dari sini! Dan teman preman Lo itu, malah mikirin perutnya doang!”
“Berhenti nyebut sahabat gue preman!” desis Atreya tajam. “Dia bilang jadi lapar, bukan mau makan! Katanya Lo anak emas di pondok, bahasa sederhana gini aja Lo gak paham.” Atreya menyunggingkan senyum miring, berbalik, tidak peduli , kedongkolan yang terpantri jelas di wajah Afrak. Atreya lalu sibuk membagi.
Tiga ....
“Kita mulai dari mana?” tanya Atreya.
“Gimana, sebaiknya kita bagi jadi tiga kelompok. Kita ada enam orang itu berati dua orang satu kelompok?” saran Abimayu.
Afrak merasa sesak berada di antara mereka. Tanpa banyak bertanya, Afrak memilih pergi. Dia ingin cepat menemukan teka-teki itu dan segera pulang. Dia ingin pulang!
Abimata berdeham setuju. “Kalo gitu biar gue sama Abidan.”
“Dan saya bersama Arlan.”
Itu artinya Atreya dengan Afrak. Atreya mengedarkan pandangnya, tempat Afrak berdiri tadi sudah kosong, Afrak sudah berjalan cepat ke arah barat.
Atreya berdecak, selalu saja anak emas itu membuatnya kesal.
“Nanti kita harus berkumpul di sini, jika jam itu menujuk sisa waktu sepuluh menit lagi, baik sudah ketemu atau belum, oke? “
“Oke,” sahut mereka kompak sebelum berpencar, sesuai arah mata angin. Abimata dan Abidan, ke selatan, Arlan dan Abimayu ke timur, dan Atreya ke barat, menyusul Afrak yang sudah tidak terlihat lagi.
Atreya menoleh kanan-kiri, selain mencari teka-teki, dia juga harus mencari Afrak dan ya, mengingat semua rute yang dia lewati. Dan saat berbelok, Atreya menemukan Afrak yang nampak sedang bersitegang dengan seorang nenek paru baya yang membawa dua sisir pisang yang ia sodorkan ke arah Afrak, yang nampak makin marah, pertama Afrak menepisnya pelan, namun nenek itu terus menyodorkan setandan pisang ke wajah Afrak, dan juga terus menghalangi langkah Afrak. Afrak tersulut emosi dan tanpa sengaja menepis keras sesisir pisang itu hingga jatuh ke tanah.
Atreya mempercepat langkahnya mendekati mereka. Tanpa banyak berkata Atreya langsung memungut sesisir pisang, karena jatuh, ada satu pisang yang terlepas dari jawabannya. Atreya juga memungutnya. Dan segera memberikan pisang itu pada nenek yang tersenyum ramah padanya.
“Ini, Nek.”
Nenek itu mengangguk, dia nampak ingin mengatakan sesuatu, dan baru Atreya sadari, nenek itu tunarungu karena kini, nenek itu mencoba mengatakan sesuatu dengan gerakan tangan yang Atreya yakini sebagai bahasa Isyarat.
Nenek itu mengerakkan tangannya, lalu menunjuk Afrak dan Atreya. Tidak ada yang keduanya mengerti apa yang nenek itu kayaknya, Atreya hanya mengerti di bagian akhir, nenek itu seperti mengucapkan terima kasih dengan bahasa isyarat pada Atreya.
“Buang-buang waktu,” desis Afrak, pelan, yang hanya Atreya yang mendengarnya. Afrak kembali berjalan, meninggalkan Atreya.
Nenek itu menatap sedih punggung Afrak yang menjauh, ia kembali mengangkat tangannya mencoba berbicara pada Atreya dengan bahasa isyarat yang sama sekali tidak Atreya mengerti selain nenek itu membicarakan soal pisang, yang terus ia tunjukan dalam bahasa isyaratnya dan terakhir nenek itu memberikan satu pisang yang terlepas dari sisirnya kepada Atreya.
“Buat saya? “ tanya Atreya bingung.
Nenek itu tersenyum.
“Nek, ada yang bisa saya bantu?”
Nenek itu menggeleng, raut sedih kembali memenui wajah tuanya. Dia menatap dua sisir pisang di tangannya.
“Nenek jualan pisang? “tanya Atreya, menebak.
Nenek itu mengangguk. Dan menunjuk ke arah Afrak tadi berjalan lalu menyilangkan tangga.
Atreya mencoba menerka. “Nenek nawari ke Afrak, tapi dia gak mau beli? “
Nenek itu mengangguk. Kembali mencoba berkomunikasi dengan Atreya, dengan membuat gerak-gerak tangan yang membentang ke depan, jarinya membentuk kata dua, lalu menunjuk mulut dan dirinya, tapi Atreya masih tidak mengerti apa yang nenek itu katakan.
Atreya menggeleng tanda tidak mengerti.
Sembari menatap nanar dua sisir pisang di tangannya, raut sedih itu belum hilang.
“Hem, kalo begitu saya boleh beli pisangnya gak, Nek? “
Nenek itu refleks mengangkat kepalanya, matanya berbinar terang, diikuti anggukan kecil yang cepat.
Atreya tersenyum, ikut bahagia melihat senyum di wajah nenek itu.
“Tapi saya gak punya uang nenek, apa boleh saya bayar pisang ini dengan sepatu bots dan jaket milik saya? “
Nenek itu nampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya nenek mengangguk setuju. Atreya memberikan jaket dan sepatu botsnya dengan senang hati, meskipun karena itu, ia harus nyeker.
“Nek, pisang buat nenek aja.” Atreya memberikan kembali pisang.
Awalnya nenek itu menolak, Atreya memohon untuk tidak menolak, nenek akhirnya menerima dengan syarat Atreya mau mengambil satu pisang yang terlepas untuk Atreya. Atreya dengan senang hati, menerima. Dan pergi, membawa satu pisang menyusul Atreya.
“Ck! Di mana sih teka-teki itu.” Afrak menoleh ke sana ke mari, ia juga menengadah melihat ke awan stopwatch, dan wajah tegang makin kentara setelah melihat jam awan itu.
Atreya menghampiri Afrak, dengan santai memegang satu pisang, yang kini menjadi sorotan tajam Afrak. “Di waktu genting gini, dan Lo? “
Atreya mengangkat satu alisnya, menatang setelah mengikuti arah tatapan tajam Afrak.
“Ck! “Afrak berdecak keras.
Atreya tersenyum miring, terbesit ide untuk semakin menambah wajah dongkol Afrak, sepertinya sudah lama ia tidak melihat mata belalak Afrak.
Atreya membuat gaya seolah-olah hendak membuka kulit pisang, wajah songgong tidak Atreya lupakan, Afrak makin menatap tajam, jika tatapannya bisa berubah menjadi sinar matahari, mungkin kini Atreya sudah tersengat sinarnya. Atreya diam-diam tertawa, ia meneruskan sandiwaranya, tangannya kembali terangkat menarik satu sudut kulit pisang.
Plak.
Tangan Atreya tiba-tiba di tepis kuat, Atreya tidak menyangka gerakan mendadak ini, tidak ayal pisang itu meluncur bebas dari tangannya jatuh ke lantai dengan satu sisi kulit pisang yang sudah setengah terbuka, beruntung posisi jatuhnya tidak sampai mengenai buah pisang. Tanpa ba-bi-bu, Atreya mengambilnya kembali.
“Lo! “Atreya mengeram kesal.
Kali ini Afrak yang tersenyum miring. “Makan tuh, pisang jatuh.”
“Ck! Lo ya! “ Atreya tidak bisa menahan dirinya, tangannya dengan mudah meraih leher baju Afrak, sebelah tangannya sudah mengepal di udara, siap menghatam wajah mulus Afrak.
“PISANG ITU ....”
Bukannya takut wajahnya akan terkena bogem mentah, mata Afrak malah terbelalak tertuju pada pisang yang Atreya letakan di saku celana traningnya.
Diundang rasa penasaran Atreya ikut melirik saku celananya. Saku celananya mengeluarkan cahaya dari pisang yang setengah terbuka tadi. Cengkeraman tangan Atreya refleks terlepas dari leher baju Afrak, Atreya termundur menjauh satu langkah dari Afrak.
Atreya memandangi pisang itu, yang makin menampakkan sinar terang bak senter, sinar itu bahkan sempat menyilaukan mata mereka, begitu Atreya mengeluarkannya dari saku. Lalu perlahan sinar itu redup dan saat sinar itu hilang. Pisang tadi berubah menjadi secarik kertas, bertuliskan bissmilah game di depannya.
Sesaat, kedua pemuda itu saling melempar tatapan bingung. Sedetik berikutnya, Atreya tersenyum. Inilah kertas yang ia cari. Atreya jadi teringat, simbol-simbol yang nenek itu tunjukkan, Atreya mulai mengerti bahwa nenek itu mencoba mengatakan, ada seseorang yang mengatakan padanya untuk menjual pisang itu pada Afrak. Tapi Afrak tidak mau, dan akhirnya Atreya yang membelinya. Atreya tersenyum lega. Waktu yang tersisa tinggal sepuluh menit lagi, mereka buru-buru kembali ke titik yang sudah mereka janjikan.
Dan semua sudah berkumpul duluan di sana. Mereka nampak cemas dan tegang, namun melihat senyum cerah Atreya seketika lima puluh persen rasa tegang di wajah mereka lenyap.
“Alhamdulillah ketemu guys,” kata Atreya menunjukkan secara kertas itu.
“Apa isi teka-tekinya? “tanya Arlan, tidak sabar.
“Ayo kita buka,” kata Atreya pelan, namun mampu membuat mereka semua langsung membuat lingkaran yang terputus karena Afrak enggan bergabung, dan lebih memilih berdiri berjarak satu langkah dari mereka.
Atreya membuka pelan secarik kertas yang terlipat dua itu. Atreya tidak ingat, kapan terakhir kali tangannya gemetar, secarik kertas ini sukses membuat tangannya gemetar, proses membuka kertas juga jadi seolah bergerak sangat lama, semakin lebar Atreya membuka, semakin meningkat degup jantung mereka.
‘Tidak terlihat , tapi dapat dirasakan. Tidak berbau, tapi penting. Terdiri dari tiga rangkai, lisan, hati dan perbuatan, yang apabila satu cacat maka akan cacat semua. Berada di hati, dilantangkan dengan ucapan dan di perlihatkan dengan perbuatan.’
Mereka membacanya serempak.
Dahi mereka kompak berlipat setelah membaca secarik kertas kecil itu. Helaan nafas panjang, sahut menyahut keluar dari bibir mereka. Hawa pesimis memenuhi hati mereka setelah membaca secarik kertas itu.
“Ini apa coba? Kok sulit banget ...” Abidan menatap nanar secarik kertas yang Atreya pegang.
“Huft.” Entah sudah berapa kali Abimata menghela nafas panjang.
Abimayu mondar-mandir, memikirkan jawaban dengan seksama, lalu termenung, duduk di sepucuk batu berukuran sedang.
“Waktu yang tersisa tinggal tiga menit lagi,” gumam Arlan menatap stopwatch awan.
Semua seketika secercah harapan seolah memudar, mereka kompak termenung memikirkan jawabannya.
“Apa yang tidak terlihat , tapi dapat dirasakan. Tidak berbau, tapi penting. Terdiri dari tiga rangkai, lisan, hati dan perbuatan, yang apabila satu cacat maka akan cacat semua,” gumam Atreya, terus merapal kalimat teka-teki itu.
Afrak yang sejak tadi diam, meminta kertas itu, matanya bergerak kanan-kiri, Atreya liat berkali-kali Afrak kembali membaca kalimat yang ada. Afrak berpikir sangat keras hingga alisnya nyaris bertaut.
“Dan tempatnya di hati? “ Atreya spontan menyentuh da*danya. “Mustahil ada benda yang bisa masuk ke dalam hati,” tambahnya.
“Ya, ini, bukan benda,” sahut Afrak, matanya masih fokus pada secarik kertas itu. “Sesuatu yang secara halus ada di dalam hati manusia.”
“Halus? “Atreya menoleh.
“Iya ...”
Seketika mata Atreya berbinar terang, ia tahu jawabanya,