VIII

1452 Kata
“Mama, kecewa sama kamu,” kata Fatimah. “Maa ...” Atreya beringsut mendekati mamanya yang kini duduk menatap kecewa Atreya. Fatimah memalingkan wajah, tidak mau melihat wajah Atreya lebih lama, seolah ada racun di sana. Sungguh Atreya tidak mengiri hari ini akan terjadi. Senyum lembut yang biasa terpantri di wajah mamanya kini berganti derai yang tidak mampu Atreya hentikan. “Ma, jangan nangis dong. Maafin Reya. Reya gak maksud buat mama nangis. Tadi Reya cuman ...” Atreya menunduk dalam, Fatimah melirik dari ekor matanya yang sedikit merah karena menangis. “Lalu apa Reya? Tanpa pikir panjang kamu tawuran. Apa sedikit pun kamu gak pernah mikirini mama dan papa? Ajaran siapa kamu bisa gini? Mama gak kenal Reya ini!” “Tapi, Maa, Reya tadi cuman—“ “Cuman apa Reya!” Suara berat menyapa keduanya. Menginterupsi Atreya diiringi suara derap langkah kaki dan decitan pintu yang terbuka makin terbuka lebar. Atreya menoleh, pandangnya otomatis menunduk tahu benar pemilik suara itu. “Pa ...,” cicit Atreya, takut-takut. Tanpa melihat raut wajah tegas dan tatapan tajam papanya, Atreya sudah tahu papanya sangat marah padanya. Abram tidak mengatakan kalimat apa pun setelah kalimat terakhirnya tadi, hanya terdengar hela nafas panjang yang beberapa kali terdengar. Fatima juga memilih diam, namun bahunya bergetar, pertanda tangis terus meluncur dari mata indah mamanya. Atreya menyaksikan pemandangan ini, hatinya terasa remuk, dia belum bisa membawa tawa yang sesungguhnya untuk membahagiakan mereka, tapi sekarang, dia malah memberi luka. Anak macam apa Atreya ini? “Kali ini, tidak ada pertimbangan lain lagi,” Setelah hening panjang, Abram menatap lembut namun tegas ke arah istrinya. Fatima spontan mengangkat kepalanya, terlihat mata merah sehabis menangis dan riak air mata yang tersisa menyusuri wajah Fatima, dengan isak kecil yang terdengar, Fatima menggeleng lemah. “Mas, mohon Fatima. Ini tugas mas sebagai suami. Mas kepala keluarga di rumah ini. Apa yang akan mas katakan pada Allah kelak? Bagaimana mas bisa mempertanggungjawabkan semua titipan ini?” Tatapan tegas Abram mendadak sendu. Fatima menunduk lemas, dengan suara parau, ia membuka mulutnya. “Iya, Mas. Apa pun yang mas putuskan, saya akan setuju.” Abram tersenyum lembut pada Fatima, namun sedetik berikutnya, wajah Abram mengeras beralih pada Atreya yang berdiri di depan istrinya. Kini yang terlihat sorot mata tajam Abram Atreya ingin menjelaskan segalanya, tapi mulutnya mendadak keluh, Atreya tidak berdaya dalam tatapan tajam papanya itu. "Atreya, kamu akan kami kirim ke pesantren." Bak petir di siang bolong, kalimat itu sukses menggetarkan hati Atreya. Atreya spontan mengangkat kepalanya, retina matanya membulat sempurna, menatap papa dan mamanya silih bergantian, kalimat tadi terdengar seperti ‘kamu harus pergi dari rumah' di telinga Atreya. Atreya mengerjap, dia pasti salah dengar, tidak mungkin, orang tua yang sangat menyayanginya bisa setega ini padanya? Menjauhkan dirinya dari mereka. Itu tidak mungkin. Mereka pasti hanya bercanda. Tapi, semua tidak sedang bercanda. Ekspresi mama dan papa, sama sekali tidak terlihat sedang bercanda. Itu artinya... "Gila! Reya gak mau, Ma, Pa! Reya gak mau! " protes Atreya, cepat. "Kami mengatakan hal itu bukan untuk meminta persetujuan kamu. Ini sudah diputuskan," tambah Abram. "Gak, Pa. Tolong jangan kirim Reya ke pesantren." Atreya memohon, ia bahkan bersujud di kaki Abram Abram tidak bergeming. Membuat Atreya frustrasi, bingung. "Keputusan ini sudah bulat. Papa tidak akan mengubahnya meskipun kamu menangis di hadapan papa." "Ini gak adil! Kalian mau buang Reya kan! " teriak Atreya, murka. "Turunkan nada suara kamu, Reya!” tegas Abram. "Kamu salah, Reya. Keputusan ini kami ambil untuk kebaikan kamu juga. Di sini, kamu terlalu seenaknya, kamu terlalu bebas. Mama dan papa takut kalo kamu malah terjebak lingkungan gak benar." Fatimah, merangkul pundak putra semata wayangnya itu. Untuk pertama kalinya Atreya tidak bahagia dalam rangkulan wanita pertama dalam hidupnya. "Gak! Mama dan Papa mau buang Reya!" Atreya menepis kasar lengan ibunya. "Mama dan Papa bencikan karena ada Reya di rumah ini? Baiklah biar Reya pergi aja dari sini! Reya gak akan ganggu kehidupan kalian lagi. Anggap saja Reya sudah MATI! " PLAK Mata Atreya mengerjap. Mimpi itu lagi. Atreya mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk, Atreya menoleh, lagi-lagi bantalnya basah dan kepalanya berdenyut keras. “Kenapa mimpi itu selalu datang? “Atreya berdecak keras. “Bahkan bayangan mereka saja tidak bisa berhenti! Kenapa! Kenapa mereka selalu mengganggu saya! “ pekik Atreya keras. Beruntung tempat yang Atreya jadikan kamar milikinya, sudah kedap suara. Semua fasilitas yang ada benar-benar memanjakan mereka, jika Atreya meminta kamar kedap suara, makan Abidan memilih kamar yang berisi alat band. Tidak mau berlama-lama dalam rasa sakit itu, Atreya memilih menjatuhkan kakinya pada sendal yang entah terbuat dari apa, rasanya sangat empuk. Tinggal di pondok bertahun-tahun, menjadikan Atreya terbiasa mandi pagi sebelum subuh. Atreya akan berlama-lama di kamar mandi agar terhindar dari tadarus Al-Qur’an. Atreya tersenyum miris, sungguh dia tidak mengenali dirinya sendiri. Atreya yang bisa berpikir picik seperti itu, tidaklah sama seperti Atreya dua tahun yang lalu. Sebelum semua ini terjadi. ** Atreya menatap langit yang mulai diterpa sinar orange dari balik bukit. Sinar orange yang nampak malu-malu menunjukkan dirinya, berpadu dengan langit biru terang, pemandang yang sangat sayang untuk dilewatkan, Atreya hanya memandang keindahan itu dari jauh, berdiri di ambang pintu. Dia bukan anak indie yang sangat suka menikmati pesona matahari saat terbit dan terbenam, ia bertahan di sana, karena sebuah memori memanggilnya mengena sesuatu. Mengenai seseorang yang sangat suka pada semua ini. “Rex, Lo gak mau pake jaket, atau sepatu bots gitu?” tanya Abidan heboh di dalam ruangan, setelah salat subuh, mereka memang sibuk melakukan banyak aktivitas sebelum bermain. Entah sibuk menyiapkan diri, atau makan mengisi tenang. “Gak deh. Gue gini aja,” sahut Atreya, tanpa memalingkan wajahnya pada Abidan yang berdiri di belakangnya dengan sebidang kesibukan, yang penting entah apa, “Trauma kek kemarin.” Abidan terkekeh. “Berasa salah kostum,” sambung Atreya. “Gak boleh gitu oi. Jangan kebiasaan hidup Lo , gak sedia payung sebelum hujan, kek semalam, kedinginan kan Lo “ Kali ini Atreya yang terkekeh. “Eh, btw, Lo kenapa dah? “ “Ha? Kenapa? Apanya?” Kali ini Atreya berhasil memalingkan wajahnya dari sinar matahari yang tidak lagi orange. “Ya itu.” “Itu apa? “ “Oh kok Lo malah tanya gue sih.” “Iya, maksud gue, Lo tuh nanya apa? “ “Ya, gue ngerasa aja, semenjak masuk di dunia game ini Lo kayak lebih banyak diam, biasanya kan Lo, sebelas- dua belas sama kita, sekarang Lo berasa kek bukan Tirex yang gue kenal.” “Lebay Lo! “ Atreya mendengus. “Drama queen Lo, kambuh tuh. Lo yang berubah kali, tuh buktinya, kek melow muluk Lo. Gak laki banget. Katanya preman. Preman apa yang kayak gini?!” Abidan malah menyambut hardik Atreya dengan tawa menggema, saking kerasnya ketawa Abidan sampai-sampai memegangi perutnya yang mungkin keram. “Nah, gini baru Tirex yang gue kenal,” katanya setelah puas tertawa. “Beberapa hari ini tuh, Lo berasa kek anak kucing ke sasar gitu, sedih terus bawaanya.” “Atreya berdecak. “Gak ada contoh yang lebih manlly gitu? Kucing, Lo pikir gue seumur itu?!” “Iya dong, kamu kan imut,” kata Abidan dengan nada ala-ala b*****g perempatan. “Idih, najis Lo! Ih, ngeri gue dekat-dekat sama Lo! Lo gak suka batang kan?! “ “s**l Lo, Lo pikir gue apaan! “Abidan spontan melempar kaos kakinya ke arah wajah Atreya. Atreya berhasil membaca pergerakan tangan Abidan, mengelak dari kaos kaki yang dapat mencerdai hidungnya dan kini kaos kaki itu terongkah sendirian di belakang kaki Atreya. Atreya tersenyum bangga. “Kurang gesit Lo.” “Beda lah ya, ketua mah.” Keduanya tertawa, tanpa mereka sadari sepasang mata menatap jauh mereka, tangannya mengepal, namun langkahnya bergerak berlainan arah dari tempat Atreya. “Afrak mana?” tanya Arlan keluar dari ruangannya dan sudah siap menuju permainan. “Masih ngambek kali, Bung,” kekeh Abidan. “Paling ada di biliknya.” “Gak ada,” sahut Abimayu. “Di luar juga gak ada,” tambah Abimata. “Lah terus dia di mana?” Abidan mengernyit bingung. “Dia gak mungkin kaburkan? Masa sih kabur, emang bisa kabur dari sini? “ “Kita harus gimana nih, dia pemain kedua yang bisa buka pintu ruangan,” Abimayu menatap jauh ke depan. “Kalo dia gak ketemu juga, kita bisa kalah dalam babak ini.” “Itu artinya kita gak bisa mulai tanpa Afrak?” ekspresi cemas memenuhi wajahnya, Abidan berharap jawabannya tidak. Tapi Abimata malah mengangguk pelan, membuat Abidan seketika tertegun, dia tidak mau selamanya terjebak di tempat seperti ini, meski sejauh ini semua nampak aman dan baik-baik saja. Tapi siapa yang bisa jamin semua akan baik-baik saja sampai akhir? “Ck! Tuh anak emas, nyusahin banget sih!” Rahang Abimata mengeras. “Biar gue cari dia. Gue bakal balik setelah Afrak ketemu.” “Eh, tapi bentar lagi kita harus masuk arena main,” cegat Abidan, menghentikan dua langkah awal Abimata. “Dan, Lo gak tahu mau nyari tuh anak di mana, kan? Nanti yang ada malah dua orang gak ada.” “Iya benar Kata Abidan, mending kalian semua duluan aja ke ruangan arena. Biar gue yang cari tuh anak. Kayaknya gue tahu tuh anak ke mana,” kata Atreya. “Emang tuh anak ke mana? “ tanya Abimata. “Hem, biar gue langsung ke sana. Entar kita langsung ke ruangan arena. Oke.” Atreya menatap jauh. “Oke.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN