"Tanyakan apa yang ingin kau tahu."
Aku dan Fay duduk di sebrang bang Arsen, di sebuah minimarket yang letaknya agak jauh dari Read Eat. Karena aku tidak ingin mengambil risiko kalau kami bicara di Read Eat.
"Siapa,"
Tangan bang Arsen terangkat ke atas membuat aku menghentikan kalimat. "Down p*****t terlebih dahulu. Sebagai tanda bukti kalau kalian tidak berbohong."
Aku berdecak sementar Fay mengela napas jengah.
"Namanya, Diajeng Gendari Nessa Ayuna. Masih menjunjung tinggi tata krama dan nilai-nilai keagamaan. Lahir dalam sebuah keluarga aristokrat jawa. Usia 26 tahun. Anak pertama dari dua bersaudara. Mengikuti tari daerah jawa dan menjadi penari terbaik. Hapal istilah-istilah keraton jawa dan bahasa jawa dari mulai krama kedaton sampai ngoko. Orang tua,"
"Stop!" Aku menghentikan informasi yang keluar dari mulut Fay. "Down p*****t sudah cukup. Informasi lebih lanjut akan kami berikan setelah kau buka mulut."
Bukannya menjawab, bang Arsen justru melongo persis orang bodoh.
"Arsenio." Fay menjentikan jarinya membuyarkan lamunan bang Arsen.
"Wanita langka. Jaman sekarang masih ada wanita seperti itu? Menarik." Bang Arsen mengusap dagunya seperti sedang menerawang sesuatu.
"Maka dari itu, kau harus membayar mahal untuk barang bagus."
"Oke, apa yang ingin kalian tahu?"
"Sera." ucapku tanpa ragu. "Aku ingin tahu hubungan yang dimiliki Sera dan Ben."
Bang Arsen menghela napas sebelum dia berkata.
"Aku, Ben, Abi dan Viona berteman sejak SMA. Setelah lulus SMA, Ben sekolah militer, sedangkan aku, Abi dan Viona melanjutkan sekolah di perguruan tinggi yang sama."
Pantas saja mereka terlihat begitu sangat akrab.
"Aku, Abi dan Viona bertemu Sera di perguruan tinggi, kemudian kami berteman. Sera dan Viona mengambil jurusan yang sama sementara aku dan Abi berbeda jurusan tapi, kami tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa bersama. Sampai pada akhirnya, Sera mengenal Ben, saat Ben mendapat hari libur. Setelah itu yang ku tahu hubungan Sera dan Ben mulai serius. Mereka memang tidak mengatakan bahwa mereka berpacaran, tapi dari tingkah laku mereka yang begitu dekat, aku yakin mereka saling jatuh cinta. Tapi beberapa tahun kemudian Abi dan Sera menikah. Kemudian Sera meninggal tepat saat melahirkan Rey."
Kenapa kehidupan mereka sungguh rumit. Siapa yang berpacaran dengan siapa, siapa yang menikah dengan siapa. Mungkin memang benar, ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan, tapi akan membuat asumsi objektif, maka dari itu diam tidak selamanya emas.
"Kenapa, Abi menikah dengan Sera, kalau yang saling jatuh cinta Ben dengan Sera?" Kini giliran Fay bertanya.
"Kalau soal ini, aku tidak berani bicara apa-apa."
"Bang, please." Nada suaraku seperti bisikan dan terdengar memohon.
"Sorry, An, lebih baik kau dengar langsung dari Ben."
"Arsen, kau tidak akan bisa mendapatkan Nessa tanpa bantuan kami."
Fay mengancam. Bang Arsen mengacak rambutnya lalu menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi.
"Oke, begini saja. Aku antar kalian ke Bandung. Aku tahu, Ben dan Viona berada di mana."
"Sekarang!" Tandasku cepat.
"Kalau begitu nomor ponsel Nessa."
Ucap Bang Arsen, kemudian mengulurkan tangan dan detik itu juga langsung dijabat oleh Fay.
"Deal!"
Astaga sahabat macam apa kami ini.
***
Dalam perjalanan menuju Bandung, aku habiskan dalam diam. Sibuk memikirkan apa yang akan aku katakan pada Ben. Begitu banyak hal yang ingin aku tanyakan tapi, segalanya hanya bersarang di benakku, namun bibirku terasa membeku. Begitu buntu, tidak tahu harus mulai dari mana.
Langit sudah gelap saat mobil bang Arsen masuk ke pekarangan sebuah rumah di daerah Pajajaran. Rumah ini dihiasi pot-pot bunga dari tanah liat yang beberapa bagiannya retak dan bunganya kering. Terlihat sangat tidak terawat.
Langkahku mulai ragu ketika aku sudah berdiri di depan pintu kaca yang dibingkai kayu bercat putih yang kusam. Rumah ini tidak terlalu besar bahkan nyaris tak terurus. Cat tembok yang mengelupas di sana sini, pondasi kayu yang rusak oleh rayap, dan juga lampu kuning yang menggantung di atap rumah mulai meredup. Dari luar sini aku bisa melihat keseluruhan isi rumah yang menampilkan barang-barang yang menurutku tidak layak pakai lagi.
Aku hanya menunggu dengan was-was saat bang Arsen mengetuk pintu kaca. Aku pun tidak berani bertanya di rumah siapa kami berada.
Sekali lagi, bang Arsen mengetuk pintu saat dari dalam tak ada jawaban. Aku memandangi bang Arsen yang begitu tenang. Fay, berdiri disampingku mengeratkan pelukannya di sekitar bahuku seakan menyalurkan energi yang dia punya. Begitu pintu dibuka, aku terkejut bukan main.
"Loh, Mang Agus?"
"Neng Ana?"
***
Mang Agus adalah karyawan yang pernah bekerja di perkebunan teh milik keluarga ayah, namun mengundurkan diri dengan alasan yang aku pun tidak tahu. Aku juga tidak terlalu dekat dengan mang Agus apalagi mengenal keluarga beliau, yang aku tahu mang Agus pergi dari kampung di daerah Lembang, karena malu dengan para tetangga yang sering membicarakan anak semata wayangnya yang hamil di luar nikah.
Mang Agus pindah ke rumah ini bersama istrinya, sedangkan anaknya menetap di Jakarta karena malu telah mencoreng nama baik keluarga.
"Jadi, kepergian Mang Agus bersama keluarga dari perkebunan teh Pak Dirga, karena tidak tahan menanggung malu, Neng." Mang Agus yang beberapa tahun tidak pernah kulihat lagi tampak begitu lusuh. Tubuhnya kurus, kulitnya kusam dan hitam (mungkin terlalu banyak terkena sinar matahari) rambutnya juga sudah banyak ditumbuhi oleh uban. "Sera, anak Mang Agus, selalu dibicarakan oleh para tetangga dan pekerja kebun teh lainnya karena hamil di luar nikah, dan tidak tahu siapa yang menghamilinya."
Aku menyecap rasa ludahku yang berubah asam. Aku melirik Fay, yang ternyata juga sedang melirikku.
"Istri Mang Agus sangat marah pada Sera, sehingga mengusir Sera dari rumah. Maka dari itu Sera memutuskan untuk menetap di Jakarta. Kemudian dia pun menikah di sana." Ada jeda yang begitu panjang. Kepala mang Agus tertunduk. Kedua tangannya yang sudah keriput saling mengepal.
"Sera menikah dengan laki-laki yang menghamili Sera?" Tanyaku hati-hati.
"Bukan, Neng," mang Agus menggelengkan kepalanya. "Sera menikah dengan teman kuliahnya."
Otomatis aku menoleh ke arah bang Arsen, tapi dia langsung menundukan kepalanya seolah tidak ingin mendengar apa-apa.
"Siapa, Mang?" Fay langsung menyambar sebelum aku bertanya lagi. Tingkat keingintahuanku kalah oleh Fay.
"Namanya nak Abi. Dia datang pada Mang Agus meminta ijin menikahi Sera, untuk membantu Sera agar dia tidak malu. Waktu itu kandungan Sera memang sudah membesar. Pernikahannya pun tidak dirayakan, hanya pernikahan sederhana yang dilaksanakan di KUA. Setelah mereka menikah, Sera memutuskan tinggal di Jakarta bersama nak Abi dan memulai hidup baru di sana. Tapi, beberapa bulan kemudian Mang Agus dikabarkan, bahwa Sera meninggal setelah melahirkan anaknya." Rasanya pasokan udaraku nyaris habis. "Lalu, istri Mang Agus pun meninggal terkena serangan jantung akibat mendengar kabar duka tersebut."
"Mang Agus, maaf, saya mau bertanya," kudengar Fay berujar. "Kenapa Sera menikah dengan Abi? Kenapa tidak dengan laki-laki yang menghamili Sera?"
Kepala mang Agus terangkat. Beliau menatap kami bertiga. Pancaran matanya sama sekali tidak terang nyaris gelap. Raut wajahnya begitu sangat pilu seolah sedang menyimpan kesakitan yang teramat dalam.
"Laki-laki yang menghamili Sera tidak tahu ke mana. Dia pergi, melarikan diri."
Suara beliau serak menahan sesuatu di dalam sana. Mungkin amarah atau apa. Jika aku jadi Sera, akan aku kejar ke mana pun pria itu pergi. Pria tidak tahu diri seperti itu tidak patut untuk hidup di dunia ini.
"Jadi, sampai sekarang Mang Agus tidak tahu siapa laki-laki yang menghamili Sera?"
Pertanyaanku sekarang lebih ke interogasi karena jujur, aku penasaran dengan siapa laki-laki tidak tahu diri itu.
Mang Agus diam sebentar sebelum akhirnya dia berkata.
"Baru kemarin Mang Agus tahu siapa laki-laki yang menghamili Sera. Dia datang ke sini untuk memohon maaf pada Mamang atas sikapnya yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga kami. Walau permintaan maaf nya pun sudah tidak ada gunanya, tapi Mamang tidak bisa berbuat apa-apa, selain menerima maaf darinya. Mungkin Sera dan ibunya pun menginginkan Mamang untuk menerima maaf dari laki-laki itu."
"Kalau boleh tahu siapa laki-laki itu, Mang?" Kini giliran Fay yang bertanya.
"Dia datang bersama nak Viona. Namanya Benandra. Dan Mamang sama sekali tidak pernah mengenal dia."
Benandra? Ben? Ben tunanganku?
Kepalaku kemudian berdenyut.