What are you waiting for

1323 Kata
Sebenarnya yang aku takutkan bukanlah kehilangan raganya, melainkan yang aku cemaskan adalah, bagaimana jika aku tidak bisa merasakan moment-moment bahagia bersamanya lagi. Aku bisa mengerti seperti apa kesibukannya, aku bisa berusaha menerima bagaimana sikap cueknya, dan aku bisa bertahan dalam hubungan jarak jauh yang paling aku benci. Tapi, ketika datang padaku sebuah kenyataan paling pahit yang pernah aku terima, aku tidak begitu yakin akan terus bertahan dalam sebuah komitmen ini. Sudah nyaris satu minggu sejak hilangnya Ben dan sampai sekarang dia masih belum menghubungiku. Apa dalam kurun waktu beberapa hari ini masih tidak cukup untuk memberinya waktu luang. Seharusnya waktu liburan dia yang singkat ini, kami habiskan untuk mengurus persiapan pernikahan kami. Bukan dihabiskan untuk saling diam, berprasangka buruk, dan dilema. Oh s**t, aku benci situasi ini. Aku benci di mana pasanganku ternyata masih memiliki masa lalu yang belum selesai. Lalu, kenapa juga aku masih di Bandung. Di perkebunan teh milik ayah? Menghindar dari Ben? Melarikam diri dari kenyataan karena takut kehilangan hubungan ini? Kalau aku di sini sedang melarikan diri, apa bedanya aku dengan Ben. "Aaaahhh siapa nih?!" Dalam pergulatan betapa dilemanya aku, secara tiba-tiba ada yang menarik telingaku. Setelah aku bisa melepas diri dari orang yang dengan tidak tahu diri menjewer telingaku, badanku langsung berbalik dan mendapati Abi berdiri di sana memakai kaus polos hitam dan celana jeans warna biru gelap. "Abi?!" Tanganku mengusap telingaku yang aku yakini pasti memerah. Ada yang aneh darinya hari ini. Tapi apa? Matanya! Ya, matanya. Sekarang aku bisa melihat lebih jelas kornea matanya yang coklat gelap memancarkan keindahan. Kemana perginya kaca mata coklat yang membingkai mata indahnya. "Sedang apa kau di sini? Mau melarikan diri lagi?" Dia melipat kedua tangannya di depan d**a. Tidak merasa bersalah telah menjewer telingku seakan-akan aku ini anak SD yang tidak mengerjakan tugas rumah. "Rey, mana?" Tanyaku tidak nyambung lalu celingukan mencari sosok Rey, tapi aku tidak menemukannya. "Ditelantarkan!" "Hah?" Mataku membulat. "Dasar orang tua tidak bertanggung jawab, kenapa kau menelantarkan Rey?" "Kau yang menelantarkan, Rey." Abi menyentil keningku. "Kenapa kau pulang kampung tanpa minta ijin dulu padaku? Kau ini masih tercatat sebagai pengasuh Rey." Aku meringis sambil mengusap keningku. Ini namanya penganiayaan. Tadi telinga, sekarang kening. "Maaf, itu.." Lalu aku tersenyum lebar ke arahnya merasa bersalah. Tanganku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Abi sudah menarik tanganku, berjalan menyusuri kebun teh yang terbentang indah. "Apa susahnya menelponku?" Aku terkekeh mendengarnya menggerutu sambil memimpin langkah di depanku. Tentu saja tangannya masih menggenggam tanganku, menariknya hingga kami berada di sebuah saung yang terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari jerami. Ini tempat peristirahatan bagi para pekerja kebun teh, jika merasa lelah saat memetik daun teh. Abi duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu dan aku mengikutinya. Angin kencang menerpa rambutku membuat helaiannya terbang ke wajahku. Beberapa kali aku menyibakan rambutku yang menutupi wajah. "Maaf," kataku lagi. "Ini dadakan." Abi hanya melengos tidak menganggapi. "Tapi, bagaimana caranya kau sampai di sini?" "Tidak pernah mendengar yang namanya Google Maps?" Aku mendengus. "Google Maps juga harus tahu terlebih dahulu kemana tujuanmu, sebelum dia mengarahkannya." Ucapku. "Tahu dari mana aku di sini?" "Arsenio." Aku manggut-manggut. "Cerita apa kau tentang Nessa, pada Arsen?" "Bang Arsen bilang apa padamu tentang Nessa?" "Bisa tidak, kau jawab pertanyaanku bukan dengan pertanyaan lagi?" Aku tersenyum lebar. "Tidak cerita apa-apa." Aku mengedikan bahu. "Bang Arsen yang minta nomor ponsel Nessa, lalu Fay memberikannya." "Pagi-pagi sekali, Arsen datang ke kantorku, lalu marah-marah." "Marah-marah?" Tanyaku aneh. "Dia marah karena aku tidak bilang kalau Nessa satu kantor denganku. Memangnya aku biro jodoh." "Serius?" Aku tertawa melihat tampang Abi yang kesal. "Dia pagi-pagi datang ke kantormu hanya untuk marah-marah?" "Tujuan sebenarnya bukan marah-marah padaku, tapi untuk bertemu Nessa. Tapi karena tidak sengaja bertemu denganku, jadi sekalian saja katanya." Tawaku berderai membayangkan bagaimana tampang bodoh Abi yang tiba-tiba dimarahi bang Arsen. "Aneh, aneh." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Arsen juga bilang kenapa kau bisa di sini." Aku terdiam menatapnya. Kalimatnya sukses membungkan mulutku. Apa tidak ada topik bahasan lain selain membicarakan masalah semalam. Aku menarik napas berusaha untuk tidak terlalu terbawa suasana sedih. Galau berlarut-larut akan menguras energi. "Jadi, di sini kau super hero-nya. Sera beruntung sekali menikah denganmu." "Apa kau sedang iri terhadap Sera?" "Siapa yang tidak iri bisa dicintai dengan tulus oleh dua orang pria sekaligus. Dia seperti Bella Swan." Aku mencibir, kemudian membayangkan Bella Swan tokoh imajinasi dari Stephenie Meyer yang sangat beruntung bisa dicintai oleh pria tampan - Jacob dan Edward- hingga membuat gadis manapun iri. Oh, atau hanya aku saja yang iri pada keberuntungan gadis itu? "Kau ingin seperti Bella Swan, walau jalannya harus digigit dulu oleh vampir?" "Kenapa tidak?" Aku menegakan tubuhku. Serius dengan apa yang kuucapkan. "Aku rela jalanku merana asal aku berakhir dengan orang yang tepat." Abi tertawa samar mendengar jawabanku. Aku tahu itu konyol tapi apa dia tidak bisa menganggap jawabanku adalah jawaban normal. "Sudah mendapat jawaban atas segala pertanyaanmu?" "Garis besarnya sudah, tapi aku ingin dengar dari Ben juga." "Kalau begitu kau pulang, tanyakan pada Ben." Aku menganggukan kepala seraya mempertimbangkan kapan aku harus pulang. Bukan bukan, aku bukan sedang mempertimbangkan kapan pulang, tapi kapan aku siap mendengar penjelasan Ben. "Neng Ana," teh Euis tiba-tiba muncul. "Itu sudah dibuatkan bandrek oleh mang kosim." "Iya, Teh, terima kasih." "Ayok." Aku berdiri lalu mengulurkan tangan pada Abi. Dia hanya menatap uluran tanganku tapi aku langsung menarik tangannya. "Kau harus mencoba bandrek mang Kosim. Enak." Begitu kami sampai di rumah bibi Endah, aku mengajak Abi untuk duduk di halaman belakang rumah yang langsung menghadap ke kebun teh yang luas. Aku selalu suka di sini. Tenang dan damai. Tapi tidak untuk menetap. Lembang dan kebun teh terlalu memiliki banyak kenangan indah yang akan terus mengingatkan aku pada ayah dan mami. Bukannya aku tidak ingin mengenang mereka, tapi hatiku tidak cukup kuat untuk tidak menangis jika ingatan itu tiba-tiba muncul. Wajar, kan? "Nih," aku menyodorkan satu gelas berisi bandrek ke hadapan Abi. "Rey, mana?" "Tadi pergi dengan bu Endah, katanya mau ke kebun stroberi." "Sudah bertemu bibi Endah?" "Kau pikir siapa yang memberitahuku kalau ada wanita nyaris gila yang jalan-jalan sendiri di kebun teh?" Aku tertawa lalu meniupkan udara pada gelas bandrek demi menghilangkan asap panasnya. "Rey langsung mengiyakan ajakan bu Endah, dan lupa tujuannya datang ke sini untuk bertemu denganmu." "Rey pasti rindu padaku." Kataku percaya diri. "Aku jadi kasihan pada Rey, merindukan orang yang tidak peduli padanya." "Hey, aku bukannya tidak peduli." Tanganku menyikut bahu Abi yang hanya berjarak beberapa senti saja dariku. "Yaaa, kau tahu kenapa aku di sini. Maaf tidak menghubungimu." "Aku tidak apa-apa. Tapi Rey. Dia mencemaskanmu." "Rey mencemaskanku?" "Iya, katanya dia takut kau di bawa kabur oleh naga merah yang jahat. Lalu dijadikan santapan makan siangnya." "Semakin hari imajinasi Rey semakin mencengangkan. Seharusnya kau bilang pada Rey kalau aku punya perisai. Jadi, naga merah itu tidak bisa membawaku pergi." "Tapi, kau lupa membawa perisaimu." "Oya?" Kataku pura-pura terkejut. "Kau tahu apa perisaiku?" "Tahu." "Apa?" "Aku." Aku sempat terpana, tapi itu terjadi hanya beberapa detik karena setelahnya aku tertawa dan dia pun ikut tertawa bersamaku. "Kau memang cocok kalau jadi pelawak." "Besok ikut pulang bersamaku, ya." Ini perintah atau ajakan? Tapi telingaku menangkap bahwa ini sebuah permintaan yang tidak bisa aku tolak. Seperti permintaan seseorang yang benar-benar sedang mengharapkan aku ikut bersamanya. "Jadi, besok kau ke sini lagi untuk menjemputku?" "Aku menginap satu hari di sini, aku tahu kalau aku paksa kau pulang sekarang, pasti kau menolak. Jadi, aku beri waktu sampai besok. Kalau kau tidak pulang, nanti Rey berangkat sekolah bersama siapa? Siapa yang akan memasakan makanannya? Siapa yang menjaga Rey seharian? Aku hampir gila karena kau tinggal." Kenapa aku mengharapkan lebih dari kalimatnya. Mengharapkan keberadaanku bukan hanya untuk Rey, tapi juga dirinya. Oh tidak. Tidak. Abi hanya ingin aku ada untuk Rey, bukan untuknya. Bukan. "Oke, besok aku pulang." Tandasku. Entah kenapa mendadak kesal. "Karena besok kita pulang, bagaimana kalau nanti sore kita pergi ke Punclut. Tidak jauh dari sini. Tempatnya bagus. Di sana kau bisa melihat keseluruhan kota Bandung. Oke?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN