"Nayya, itu aneh." Tandasku serta merta. Merasa luar biasa jengkel. "Orang waras mana yang lebih memilih kencan di perpustakaan sambil membaca buku tanpa bicara."
"Maka dari itu, dia butuh psikolog."
Fay menimpali sambil terkekeh lalu mengambil satu sendok kue tart di atas meja. Kami sedang berada di perpustakaanku merayakan hari ulang tahun Sha yang tertunda karena kebodohan yang Sha dan Fay lakukan. Mereka sempat tidak saling menyapa mengakibatkan perayaan ulang tahun Sha lambat.
"Naya itu psikolog. Bagaimana bisa psikolog punya psikolog. Siapa yang akan percaya kepada psikolog yang punya psikolog?"
Ucapku heran. Masih tidak habis pikir dengan kencan impian Naya bersama pria idamannya nanti. Kencan di perpustakaan sambil keduanya membaca buku tanpa bicara. Kencan macam apa itu.
"Aku belum resmi menjadi psikolog." Timpal Naya tanpa dosa. Seakan kencan impiannya adalah hal yang normal. "Aku masih bekerja pada Emma si psikolog yang gila."
"Oh, itu masalahnya." Sambar Fay. "Kau jadi tambah tidak waras semenjak menjadi karyawan Emma. Sekarang aku tanya, apa semua pasien Emma sembuh?"
"Kalau pasien Emma tambah gila tidak ada yang mau berobat padanya lagi." Naya menjawab. "Aku harus buat target." Tubuh Naya tegak tiba-tiba. "Astaga, usiku 26 tahun, tapi aku sama sekali belum menyelesaikan S2 ku. Kalau begini ceritanya kapan aku bisa menjadi psikolog dan buka praktik sendiri seperti Emma?" gadis mungil itu membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. "Aku sudah tidak tahan bekerja dengannya." Aku tertawa melihat betapa kacaunya dia saat ini.
Kadang aku ingin sekali melihat bagaimana tampang Emma yang sebenarnya, sehingga bisa membuat seorang Naya ketar-ketir. Karena pada dasarnya dia adalah wanita yang sangat tenang, tapi jika menyangkut soal Emma pikirannya tidak bisa dikendalikan.
Ketika secara tiba-tiba tanda ceklis satu di aplikasi whatsaap berubah menjadi ceklis dua warna biru, saat itu juga hatiku mencuat. Ben, sudah membaca pesan-pesanku. Dengan segera ku ketikan pesan lagi di sana tapi bukan balasan yang ku terima, Ben hanya membaca pesanku saja. Dia punya otak tidak sih.
"Fay, Ben sudah membaca pesanku, tapi dia sama sekali tidak membalasnya. Di mana dia menaruh otaknya sih!"
"An, perintahnya 'kan sudah jelas, 'Iqro' bacalah bukan balaslah."
Ucap Naya. Seketika gelak tawa dari Fay dan Naya menggelegar. Mereka memang para sahabat yang sedikit memiliki rasa empati.
"Nessa sedang bersama siapa?"
Tiba-tiba, Sha masuk ke dalam private zone membawa beberapa gelas berisi es jeruk di atas nampan mengehentikan gelak tawa Fay dan Naya yang sedang bahagia di atas kesialanku.
Aku mengernyit, lalu mengintip keluar dan memperlihatkan Nesa yang kuyakini baru pulang dari kantor, sedang berbicara dengan bang Arsen.
"Bang Arsen." Jawabku. Sha dan Naya menatapku penuh tanya. "Mantan teman kencan Fay."
"Kenapa Nessa bisa bersama dengan mantan teman kencan Fay?" Sha duduk di sampingku lalu menatap Fay heran.
"Begitu melihat Nessa, tanduk Arsen langsung mencuat." Kata Fay sambil tertawa.
"Seharusnya, kau bilang pada bang Arsen, kalau Nessa itu wanita yang beda. Tidak seperti dirimu."
Fay tertawa lagi. Kini lebih keras dari sebelumnya.
"Kalau kelakuan Nessa sepertiku bisa-bisa dia dikeluarkan dari kesatuan keraton jawa."
"Eerrr, lebih baik aku menjauhkan bang Arsen dari Nessa. Pria itu terlalu berbahaya bagi wanita seperti Nessa."
"Tidak An, kau tega memisahkan kambing yang sedang kawin?"
"Perumpamaanmu norak. Bisa kau pikirkan binatang yang lebih indah? Seperti kupu-kupu misalnya." Naya ikut memberi pendapat.
"Astaga, kupu-kupu saat sedang kawin tidak asik. Jelas-jelas kambing yang lebih menantang." Fay tidak mau kalah. Dia memang selalu dominan. Tidak ingin dikalahkan oleh siapapun.
"Tidak. Mereka bukan kambing." Tandasku. "Bang Arsen itu buaya. Sementara Nessa itu panda. Lugu dan menggemaskan. So, aku harus memisahkan buaya dari panda."
"An, pria seperti Arsenio itu memang membutuhkan wanita seperti Nessa. Mereka itu perfect couple. Saling melengkapi." Lagi-lagi Fay memiliki keyakinan tersendiri terhadap setiap pasangan.
"Cih, aku tidak percaya."
"An, aku sudah bertemu dengan berbagai jenis laki-laki. Aku kenal betul dengan jenis laki-laki seperti Arsenio, terlebih aku pernah dekat dengannya. Jadi aku tahu bagaimana Arsenio."
"Player, tidak bertanggung jawab, mempermainkan wanita dan penjahat kelamin. See? Arsenio itu tidak cocok untuk wanita seperti Nessa." Aku langsung menjabarkan setiap fakta dari bang Arsen.
"Lalu, yang cocok seperti Nessa itu siapa? Pak ustadz? Titisan dewa yunani dengan berbagai adat istiadat?" Aku mendengus sebal. "An, kau belum jauh mengenal Arsen. Dia bukan pria seperti itu. Kelakuannya mungkin jauh dari daftar menantu idaman mertua. Tapi, Arsenio adalah pria tanpa revisi jika kau mau lebih menyelaminya lagi. Dan aku melihat tatapan yang beda dari cara Arsen melihat Nessa. Percaya padaku, Arsen pria yang tepat untuk Nessa."
"Tapi,"
"Trust me." Mata Fay membulat seraya memegang tanganku memberikan keyakinan. Tapi justru dia terlihat begitu sangat yakin, aku jadi tidak percaya. Apa yang dia katakan terdengar asal-asalan tapi entah bagaimana caranya, teori yang dia kemukakan kadang benar.
"Memangnya, Arsenio pria seperti apa? Perlu psikolog?"
Tiba-tiba Naya bertanya membuat aku dan Fay yang asik berdebat melihat ke arahnya.
"No!" Ucapku dan Fay bersamaan.
"Kalau Arsenio memang pernah kencan dengan Fay, aku percaya kalau Arsenio itu pria berkualitas."
Sha ikut berbicara setelah sejak tadi dia hanya menyimak. Sha itu kalau bicara langsung tepat sasaran tidak pernah basa-basi. Fay membusungkan diafragmanya saat seleranya tentang pria dipuji.
"An!" Kami semua menoleh ke sumber suara dan mendapati Nessa membuka pintu dengan panik. "Siapa sih pria di luar sana? Dia bilang dia temanmu. Ya Allah dia aneh sekali. Kelakuannya sangat tidak terpuji. Bagaimana bisa ada pria kurang ajar seperti dia."
Nessa tampak gelisah, ketakutan dan marah.
"Arsenio?" Tanyaku.
"Ya, dia menyebut dirinya Arsenio."
"Darl," Fay memegang pundak Nessa. "Memangnya apa yang dia lakukan?"
"Tiba-tiba saja dia mengajakku berkenalan, meminta nomor ponselku, lalu mengajak aku kencan." Wajah Nessa masih terlihat marah sementara aku penasaran. "Bagaimana bisa ada orang yang mengajak kencan di perkenalan pertama, bahkan dia belum tahu nama dari wanita itu. Ya ampun, kenapa bisa ada pria seperti itu di dunia ini? Manusia jaman sekarang makin jauh dengan Tuhan dan tidak memiliki tata krama."
Aku, Fay dan Naya tertawa terbahak-bahak sementara Sha hanya tersenyum kecil.
"Lalu, kau beritahu nama dan nomor ponselmu?"
"Jelas tidak lah!" Nessa menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Walau dia sangat gigih tapi aku tidak akan pernah mau memberitahu nama dan nomor ponselku padanya." Nessa mengambil gelas berisi jus jeruk kemudian menenggaknya sampai habis. "Awas kalau kau berani-beraninya buka mulut."
Detik itu juga ancaman Nessa seakan menjadi oksigen bagiku. Reflek, aku menatap Fay dan pancaran mata Fay padaku seakan menyiratkan bahwa kami memiliki satu pemikiran yang sama. Tidak perlu menunggu penjelasan apa-apa lagi, saat itu juga aku dan Fay beranjak dari kursi dan keluar dari private zone meninggalkan mereka bertiga dengan tampang bodoh memandangi kami. Kuharap Nessa tidak curiga.
"Apa kita punya ide cemerlang yang sama?"
Fay melirik ke arahku ketika kami berada di luar private zone. Aku mengangguk yakin.
"Tapi, aku ragu apakah ini dibenarkan? Karena kupikir ini sangat... sangat licik."
"Sudah aku bilang, love is a war."
"Apa harus memerangi sahabat sendiri?"
"An, percaya padaku. Arsen tidak akan pernah menyakiti Nessa."
Sorot mata Fay sarat akan kejujuran. Wanita ini bicaranya asal tapi kadang benar. Bukannya aku tega atau apa, tapi ini menyangkut kelangsungan masa depanku. Kurasa Nessa juga akan mengerti.
"Bang Arsen!"
Bang Arsen menoleh saat dirinya akan melangkah pergi. Ku teguhkan hatiku, ku yakinkan diriku bahwa apa yang akan aku putuskan semoga pilihan yang tepat.
"Aku punya penawaran yang menarik. Aku yakin, kau tidak akan kecewa."
Ya Tuhan kenapa aku berkata seperti seorang mucikari.