Di sinilah aku berada. Berdua bersama Abi, dalam kekesalan yang masih belum tersalurkan. Mataku terus mencari keberadaan teman-temanku yang sejak tadi bayangannya pun tidak terlihat. Abi, menggoyangkan gelas berisi cairan berwarna merah lalu menyodorkannya padaku.
"Minum dulu, tenggorokanmu pasti kering." Aku hanya mendelik sambil menyambar gelas beling cantik tersebut dan menandaskan isinya. "Woow, marah?" Abi terkikik geli. "Jadi, Ben yang kau sebut sebagai tunanganmu itu, dia?"
"Mendengar dari caramu menyebut nama Ben, seperti kau telah lama mengenalnya. Aku, benar?"
Abi masih terkikik, tapi aku tidak peduli. Aku sudah mulai terbiasa melihat tawanya.
"Apa kau juga bisa membaca pikiran orang lain?"
"Tidak perlu menjadi seorang cenayang untuk mengartikan nada sinismu itu. Jadi, apa hubunganmu dengan Ben? Tunanganku." Aku menekan kata 'tunangan' di sana entah untuk apa. Karena tidak berpengaruh juga pada posisiku saat ini.
"Aku berada di luar teritori untuk menjelaskan siapa Ben."
"Siapa, Ben?" Aku mengulang kemudian menaruh gelas yang sudah kosong di atas meja. "Kau tidak perlu menjelaskan siapa Ben, karena aku kenal dengannya. Aku hanya ingin tahu apa hubunganmu dengannya."
"Ketidaktahuanmu tentang apa hubunganku dengan Ben, menjelaskan bahwa kau tidak benar-benar mengenal Ben, sebagai tunanganmu."
Kami berada dalam situasi yang sengit, saling bertatapan seakan ingin melubangi satu sama lain. Apa maksudnya dengan aku tidak benar-benar mengenal Ben. Jelas-jelas aku sudah sah menjadi tunangannya, jadi aku pasti sudah benar-benar mengenal dia.
"Astaga, bisa tidak kau tidak berbelit-belit? Tinggal katakan saja apa hubunganmu dengan Ben?"
"Kau lebih tertarik terhadap hubunganku dengan Ben, dibanding dengan apa persisnya yang terjadi diantara Ben dan Viona?"
"Kau mau memanas-manasiku?" Ujarku serta merta. "Tidak kusangka, kompor juga memiliki jenis kelamin laki-laki."
Abi mengangkat kedua bahunya dengan santai. "Terserah."
Aku memejamkan mata jengah, kemudian mengusap dahiku merasa bahwa perbincangan ini tidak akan pernah mendapat jawaban. Seperti kita berada dalam perdebatan tentang siapa yang lebih dulu ada, telur atau ayam.
"Sebaiknya, kau pikirkan kembali hubunganmu dengan Ben." Kata Abi membuatku tersentak lalu pergi begitu saja meninggalkan sejuta pertanyaan. Kenapa sih, dia suka sekali membuat orang penasaran.
"Apa maksudmu?" Aku berusaha menyamai langkahnya. Dia melihatku sekilas tanpa minat.
"Kau mau menikahi seseorang, tapi kau tidak tahu apa-apa tentang dirinya."
Dia sok tahu sekali. Bagaimana mungkin aku tidak tahu siapa Ben. Aku tahu, aku...
"Aku tahu Ben." Kataku cepat.
"Apa yang kau tahu darinya?"
"Aku tahu nama panjangnya, aku tahu alamat rumahnya, aku tahu ibu bapaknya. Aku tahu segalanya tentang Ben."
Abi berhenti melangkah membuat langkahku juga ikut berhenti. "Kalau begitu, kenapa kau ngotot mempertanyakan hubunganku dengan Ben kalau kau memang tahu tentang Ben."
Aku menelan ludah lalu mengembuskan napas. Tidak semua pemenang terus maju, ada kalanya mereka harus mundur untuk melangkah lebih jauh. Maka dari itu, aku harus mengalah.
"Oke," aku mengangkat kedua tanganku tidak ingin melanjutkan bentuk sanggahan apapun. "Aku memang tidak sepenuhnya tahu kehidupan Ben, maka dari itu aku tanya padamu." Aku berdiri persis di hadapannya. Secara bersamaan kepala Abi tertunduk sehingga tatapan matanya lurus denganku. "Aku tahu kalian saling mengenal dan entah apa yang terjadi, kalian menjadi dingin. Dan aku butuh informasi tentang Ben."
"Kau memercayakan hidupmu padaku?"
Aku memutar bola mata. "Aku akan menikah dengannya, mengutip dari apa yang kau katakan tadi, aku harus benar-benar mengenal orang yang akan aku nikahi."
"kalau begitu, tanyakan pada orang yang akan kau nikahi. Bukan padaku." Katanya, dan aku merasa di tembak tepat sasaran. "Kecuali jika kau mau menggantikan mempelaimu dengan diriku."
Kedua tangan Abi menyilang di depan dan tersenyum lebar padaku. Aku diam menatap sebal padanya. Tiba-tiba membayangkan apa yang sedang dilakukan Ben dengan Viona di luar sana. Kenapa Ben tega meninggalkan aku seperti ini. Oh, ya Tuhan! kenapa aku jadi cengeng.
"Kalau kau penasaran dengan apa yang dilakukan Viona dan Ben, kenapa kau tidak temui Ben sekarang?"
Aku sukses terperangah. Pria ini.
"Kau benar-benar bisa membaca pikiranku? Bagaimana bisa kau,"
"Ana, tidak perlu memiliki kekuatan dukun kalau hanya ingin tahu apa yang kau pikirkan." Aku meghentakan kaki ke lantai. Merasa luar biasa jengkel. "Sana pergi." Dia mengibas-ngibaskan satu tangannya.
"Ke mana?"
"Kau mau tunanganmu bersenang-senang dengan wanita lain?"
"Ya ampun, kalimatmu seolah-olah Ben melakukan hal negatif."
"Kenapa? Takut?"
"Tidak, kenapa aku harus takut?"
"Kalau kau tidak takut, kau tidak akan ragu untuk menyusul Ben." Katanya. "Kau berhak untuk menyusul Ben, bahkan menggiring Ben pulang dari sini."
Aku mengalihkan pandanganku berusaha menggali sesuatu di dalam diriku. Tapi, aku tidak menemukan sedikitpun keinginan untuk menyeret Ben dari tempat ini. Bukan, aku bukan membiarkan Ben bersama Viona. Tapi, menunjukan kecemburuan secara terang-terangan di depan umum akan menurunkan kredibilitasmu sebagai seorang wanita independen. Ya, paling tidak itu yang diajarkan Fay padaku.
"Jika kau jadi diriku, apa yang akan kau lakukan?"
"Jadi, kita sudah saling bertukar pendapat?"
"Jawab saja pertanyaanku."
"Menyeret Ben keluar dari ballrom," jawabnya sengit. "Tapi, sebelum aku pergi, aku akan menendang Viona ke jalanan." Lanjutnya, dan sukses membuatku tertawa terpingkal sementara Abi hanya melihatku tanpa bicara.
"Menyeramkan sekali." Kataku di tengah-tengah tawa.
Dan tanpa diduga Abi membekap mulutku, tapi bukan berhenti malah aku semakin tertawa. Tanganku reflek meninju perutnya sehingga dia melepaskan bekapannya di mulutku.
"Kau mau jadi Tinkerbell?" tanyanya sarkatis.
Tawaku perlahan mereda saat aku menyadari betapa menyedihkannya diriku.
Menjadi Tinkerbell? Tidak. Aku tidak mau jadi Tinkerbell. Aku berhak atas Ben. Dia tunanganku. Aku boleh mengatakan pada Ben, bahwa aku keberatan atas kepergiannya bersama Viona. Dan aku boleh mencakar Viona, dengan sepuluh kuku jariku yang baru saja aku cat. Tapi, pada kenyataannya kakiku tidak bergerak sama sekali. Aku hanya berdiri di tempat seperti patung lilin.
Selang beberapa detik kemudian ada yang menarik paksa tanganku, menyeret langkahku pergi dari tempatku berdiri. Abi.
"Kau berhak tahu apapun tentang Ben. Segalanya. Jangan pernah menerka-nerka sendiri, apalagi memiliki kesimpulan yang bahkan belum tentu benar."
Aku melirik tangan Abi yang menggenggam tanganku. Tatapan matanya lurus kedepan tanpa memedulikan wajahku yang sudah memprihatinkan. Ya, tidak boleh menerka-nerka. Siapa tahu saja Ben dan Viona hanya teman. Lagipupa tidak mungkin Viona dengan Ben ada apa-apa mengingat bagaimana perilaku Viona terhadap Abi. Wanita itu kan ngotot ingin menikah dengan Abi.
"Pak Abi," tidak ada jawaban. "Abyan." Aku mengeratkan genggaman tangan kami demi mendapat perhatian. Berhasil. Dia menoleh padaku sekilas. "Im afraid to ask, but i need to know."
"Kalau begitu, go ask."
Aku menarik napas dalam kemudian membuangnya kasar. "Siapa Sera? Apa dia bagian dari masa lalumu yang kau cintai?"
Mungkin hatiku salah mengetik informasi ketika mengirim pesan ke otak. Seharusnya aku menanyakan perihal Ben. Tapi, kenapa aku terlihat seperti lebih tertarik dengan kehidupan Abi. Kenapa aku bertanya tentang masa lalu Abi bersama Sera. Bukan apa yang terjadi dengan Ben dan Viona.
Benar apa kata Naya, hati dengan otak itu susah sekali untuk sinkron. Nyaris jarang berdamai. Mereka seakan ingin saling mengkhianati, hingga membuat pemiliknya menjadi makhluk yang rumit.