FAY, mendorong jendela ruangan Privat Zone dengan sekuat tenaga. Kepalanya menjulur keluar jendela seperti sedang menghirup habis udara bebas di luar sana. Aku tersenyum miring melihat tingkah Fay yang menurutku aneh. Dia begitu sangat tergila-gila pada aroma tanah sehabis hujan. Katanya, aroma tanah bercampur rumput sehabis di guyur hujan, mampu menenangkan segala pikiran penat. Maka, beginilah dia sekarang, melonggarkan paru-parunya membiarkan udara dingin masuk ke dalamnya.
"Aku punya rencana membangun wedding organizer." Fay membalikan badannya, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan. Matanya berputar jengah saat melihat Rey telah berbaring di atas sofa bed. Dia memang selalu sinis terhadap Rey, apalagi setelah tahu bahwa ayahnya ternyata bergurau soal ingin menikahiku. "Sha, akan ikut andil."
Aku mengernyit. Sha?
"Sha?"
"Brand milik Sha, akan menjadi salah satu rancangan terbaik di wedding organizer milikku."
"Kau memanfaatkan anak itu?"
Kudengar Fay berdecak. "Ini bisnis An." Ujarnya agak kesal.
"Jika kau memiliki wedding organizer, lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di perusahaan kosmetik Beauty?"
Perlu kuberitahu, Fay wanita ambisius. Aku bangga sekali dengan Fay. Dia punya mimpi yang jelas, tertara, terencana dan tercapai. 5 tahun dia mengemban ilmu bisnis di negeri gingseng, dan telah menyandang gelar S2 saat usinya menginjak 24 tahun. Sekarang dia bekerja sebagai General Manager Officer di perusahaan kosmetik Beauty yang berasal dari Korea Selatan. Belum berhenti di situ, Fay sedang dalam proses mengejar impiannya untuk menjadi CEO di perusahaan tersebut.
"Tidak ada yang berubah. Aku akan tetap menjadi GM disana, dan juga menjadi presiden direktur wedding organizer." Dia terkikik bahagia. "Baru rencana, tapi langkah awalnya sudah bagus. Paling tidak, aku sudah bisa memboyong Sha."
Fay tiba-tiba berdiri.
"Aku harus kembali ke kantor." Dia memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Jangan lupa sabtu ini acara fashion show Sha. Naya akan ikut bersama kita."
"Naya?" Tanyaku aneh. Jelas, Naya itu wanita yang tidak pernah tertarik terhadap keramaian. Apalagi acara fashion show yang menurutnya akan membosankan.
"Fashion Show kali ini akan lebih istimewa. Jadwalnya bertepatan dengan hari ulang tahun Sha, dan katanya Raga akan melamarnya disana."
"Hah? Really?!" Jujur ini benar-benar sebuah kejutan sampai-sampai aku loncat dari sofa. "Kenapa aku tidak tahu?" Dan kenapa Sha juga tidak memberitahuku?
"Kau sibuk dengan bocah itu," Fay menunjuk ganas pada Rey. "Dan ingat, ini masih rahasia. Sha pun belum tahu soal Raga, yang akan melamar Sha di acara fashion show nya." Aku meringis membayangkan akan seperti apa reaksi Sha nanti. "Ingat," Fay, mengangkat telunjuknya ke atas. "Jaga rahasia kita."
"Tapi, Sha, pasti,"
"Kau mau, 'kan, Sha menjadi wanita normal kembali? Dan Raga adalah pria yang pas untuk mengembalikan kewarasan wanita itu."
Aku mengernyit heran. Fay ini seperti tahu banyak hal tentang spesies bernama pria. Tapi mengingat bagaimana sikap Sha pada Raga, aku berharap semoga tidak ada yang perlu di khawatirkan.
"Nanti aku antar undangannya setelah pulang dari kantor." Fay membuyarkan lamunanku.
"Dua kalau begitu." Fay mengernyit. "Untuk Ben satu. Dia baru saja pulang, katanya akan sekitar 3 minggu di Jakarta." Fay berhenti bergerak lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
"Fay,"
Dia berhenti, lalu tercenung menatap tanganku yang kujadikan untuk menahan Fay. Dia mendesah saat mendapati sorotan mataku yang mengiba. Entah, aku akan sangat bahagia jika Fay dapat merestui hubunganku dengan Ben.
"Lakukan yang ingin kau lakukan." Dia menggenggam tanganku. "Maaf An, aku bukan orang yang akan mengubah pikiranku begitu saja. But," Fay tersenyum lugas. "Aku akan selalu mendukungmu."
***
"Hai, Ben,"
Reflek, aku dan Ben berbalik badan bersamaan meninggalkan pemandangan di depan mata perihal betapa mengagumkannya para model itu berjalan di atas cat walk memamerkan desain pakaian yang dibuat oleh Sha. Dan secara otomatis rangkulan tangan Ben disekitar bahuku terlepas. Mataku membulat lebar begitu mendapati siapa orang yang berdiri di hadapan kami, yang baru saja menyapa Ben.
"Vio," Ben terlihat semringah saat melihat wanita diskon 70% itu berdiri di hadapannya. Kemudian yang mereka lakukan adalah saling berpelukan dan menempelkan pipi kanan dan kiri. Sementara aku, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kapan kembali dari Surabaya?"
Suara wanita itu begitu lembut dan bahagia. Setelahnya, aku merasa tenggelam di tengah-tengah keramaian orang-orang di dalam ballrom. Dan para model nan cantik dan tinggi yang berlenggak-lenggok pun hanya terlihat samar.
"2 hari yang lalu." Jawab Ben. "Apa kabar Vi?"
"Selalu baik. Kau sendiri? Sudah jadi komandan?"
Ben tertawa lepas. "Doakan saja. Semoga aku langsung jadi komandan."
Ben menahan bahu Viona saat ada seseorang yang tidak sengaja menabrak wanita itu. Cara perlakuan Ben kepada Viona sama sekali tidak terlihat canggung. Lugas dan seperti sudah biasa. Mendadak aku jadi benci acara fashion show Sha. Dan aku harus segera mempertanyakan pada Sha kenapa wanita ini bisa berada di sini.
"Emm, siapa?" Tubuhku menegang lalu secara otomatis mengapit lengan Ben.
"Oh, hampir lupa. Ana," Ben menyentuh tanganku yang berada di lengannya kemudian secara halus menurunkannya. "Ana, ini Viona. Viona, ini Ana."
"Oh, kau." Wajahnya berubah menjadi sangat menyebalkan. Aku tahu sejak awal dia telah menyadari keberadaanku, tapi dia menunggu waktu yang tepat untuk menyapa. "Tidak ku sangka kita akan bertemu di sini."
"Kalian, saling kenal?" Wajah Ben terperangah. Lalu tersenyum manis.
"Emmm bisa ya, bisa tidak." Kataku acuh tak acuh.
"Kekasihmu?"
"Ya," jawab Ben singkat tanpa memperjelas sudah sejauh mana hubungan kami. Maksudku, aku selalu mengatakan kepada semua orang yang ku kenal bahwa Ben, tunanganku.
"Wooo," mata wanita itu membulat. Aku yakin dia benar-benar terkejut. "Tapi kau tidak berniat poliandri, kan?"
Dia menatapku antara kaget dan meremehkan. Entahlah, aku tidak suka cara dia menatapku dan berbicara. Sementara aku, hanya menanggapinya dengan senyuman pahit. Tak sudi memberikan senyum manis padanya.
"Maksudmu?" Wajah Ben sukses kebingungan.
"Oh bukan apa-apa," sergah Viona sambil mengibaskan tangannya. "Aku baru saja bertemu dengan pemain sandiwara yang payah." Dia kembali melirikku, tapi kali ini penuh dengan kesan sinis. Tatapan paling kejam sedunia kalau aku kategorikan. Namun Ben justru mengernyit tidak mengerti. "Aku bersama Abi." Lanjutnya kemudian mengedarkan pandangannya seperti mencari seseorang, kemudian kembali menatapku setelah dia tidak menemukan orang yang dia maksud.
Secara bersamaan tatapanku bertumpu di mata Viona yang garang. Demi gaji bulanan Vivi, aku berani bertaruh tatapan wanita diskon 70% itu mampu melubangi kertas ukuran 80 gram. Tapi, bukan Lusiana namanya jika tidak bisa membalas tak kalah garang. Well, pasti setelah ini aku akan sakit mata.
Tuh kan benar, mataku mulai kabur dan berair. Entah ini menguntungkan ku atau tidak, dari kejauhan bisa kulihat Abi berjalan ke arahku, dan kesempatan ini kugunakan untuk mengalihkan tatapanku dari Viona. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali demi membasahinya untuk menghilangkan rasa perih dengan gaya seanggun mungkin. Oh ayolah, aku tidak ingin merasa rendah di depan Viona. Manusia yang cerdas tahu kapan dia harus menggunakan topengnya. Dan inilah saatnya.
"Hai, Bi, apa kabar?"
Apa kabar? seperti apa persisnya hubungan antara Abi dan Ben sehingga harus menanyakan kabar seperti ini.
"Seperti yang terlihat."
Abi mengedikan kedua bahunya. Dari cara dia menjawab pertanyaan, aku tahu dia sedang berusaha untuk menghindar dari perbincangan ini. Ben hanya tersenyum miring menanggapi jawaban Abi.
"Dari pertemuan kita pertama kali pada malam itu, aku melihat kau dan Ana begitu sangat akrab. Jadi, kalian saling mengenal?"
Abi menjatuhkan tatapan tajamnya pada Ben. "Iya, kami saling mengenal sangat dekat."
Ben masih memamerkan senyuman miringnya. "Oh,"
"Kenapa? Merasa terganggu aku mengenal tunanganmu?"
Ben menarik napasnya kemudian tertawa kecil.
"Kenapa aku harus terganggu? Ana bebas untuk berteman dengan siapa saja."
"Sebebas dirimu?"
Abi melangkah maju mencoba mengintimidasi Ben, dengan tatapannya. Berada di tengah-tengah mereka membuat bulu kudukku meremang. Aku bisa mencium bau permusuhan dari gaya mereka berinteraksi. Dan aku mulai penasaran apa persisnya hubungan mereka berdua. Oh bukan, bertiga bersama Viona.
"Ehem," tiba-tiba suara dehaman keluar dari mulut Viona, dan membuat dua orang pria yang dalam sebuah perbincangan aneh terinterupsi. "Ben, kau mau menemaniku berkeliling?" Aku melotot ke arah Ben dan Viona. "Ana, aku pinjam sebentar kekasihmu, tidak apa-apa? Kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu."
Baru aku akan protes tapi, Ben memegang pundakku. "Sebentar ya, sayang."
What?!
Sebelum aku bisa mengeluarkan pendapat tidak terima, Viona telah menarik Ben pergi dari hadapanku. Sialan!
"Kau perlu pelampiasan? Atau mau terus berdiri di sini merutuki nasibmu?"
Aku menelengkan kepalaku pada Abi yang kini tengah tersenyum miring padaku, seakan sedang menertawakan kesialanku barusan.