Abi nampak tercenung dan samar-samar kulihat kerutan di dahinya. Mungkin dia sedang berpikir kalau aku sedang mabuk, tapi kenyataannya aku sadar dengan pertanyaan tololku ini. Seharusnya aku tidak mempertanyakan hal tersebut ketika kami sedang berdebat soal Ben. Aku sungguh keluar dari topik dan Abi pasti akan tertawa setelah ini.
Tapi kurasa tidak. Tidak ada tanda-tanda pria ini akan mengeluarkan tawanya.
"Kenapa kau,"
Tubuhku terhuyung ke depan nyaris terjatuh jika saja genggaman tanganku dan Abi terlepas. Dan orang-orang yang memadati isi ballrom berlarian seakan mereka dikejar banjir bandang. Peristiwa ini kugunakan untuk melarikan diri dari jawaban Abi. Kakiku melangkah cepat-cepat mengikuti gerakan orang-orang di sekitarku dan aku merasakan tanganku kosong.
Aku menyongsong keberadaan Fay dan teman-temanku yang lainnya, berdiri di barisan paling depan panggung cat walk.
"Ada apa?" Tanyaku begitu aku sampai di tengah-tengah mereka.
"Lamaran." Bisik Fay padaku dengan antusias.
"Hah?!"
"Raga sedang melamar Sha."
Naya menunjuk ke arah cat walk yang sekarang menampilkan Raga yang sedang berlutut di hadapan Sha, sambil memegang buket bunga besar yang cantik. Lalu di samping mereka ada dua orang MC yang memeriahkan acara lamaran ini membuat semua para tamu berkoar gembira.
Aku menutup mulut tidak percaya. Diantara semua para tamu yang terlihat gembira, mungkin hanya aku dan Sha yang tidak menunjukan rasa bahagia. Sha, jelas tidak akan gembira dengan situasi ini, sementara aku mengutuk dalam hati kebodohan Raga. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
Sha bergerak gelisah memandang Raga kemudian memandang ke arah para tamu yang sejak tadi berteriak 'Terima, terima'. Astaga terima gundulmu. Kemudian Sha mengambil buket bunga dari tangan Raga dengan tampang menahan amarah (aku yakin hanya aku yang dapat melihat ekspresi wajah Sha), kemudian dia membisikan sesuatu kepada Raga yang memasang senyum lima jari. Langkah kaki Sha berjalan besar-besar menuju belakang panggung meninggalkan berbagai pertanyaan dari semua mata yang menyaksikan. Ini pertanda gawat.
"Sha marah!"
Fay, Nessa dan Naya menoleh ke arahku dengan wajah meminta jawaban. Aku langsung pergi dari tempat menuju belakang cat walk. Berjaga-jaga takut Sha melakukan hal-hal di luar dugaan.
Kami mengintip di sela-sela pintu yang sedikit terbuka. Fay berdiri paling depan, posisiku berada di belakang Fay dengan kepala di atas kepala Fay, diikuti Nessa yang menempel padaku tepat di punggungku dengan kepalanya yang berada di atas kepalaku. Sementara Naya hanya berdiri memandangi kami sambil sesekali menempelkan telinganya di pintu. Aku tahu Naya bukan tidak ingin melihat, tapi dia tidak punya tempat lagi, terlebih dia tidak akan mampu meletakkan kepalanya di atas kepala Nessa dengan tubuhya yang pendek.
Kulihat, Sha membuang buket bunga besar yang cantik pemberian Raga ke dalam tong sampah di ruang ganti.
"Apa maksudmu, Raga?!" Sha menggeram, menahan segala amarah yang terpendam.
"Ku kira, kau tidak bodoh untuk mengerti apa yang aku lakukan."
"Aku benar-benar tidak mengerti." Sha memegangi kepalanya. "Bagaimana bisa kau melakukan hal gila seperti ini? Di depan banyak tamu undanganku, kau merusak acara paling berharga dalam hidupku. Dan aku tidak akan memaafkanmu."
"Bagian mananya yang menurutmu, aku merusak acara pentingmu?" Suara Raga melembut. Seperti biasa. "Sha, ku kira kau paham dengan perasaan yang aku punya untukmu. Aku hanya ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu." Sungguh, walau Raga itu bodoh, tapi ini lamaran paling romantis. Karena Ben belum tentu bisa seperti ini.
"Tapi aku tidak!" Muka Sha mulai memerah menahan amarah. Ya, Sha bukan aku yang luluh hanya dengan kata-kata romantis.
"Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu bahagia?"
"Pergi dari hadapanku sekarang juga dan jangan pernah sekalipun, kau tunjukan wajahmu di depanku lagi!"
Dada Sha naik turun dengan cepat. Sementara Raga masih menatap Sha penuh kelembutan, namun ada sedikit kekecewaan dari sorot matanya. Aku bisa melihat itu.
"Memang sebaiknya kau berdamai dengan dirimu sendiri Sha."
Kami ber-empat beringsut mengambil posisi berdiri begitu Raga berjalan keluar pintu. Kemudian berbaris rapi menempel di dinding bersikap seolah kami tidak mendengar apa-apa. Begitu Raga sudah tidak ada di jarak pandang kami lagi, Fay menggebrak pintu sehingga pintu tersebut terbuka lebar. Sha sudah duduk di kursi sambil menghisap rokoknya.
"You are insane, you know that?!" Fay berteriak marah. Astaga anak ini. Apa dia tidak bisa lebih tenang sedikit.
"Aku tidak ingin menerima nasihat dalam bentuk apapun dari kalian." Sha berdiri lalu mengubur ujung rokoknya dengan gaya yang angkuh. Sha memang tidak bisa bersikap manis. Dia wanita dengan seribu topeng. Dia tidak akan pernah membiarkan siapapun melihat kelemahannya. Tapi aku tahu, Sha sedang terguncang. "Setidaknya untuk hari ini."
"Apa karena Karmandani?" Aku memejamkan mata dan mengutuk Fay dalam hati, bisa-bisanya dia membahas soal pria itu dalam keadaan seperti ini. "Kau boleh cinta mati pada Karmandani,"
Astaga. Aku kembali memejamkan mata melihat kebodohan Fay, apalagi mendengar Fay salah menyebut nama. "Fay, bukan Karmandani." Segera aku memotong ucapan Fay. Sha dan Fay menoleh ke arahku. "Tapi Kamandanu." Sha menghela napas sementara Fay memutar bola mata tidak peduli.
"Tapi jangan bertingkah seperti perempuan murahan." Fay melanjutkan kata-katanya dan menekan kata 'murahan' di sana. "Karman,"
"Kamandanu Fay." Kataku cepat. Lalu Fay berdecak.
"Kamandanu tidak akan pernah kembali padamu lagi. Dan kau harus tahu diri."
"Perempuan murahan?" Sha mendengus. "Kalau aku perempuan murahan, lalu kau apa?"
"Fay, Sha. Cukup."
"Diam, Ana!" Fay membentak dengan satu telunjuknya di taruh di depan wajahku. Otomatis aku membeku. "Paling tidak, aku masih punya otak untuk mengerti laki-laki mana yang memang harus aku pertahankan. Dan aku tidak pernah bermain dengan milik orang lain. Aku tidak bodoh, Sha!"
Setelahnya satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Fay. Dan pelakunya adalah Sha.
"Ya Tuhan!" Fay berteriak marah sambil memegangi pipinya yang aku yakini pasti pedih sekali. Rambutnya yang tergerai panjang nyaris menutupi wajahnya. "Sampai kapan kau akan mengharapkan laki-laki yang jelas-jelas telah menjadi suami orang lain, Sha?! You are crazy. You.... astaga," Fay memegangi kepalanya frustrasi. "Aku tidak tahu lagi bagaimana jalan pikiranmu yang sebenarnya. Wake up Sha, move on. Kau tidak akan pernah mendapat apa-apa dari laki-laki itu. Ya ampun. Stupid!"
"Tutup mulutmu, Fay!" Kedua tangan Sha menjambak rambut Fay. Sementara aku, Nessa dan Naya saling pandang dengan tatapan waspada. Bagaimana bisa mereka bertengkar seperti ini.
"Astaga Sha, rambutku baru di blow. Sialan!" Tangan Fay menggapai kepala Sha dan membalas menjambak Sha tidak kalah kuat.
"Seharusnya aku merobek mulut sialanmu, Fay."
Oke cukup. Aku harus bertindak. Aku maju ke depan berusaha menghentikan keributan dan pergulatan amatir yang dilakukan dua wanita bodoh ini. Dengan sekuat tenaga, aku menarik tangan Sha agar terlepas dari rambut Fay. Tapi tidak bisa, cengkeramannya kuat sekali. Tapi aku tidak boleh menyerah. Nessa dan Naya ikut membantu dengan menarik tubuh Fay yang tinggi. Dan aku masih berusaha menarik tangan Sha agar terlepas dan...
Duk.. awww.. sial!
"An,"
Itu suara Fay. Seketika keheningan terjadi. Aku merunduk dengan tangan memegangi hidung. Sakit sekali. Kepalaku mulai berdenyut. Tubuhku nyaris jatuh tapi aku langsung bisa mendongak.
"Ana, hidungmu." Nessa berteriak panik.
"Oh my god, darah. An, astaga!"
Hah?! Sial sial. kulihat telapak tanganku merah karena cairan kental yang berasal dari hidungku. Darah? Aku mimisan? Ya Tuhan. Mendadak kepalaku tambah pusing, tubuhku lunglai nyaris ambruk tapi detik itu juga ada yang menangkap tubuhku, merengkuhnya dengan posesif. Aku melihat sekilas untuk memeriksa wajahnya. Abi. Dan pria itu menyumbat hidungku dengan beberapa lembar tissu.
"Astaga Sha, cincin berlianmu membuat hidung Ana berdarah!"
Suara Fay yang nyaring membuat kepalaku tambah sakit dan hidungku tambah berdenyut-denyut. Anak ini bisa tidak menutup sebentar mulutnya.
"An, maafkan aku. Aku tidak sengaja." Sha memegangi bahuku sementara aku sibuk dengan tissu dan darah yang terus keluar.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Im fine." Aku mencoba untuk tegak berdiri dan membiarkan Abi menopang tubuhku. Aku memang sedang membutuhkannya. "Kalian lanjutkan saja peperangannya." aku mengangkat sebelah tanganku.
"Biar aku membawa Ana pulang." Suara bariton Abi terdengar indah di telinga. Oh ayolah aku mimisan bukannya mabuk. Kenapa bereaksi yang tidak-tidak.
Dengan langkah terseok-seok, aku keluar dari ruang ganti dengan Abi yang memapah tubuhku. Ketika secara bersamaan dering ponselku berbunyi. Aku merogoh tasku untuk mengambil ponsel. Ben.
"Ya, Ben," aku menempelkan ponsel ke telinga. "Ben, aku mimi,"
"Sayang, maaf aku harus pulang."
"Hah?! Pulang? Pulang bagaimana?"
"Viona mendadak mengeluh sakit perut dan aku harus mengantarnya pulang ke rumahnya. Aku sedang di jalan. Maaf aku tidak memberitahumu dari awal. Ini darurat. Kau masih di acara Sha?"
"Ya, Ben."
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu pulang."
"Ya, Ben. Aku naik taksi saja."
"Tidak. Tidak. Jangan pulang sendiri. Teman-temanmu masih di sana?"
"Ya, Ben."
"Atau Abi masih bersamamu?"
"Ya, Ben."
"Kalau begitu minta Abi untuk mengantarmu pulang."
"Ya, ya, Ben."
Memangnya jawaban apalagi yang bisa aku berikan selain 'Ya'
Dan malam ini adalah malam seribu sial. Aku marah pada Ben, marah pada Sha, marah pada Fay dan ini semua gara-gara Raga. Jika Raga tidak bertindak bodoh acaranya akan berlangsung sebagaimana semestinya dan hidungku tidak akan berdarah.