"Sayang, aku harus ke kantor lebih cepat." Abi sudah membawa tasnya, serta ponselnya yang dia genggam. Kemudian mengecup singkat pipiku, dan mencium kening anak-anak.
Aku yang baru saja meletakan nasi goreng di atas meja makan, hanya bisa bengong melihatnya. "Sarapannya? Lalu kopinya?"
"Maaf, aku sudah sangat terlambat."
Lalu dia melambaikan tangan, dan pergi dengan mobilnya. Kenapa buru-buru sekali.
Rey sedang menghabiskan makanannya dengan lahap. Seketika aku bingung siapa yang mengantar Rey ke sekolah. Mbok Darmi izin tidak masuk hari ini. Rumah masih berantakan, dan Ruby belum aku mandikan. Dalam belenggu rasa bingung, aku teringat seseorang. Lalu mencari namanya di ponselku.
"Hallo,"
"Ya, An. Ada apa?" tanya suara di seberang sana.
"Emm, Ben, apa kau sibuk hari ini?" Aku menggigit bibir bawah ku.
"Aku sedang libur dua hari. Ada apa?"
"Aku mau minta tolong, apa kau bisa mengantarkan Rey ke sekolah hari ini? Karena Abi pagi-pagi sekali sudah berangkat ke kantor."
"Oke, bisa. Aku berangkat sekarang."
"Terima kasih, Ben."
***
"Thanks, Ben."
"Kalau kau tidak sempat, aku bisa menjemput Rey sepulang sekolah."
"Oke, nanti aku hubungi."
Setelahnya Ben pergi bersama Rey ke sekolah. Aku beruntung masih ada Ben yang bisa aku mintak tolong. Aku tidak bisa memesan ojek online karena khawatir terjadi apa-apa dengan Rey.
Ruby masih tidur, dan saatnya aku bergerak cepat untuk membereskan rumah yang masih berantakan. Mulai dari membereskan meja makan, mencuci piring, menyapu, dan mengepel lantai. Kemudian berpindah ke kamar, membereskan baju-baju kotor. Saat aku akan memasukan baju kotor ke dalam keranjang cucian, ada secarik kertas jatuh ke lantai.
Aku mengernyit, saat mendapati tiket parkir di sebuah mall, di jam kerja dengan durasi waktu selama lima jam. Untuk apa dia ke mall di jam kerja selama ini. Aku menarik napas. Dan pikiranku mulai tidak tenang. Apa ini ada hubungannya dengan keberangkatannya pagi-pagi begini.
Tanpa pikir panjang, aku segera mencari ponselku dan menghubungi Nessa.
"Nes," ucapku cepat saat Nessa mengangkat telpon.
"Ya, kenapa, An?"
"Abi sudah sampai kantor?"
"Emm, sepertinya belum. Sebentar."
Ada hening yang panjang. Lalu terdengar Nessa sedang bertanya dengan seseorang.
"Belum, An. Kenapa?"
"Oh, tidak. Tidak apa-apa. Thanks, Nes."
"Ya, An."
Aku menggenggam ponselku erat. Kalau jam segini dia belum sampai kantor, untuk apa dia pergi pagi-pagi sekali. Ke mana dia sebenarnya. Tubuhku seketika panas dingin. Aku harus lakukan sesuatu.
***
Ben menelpon ku, dia berinisiatif akan menjemput Rey ke sekolah. Aku iyakan saja, dan kebetulan sedang dalam perjalanan menuju sekolah Rey.
Aku turun dari mobil dan langsung mendapati Shafiya, guru sekolah Rey yang baru saja pindah mengajar. Dia mengatakan kalau Rey sudah dijemput pamannya sejak tadi. Aku, segera menelpon Ben, dan mereka sedang makan siang di sebuah mall yang tidak jauh dari, sini. Dan aku, segera menyusulnya ke sana.
Dengan tergopoh-gopoh aku mengeluarkan stroller bayi, untuk menaruh Ruby di sana. Kemudian mencari keberadaan tempat makan yang Ben bilang.
"Rey," Aku mendorong stroller mendekati meja Ben dan Rey.
"An, kau sudah makan?"
"Belum."
Lalu Ben memanggil seorang pelayanan dan meminta buku menu. Aku memesan makanan berat karena mengingat kalau aku memang belum makan dari tadi pagi. Ini karena penemuan karcis parkir terselubung dari baju Abi. Aku jadi lupa makan. Dan, sekarang baru terasa laparnya.
Satu porsi nasi lengkap dengan lauk pauk sudah datang. Dan secara bersamaan dering ponselku berbunyi. Nama Fay menari-nari di layar.
"Hallo,"
"An, kau di mana? Aku ada di toko kuemu. Tapi kau tidak ada di sini. Vivi bilang kau izin tidak masuk. Kenapa darl? Kau sakit?"
"Aku sedang makan siang dengan Ben."
"What? Makan siang? Dengan Ben? Kau memang sedang sakit."
"Tidak Fay, bukan seperti itu. Ah, aku sedang makan. Ada apa?"
"Nanti saja."
Lalu dia menutup sambungan telepon. Aku hanya mengernyit melihat layar ponsel. Ben menataoku tapi tidak bertanya kenapa.
Acara makan siang telah selesai. Kami berjalan menuju toko buku. Rey ingin alat menggambar yang baru. Ben dan Rey berkeliling di peralatan melukis. Sedangkan aku berkeliling di rak buku. Namun, saat aku sedang mengambil satu buku, pupil mataku menangkap sesuatu yang membuat jantungku naik ke tenggorokan. Aku tersedak, kemudian mendekat untuk memastikan.
Ya, benar. Itu Abi. Bersama dengan wanita bernama.. Ah aku lupa siapa namanya. Partner kerja Abi, yang baru. Tapi kenapa hanya mereka berdua saja yang ada di sini.
Perlahan aku berjalan mengendap-ngendap mengikuti mereka. Sambil berharap kalau, Ruby tidak melihat ayahnya dan memanggilnya. Aku sudah siap dengan ponselku, lalu menekan tombol kamera siap untuk memotret. Aku menemukan angle yang pas. Yang terlihat wajah mereka. Jadi kalau aku akan protes, aku punya bukti. Tapi, ini belum cukup.
Mereka keluar dari toko buku. Dan aku masih mengikuti mereka. Sampai akhirnya mereka masuk ke sebuah toko sepatu. Berkeliling di sana sebentar kemudian ke meja kasir. Mereka membeli sesuatu tapi, aku tidak tahu apa itu. Lalu Abi mengeluarkan uang dari dompetnya. Aku bisa melihat kalau lembaran itu banyak sekali.
Gerakan ku cepat untuk bersembunyi saat Abi membalikan tubuhnya. Aku takut ketahuan. Bagaimana ini. Tapi aku penasaran. Akhirnya aku terus mengikuti mereka sampai mereka menuju sebuah tempat makan. Dan mereka duduk bersama memesan sesuatu. Ya, mereka terlihat sangat akrab. Aku yakin mereka bukan hanya sekadar teman kerja mereka pasti ada sesuatu. Aku harus menemukan buktinya.
Namun,
"An," aku membalikan tubuh. Ben ada di sana. "Aku cari ke mana-mana, tapi kenapa kau ada di sini. Sedang apa?"
"Oh tidak. Tidak apa-apa. Aku sedang..."
"Bukankah itu Abi?"
Aku diam. Menggigit bibir. Aku tidak tahu harus jawab apa. Aku mati kutu. Dan aku malu.
"Ya, aku sedang mengikutinya. Aku.."
"Kau mencurigainya?" kedua alis Ben terangkat ke atas. Aku menatapnya sambil meneguk ludah.
"Menurutmu, aku harus percaya pada laki-laki yang sedang jalan berdua dengan wanita lain?"
"Aku tahu dia bukan laki-laki seperti itu."
Ada hening yang panjang. Aku diam menatap Ben berkata seperti itu. Hatiku juga berkata hal yang sama. Tapi kenyataan pahit yang harus aku terima sudah ada di depan mata. Ben harus benar, dan hatiku juga perlu kebenaran.
Aku berusaha untuk tidak memercayai apa yang jelas-jelas di depan mata. Berusaha untuk menapik kalau itu hanya pertemuan biasa. Aku meneguk ludah, ingin melangkah pergi, tapi tidak mampu. Kakiku terasa berat. Dan kenyatannya aku menangis dipelukan Ben. Ben. Astaga. Dia mantan pacarku. Dan aku menangisi suamiku dipelukan mantan pacarku. Tapi aku tidak peduli. Dia juga bersama wanita lain. Biar kita sama-sama seri.