Walau hanya perayaan sederhana, tapi lumayan menguras tenaga. Untung ada Mbok Darmi yang membantu pekerjaan rumah dan ibu mertuaku yang membantu mengawasi Ruby. Dan hampir jam sepuluh malam, acara beres-beres setelah perayaan ulang tahun, baru selesai. Lelahnya seperti habis naik gunung bolak-balik.
Ibu mertuaku dan ayah mertuaku tidak langsung pulang ke Bogor, karena sudah larut malam. Mereka menginap di rumah. Rey yang sudah lama tidak bertemu dengan nenek kakeknya, mengambil kesempatan untuk malam ini tidur bersama mereka.
Abi sudah naik ke atas tempat tidur. Ruby juga sudah tidur di box bayi. Abi yang sedang bersandar di sandaran tempat tidur nampak sedang fokus dengan ponselnya. Aku mengamatinya lewat cermin meja rias. Dia terlihat serius mengotak-ngatik ponselnya. Mungkin sedang dalam chat dengan seseorang.
Setelah aku mengoleskan krim malam pada wajahku, aku menaiki tempat tidur dan berusaha mengalihkan perhatiannya dengan cara memeluk perutnya yang terasa agak buncit. Akhir-akhir ini dia jarang melakukan olahraga. Aku sudah sering memperingatinya soal riwayat obesitas nya, tapi sepertinya dia belum ada waktu untuk berolahraga.
"Bi, Vivi memberi kado mainan tamia lengkap dengan jalurnya. Dia sudah benar-benar menjadi sultan. Mainan seperti itu kan, mahal."
Aku mencoba berbicara padanya. Tapi dia hanya menanggapi dengan dehaman. Dan matanya masih fokus pada layar ponselnya. Entah sedang apa. Tidak biasanya dia seperti ini. Fokusnya teralihkan. Aku jadi teringat tentang seorang wanita yang aku lihat di perayaan tadi siang.
Dengan perlahan, aku menaikkan tubuhku, lalu mengintip ke layar ponselnya, tapi belum aku melihat apapun, dia sudah, mengunci layar ponselnya. Kemudian melihatku, lalu mengecup singkat keningku.
"Tidur, yuk." Katanya. Membuat aku curiga.
Aku tidak bisa membiarkan kepalaku yang melanglang buana ke sana ke mari memikirkan hal yang tidak-tidak. Jadi aku harus bertanya padanya agar semuanya menjadi jelas.
"Tadi siang, ada tamu yang tidak aku kenal." kataku. Mataku menyipit untuk melihat ekspresi wajahnya. "Dia wanita, dan tampak akrab denganmu."
"Sophie?"
"Mungkin, kau tidak mengenalkannya padaku." Aku mengangkat kedua pundakku.
"Dia rekan kerjaku. Baru dipindahkan dari kantor cabang di Cibubur ke kantor pusat. Sekarang dia menjadi partner kerjaku. Aku mau memperkenalkannya padamu, tapi tadi dia buru-buru pulang."
Abi menarik bedcover sampai sebatas perut, kemudian menenggelamkan tubuhku ke dalam selimut.
"Sebelumnya pernah kenal?"
"Tidak." Dia menggeleng.
"Tapi kenapa akrab sekali."
"Oya?" Abi mengerling jahil. "Menurutku biasa saja. Kau saja yang berlebihan."
"Aku tidak berlebihan, Bi." Ucapku memberenggut.
"Sudah, kau jangan memikirkan yang tidak-tidak. Mungkin karena hari ini kau merasa sangat lelah, jadi pikiranmu melayang ke mana-mana."
"Tapi,"
"Sayang, tidak enak kalau didengar ibu dan ayah, kalau kita ribut."
Abi melingkarkan tangannya di tubuhku. Memelukku dengan posesif. Kemudian menarik puncak kepalaku di bawah dagunya. Wajahku terkubur di dadanya. Aku merasa ada yang berbeda darinya saat ini. Tapi aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin benar kata Abi. Aku hanya terlalu lelah hari ini, jadi pikiranku melantur ke mana-mana.
***
Hari ini, Naya absen lagi datang ke toko. Alasannya karena sedang mendekor acara pertunangan di daerah Bekasi. Jadi, hanya aku dan Vivi yang menjadi toko. Tapi Vivi terlihat tidak terlalu bersemangat.
"Bertengkar dengan Christian?" tanyaku. Dia duduk di belakang kasir. Seperti halnya dulu saat dia bekerja di Read Eat.
Vivi menggeleng lemah. "Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini, An." Dia menopang dagu. "Dua minggu yang lalu Christian bertemu dengan wanita yang dulu akan dijodohkan dengannya. Wanita itu sekarang bekerja di perusahaan Christian. Pada siang itu, aku iseng pergi ke kantornya untuk mengajaknya makan siang. Tapi dia tidak ada di sana. Dan saat aku menuju jalan pulang, aku melihat dia bersama wanita itu di sebuah tempat makan. Terlihat akrab."
Aku mendengarkan dengan seksama. "So? Kau cemburu?"
Tiba-tiba dia menegakkan tubuhnya, membuat aku terkejut. Aku mengelus dasa dan nyaris memakinya.
"Apa kau bilang tadi? Cemburu?" Ekspresi wajahnya nampak was-was. "Menurutmu, aku cemburu?"
Aku berdecak. "Kenapa kau malah bertanya padaku."
"Karena aku juga tidak tahu, kenapa aku seperti orang yang terkena tipes saat melihat Christian dengan wanita itu. Merasa lemah, lesu, dan tidak bersemangat."
"Itu artinya kau cemburu, Vi." Aku menggebrak meja kasir. Dia mengumpat dan aku tertawa melihatnya. "Kau sadar tidak, kalau kau mungkin sudah jatuh cinta padanya."
"Aku sudah tidak mengerti apa itu cinta."
"Kau perlu definisi?" Aku mendekatkan wajahku pada Vivi. Wanita itu mengangguk. "Cinta itu... Seperti ini." Aku menunjuk pada dirinya. "Kalau kau tidak nyaman melihat Christian bersama wanita itu, artinya kau sudah memiliki cinta untuk Christian."
"Kau tidak salah?" Vivi menyipitkan matanya.
"Kalau kau mengubah dirimu terlalu banyak demi membuatnya bahagia, atau demi terlihat sempurna di matanya. Itu jelas, kau memiliki cinta itu untuknya." Aku menjentikan jariku.
"Kalau itu benar terjadi, artinya aku ada dalam masalah besar, An."
"Kenapa? Jatuh cinta itu bukan kesalahan." Ucapku merasa heran.
"Ya, aku tahu." Tandasnya. "Tapi, akan menjadi salah kalau jatuh cinta bukan dengan orang yang tepat."
"Tidak tepat bagaimana? Christian itu suamimu."
"Suami yang hanya ada dalam hitam diatas putih. Kalau-kalau kau lupa." Vivi beranjak dari meja kasir. Siang ini pelanggan tidak terlalu banyak. Vivi mengambil satu buah air soda dalam kemasan kaleng dari lemari es. "Kalau aku cinta pada Christian, aku akan menjalani pernikahan ini dengan terus mengharapkan dia menyukaiku. Dan itu sangatlah mustahil, An. Aku ini bukan tipenya."
"Kau sama sekali belum tidur dengannya dalam satu tahun ini?" Seketika Vivi menyemburkan isi cairan itu dari dalam mulutnya. Aku meringis.
"Aku tidak tinggal dalam satu rumah dengannya. Kalaupun harus, itu pasti karena ada kunjungan dari orang tuanya. So, aku sama sekali belum disentuh olehnya."
"Kau masih perawan?" tanyaku sambil menyeringai. Dia mengangguk padaku. Kemudian aku menyemburkan tawa. Dia berdecak. Mulutnya komat-kamit seperti membaca mantra. "Kalau Fay sampai tahu, dia pasti akan menertawaimu habis-habisan."
"Maka dari itu, jangan sampai si w***********g itu tahu."
Aku menutup mulutku, kemudian memegangi perutku yang keram karena terlalu keras tertawa. Vivi masih misuh-misuh sambil matanya mendelik padaku. Dan acara tawaku hilang, terinterupsi oleh kedatangan seorang pelanggan. Seorang pria memakai kaca mata, dan membawa sebuah gitar.
"Selamat datang." Sapaku, masih menyisakan tawa. Vivi yang merasa kalau aku sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk melayani pelanggan, menyenggol tubuhku, kemudian memosisikan diri di depanku.
"Silakan, ada yang bisa saya bantu?" Vivi tersenyum ramah.
"Boleh saya minta nomor ponselmu?"
"Hah?"
Tawaku hilang dalam sekejap. Kalimat pelanggan ini membuat aku dan Vivi terkejut. Apa maksudnya.