Ben mengatakan kalau Abi bukanlah laki-laki seperti yang aku pikirkan. Tapi aku tidak yakin. Mereka berteman akrab saat mereka masih muda. Sekarang? semua bisa saja berubah. Kalau mereka hanya partner kerja biasa, untuk apa mereka jalan-jalan ke mall di jam kerja seperti ini. Ben menenangkanku, tapi aku sama sekali tidak tenang. Aku mengatakan pada Ben kalau ini rahasia. Aku meminta padanya untuk tidak mengatakan pada siapapun. Dia setuju. Dan aku yakin dia bisa jaga rahasia.
Tepat pukul empat sore, aku sampai rumah. Membawa serta barang belanjaan Rey. Anak itu begitu bersemangat dengan peralatan menggambarnya yang baru. Semakin hari bakat melukisnya semakin terlihat. Bahkan ketika ditanya soal cita-cita, dia ingin menjadi pembuat komik. Aku sih setuju-setuju saja. Asal apa yang dia cita-citakan masih dalam batas wajar.
Rey langsung mandi, kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk mencoba alat menggambarnya yang baru. Dia bisa berlama-lama di dalam kamar kalau sudah dengan alat menggambar. Terakhir, dia ingin hadiah ulang tahun berupa alat untuk membuat komik. Astaga, itu mahal sekali. Cerita komik seperti apa yang akan dibuat oleh anak seusia Rey.
Aku menelpon Abi, dan dia berkata akan pulang lebih cepat. Kalau benar, dia akan sampai rumah setelah magrib. Aku segera bersiap untuk memasak. Tentu saja setelah aku memandikan Ruby.
Hasil masakanku yang sudah matang aku simpan di atas meja makan. Kalau sudah siap, tinggal menyajikannya pada saat nanti Abi pulang.
Kembali aku teringat keanehan tadi pagi. Dan demi memastikan kembali, aku menelpon Nessa. Saat sambungan telepon itu berbunyi, aku melirik pada jam dinding yang menunjukan pukul setengah enam sore. Kalau dia memang pulang cepat, dia pasti sudah tidak ada di kantor.
"Ya, An. Kenapa?"
"Nes, Abi masih di kantor atau sudah pulang?"
"Oh, Pak Abi sudah pulang dari jam 5 sore."
Aku menghela napas lega. "Oke, Terima kasih, Nes."
"Ada apa sih, An? Tidak biasanya kau menelpon ku menanyakan keberadaan suamimu."
"Tidak, Nes. Aku hanya bertanya saja. Karena ponselnya tidak aktif."
"Are you okay, An? Tidak ada masalah?"
"Tidak.Tidak, Nes. Aku baik-baik saja."
"Oke, salam untuk anak-anak."
"Ya, Nes. Thank you."
Sambungan telepon telah dimatikan. Aku bersiap untuk mandi agar lebih segar sedikit. Ruby tidur. Jam tidurnya di minggu ini berubah. Dia tidur lebih cepat dari biasanya. Dan Rey, baru saja keluar kamar dan minta makan.
Karena sudah besar dia bisa mengambil makan dan makan sendiri. Jadi, aku tidak perlu cemas. Magrib telah tiba, saat aku selesai mandi. Biasanya kalau jam normal, Abi sudah sampai rumah. Tapi, saat sampai aku selesai menunaikan sholat magrib, pria itu belum muncul juga.
Aku sudah was-was, hingga waktu isya tiba, pria itu juga belum muncul. Aku memeriksa ponsel, tapi tidak ada pemberitahuan di sana. Aku mencoba untuk mengiriminya pesan w******p. Tapi tak kunjung dibaca. Pria itu pergi ke mana. Tidak mungkin macet di jalan bisa selama ini. Aku tahu kondisi jalanan dari kantor Abi ke rumah seperti apa. Kalaupun macet, tidak mungkin selama ini.
Hingga akhirnya ketika jam menunjukan pukul 9 malam, aku memutuskan untuk pergi ke kamar. Menemani Ruby yang masih tertidur pulas. Dan Rey yang bersiap-siap untuk tidur.
"Mami, ayah belum pulang?"
"Belum, sayang. Tidak usah tunggu ayah. Mungkin ayah pulang agak malam. Sekarang, kau tidur. Oke."
"Oke."
Dia tak kunjung pulang sampai pukul sepuluh malam. Ke mana pria itu sebenarnya.
***
Aku merasakan ranjang ini bergerak. Tubuhku menggeliat. Lampu kamar sengaja tidak aku matikan. Lalu saat aku membuka mata, aku mendapati Abi sudah naik ke atas tempat tidur. Dia sudah membersihkan diri.
"Kenapa malam sekali?"
Dia terlonjak dan dengan cepat mendekatiku. "Sorry, aku lupa memberimu kabar, kalau aku ada rapat dadakan dengan kantor cabang."
Aku melirik jam dinding. Pukul satu malam. Aku terdiam menatapnya. Rapat? hell. Dia pikir aku bodoh.
"Oh, oke." Ucapku. "Kau sudah makan?"
"Sudah, aku sudah makan."
"Oke, aku masih mengantuk. "
*Ya, kau tidur saja."
Setelah mengatakan itu, aku kembali merebahkan tubuhku, tapi kali ini aku membelakanginya. Selama tiga tahun lebih pernikahanku dengannya, aku sama sekali tidak pernah tidur dalam posisi memunggunginya. Aku selalu menghadap padanya, dan dia tidak pernah absen untuk mengecup pipiku sebelum tidur. Tapi, kali ini sungguh berbeda. Rasanya kami seperti orang asing, dan ritual sebelum tidur yang sering kami lakukan, sudah tidak lagi menjadi penting. Atau mungkin hanya perasaanku saja. Aku berharap seperti itu.
Tidak lama dari itu, lampu dimatikan. Abi memang tidak suka kalau harus tidur dalam keadaan lampu menyala. Dan aku terlelap berusaha meyakinkan diriku kalau hal ini biasa saja.
***
Seperti biasa, aku tidak pernah melewatkan membuat sarapan. Untuk anak-anak, Abi, dan juga aku. Abi sudah duduk lengkap dengan setelan kerjanya di meja makan. Kedua tangannya memainkan ponsel. Sambil menyesap kopi hitam tanpa gula. Akhir-akhir ini dia sering sekali sibuk dengan ponselnya. Ya, dia seorang pekerja. Dan bagi pekerja ponsel itu adalah benda prioritas paling utama. Tapi, ada waktunya untuk memerhatikan kami. Keluarganya.
"Mami, apa hari ini uncle Ben yang mengantarku ke sekolah lagi?" Rey berseru sambil memasukan satu sendok sereal ke dalam mulutnya.
"Apa? Ben?" aku menoleh cepat pada Abi.
"Iya, kemarin aku meminta tolong pada Ben, untuk mengantar Rey ke sekolah." Jawabku. "Mbok Darmi izin tidak masuk. Aku masih repot, dan tidak bisa mengantar Rey ke sekolah."
"Apapun itu, kau harus izin dulu padaku." Tandas Abi. Ada kilatan kemarahan di matanya.
"Tapi itu Ben," ucapku serta merta. "Bukan orang lain. Ben juga,"
Abi menaruh ponselnya di atas meja, dengan penuh penekanan. Gerakannya membuat aku menggantungkan kalimat. Aku memalingkan wajah. Aku tahu, aku sudah melewati batas. Emosi yang menganak di dalam diriku sejak kemarin membuat aku nyaris hilang akal. Aku melihat Rey menatap kami berdua. Aku tahu, aku nyaris menghancurkan ketenangan anak ini.
"Kau keterlaluan." Abi berbisik padaku. Kemudian bangkit berdiri, dan mengambil ponselnya.
Aku mengusap wajah kasar. "Mbok," mbok Darmi muncul. "Mbok, tolong jaga Ruby dan Rey sebentar. Saya mau mengantar bapak ke depan."
"Iy, Bu."
Aku menyusul Abi ke dalam kamar. Dia sedang merapikan kemejanya, lalu mengambil tasnya.
Dia melengos, padahal dia tahu aku ada di sana.
"Aku melihatmu bersama partner kerjamu kemarin siang di mall." Abi menghentikan langkahnya. Lalu berbalik padaku.
"Kau membuntutiku?"
"Apa?" lolong ku. "Kau pikir aku apa," aku menatapnya marah. "Aku sedang mengantar Rey ke toko buku bersama Ben, lalu-"
"Ben, Lagi. Ben, terus." Dia berteriak. Aku terperanjat. "Kau lupa ingatan, kalau Ben itu mantan kekasihmu. Kalian nyaris menikah. Dan sekarang kau melibatkan Ben dalam mengurus Rey, tanpa aku. Kemudian kalian berdua membuntuti aktifitasku diluar sana. Kalian merencanakan apa?"
Aku menyipitkan mata. Seumur-umur aku kenal dengan Abi, dia tidak pernah semarah ini. Apalagi dengan alasan yang tidak berdasar. Dia bukan seperti Abi yang aku kenal. Dia mencak-mencak karena sesuatu yang tidak logis.
Pria di hadapanku, bukan pria yang aku kenal dulu. Dia seolah berubah jadi orang lain.