Calon suami Vivi

1538 Kata
Setelah sambungan telepon diputus oleh Vivi, kini giliran Fay yang menghubungiku. Aku melihat namanya sebentar untuk memastikan, karena baru saja aku menghubunginya tapi dia tidak menjawab. Sambil berganti baju, aku menjawab telepon dari Fay. "Hallo," "An," terdengar nada nyaring di seberang sana. Fay, tidak bisa kalau tidak heboh. "Apa kau sudah tahu, kalu wajahmu tersebar di media sosial? Dengan rumor mengatakan-" "Ya, aku tahu, Fay. Aku baru saja melihatnya. Vivi bilang, ini semua sengaja dibuat oleh Sera." "Kurang ajar!" Umpat Fay. "Ini sudah keterlaluan, An. Kalau bisa, laporkan saja dia ke polisi. Urusan pengacara aku yang urus. Si ular itu harus mendapat pelajaran." Aku bisa merasakan kalau Fay sudah ada di ambang batas kesabaran. Terdengar dari nada bicaranya yang marah, emosi yang membara. Aku hanya bisa memejamkan mata, berusaha untuk tetap tenang walau saat ini kepalaku sudah mau pecah. Bagaimana bisa dia melakukan hal kekanakan seperti ini. Setelah sambungan telepon diputus oleh Fay, aku sudah selesai berganti pakaian. Tujuanku adalah mengunjungi apartemen Vivi. Apartemennya berada di pusat kota Jakarta. Mewah dengan penjagaan yang ketat. Aku saja harus menunggu di lobby terlebih dahulu untuk bisa mengunjunginya. Kecuali kalau kau, sudah memiliki kartu member. Kalau dipikir-pikir Vivi sudah persis seperti wanita simpanan. Dilunasi hutangnya, diberi fasilitas mobil mewah beserta pengawal, dan apartemen yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja. Rejeki nomplok itu namanya. Setelah lima belas menit aku menunggu di lobby, Vivi akhirnya muncul dengan setelan celana kulot. Menggenggam dompet serta handphone ditangannya. Semakin hari kulitnya semakin glowing saja. Walau bukan tipe kulit putih, tapi terlihat cerah. "An, kita harus berbuat sesuatu. Aku tidak bisa melihat kau kena fitnah seperti ini. Dasar wanita ular!" Umpat Vivi saat dia menjatuhkan bokongnya ke sofa. "Dan aku lebih sebal pada Abi. Dia itu laki-laki. Tapi sikapnya sama sekali tidak jantan. Klemar klemer begitu. Harusnya sebelum pergi, aku jotos dulu wajahnya." "Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan Abi. Aku justru sudah masa bodoh dengan itu. Yang penting sekarang, bagaimana caranya kita buktikan bahwa statement yang ada dalam video itu semuanya salah." "Pintar sekali dia memutar balikan fakta." Dering ponselku berteriak nyaring. Nama Fay menari-nari di layar ponselku. "Ya, Fay." "Di mana, An? Aku di depan rumahmu." "Aku di apartemen Vivi. Ke sini saja. Nanti aku kirimkan alamatnya." "Oke." Aku memutus sambungan telepon. Lalu kembali membuka akun i********:. Dan tanpa diduga postingan pertama yang muncul di halaman eksplore adalah videoku. Bukan hanya di satu akun saja, tapi di banyak akun gosip. Astaga, aku sudah jadi public enemy. Mereka menjuluki ku wanita tidak punya harga diri. Padahal dialah yang tidak tahu diri. "Kita masuk, saja?" "Tunggu Fay, dia mau ke sini." Ucapku lemah. Seakan tahu apa yang membuatku kembali sedih, Vivi merampas ponselku. Lalu berdecak sambil mengumpat saat melihat layar di ponselku. "Tugasmu yang pertama adalah, jangan pernah membuka sosial media lagi. Bila perlu tutup semua akun media sosialmu." Vivi mengacung-acungkan ponselku ke udara, kemudian menjejalkan ponselku ke dalam genggaman tangan ku. "Aku akan ke supermarket, kau tunggu Fay di sini. Tidak jauh, kok." Aku mengangguk, lalu mengetikan alamat apartemen Vivi pada Fay. Setelah dibaca oleh Fay, dia langsung menjawab. [Luar Biasa! Dapat uang dari mana dia bisa sewa apartemen di sana. Jadi simpanan sultan mana dia?] Aku hanya berdecak. Bukan hanya aku saja yang berpikir seperti itu. Fay juga. Wajar sih. Bukannya aku mau menghina Vivi atau apa. Tapi dulu secara finansial, Vivi bukan masuk ke dalam kategori bisa menyewa apartemen mewah. Aku hanya membaca pesan Fay, tidak membalasnya. Lalu kembali kepikiran tentang fitnah yang beredar di media sosial. Aku berani bertaruh, berkat kekuatan netizen, video itu akan cepat menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan mungkin ke luar negeri. Dan aku akan menjadi bahan gibah satu negara, tanpa mereka tahu yang sebenarnya. Dari kejauhan aku melihat Fay berjalan mendekat padaku. Dia melambaikan tangan lalu tersenyum semringah seperti baru saja menang undian lotre. Rambutnya yang sekarang blonde dia ikat satu ke belakang. Rambutnya yang ikal di bagian bawah, kini lurus seluruhnya. Dia memakai kaus crop putih dibalut dengan cardigan panjang warna mocca, dan celana jeans hitam. Dia tidak pernah melepas sepatu hak tingginya. Tapi kali ini tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya 5 cm. Kulitnya yang putih cemerlang sangat cocok untuk rambut pirang nya. Orang-orang tidak akan pernah menyangka kalau dia asli berdarah betawi. Bahkan ayah dan ibunya kalau bicara kental dengan logat betawi. "Hai," Fay menaruh tas jinjing merk terkenalnya di atas meja. "Vivi mana?" Dia celingukan mencari keberadaan Vivi. "Pergi ke supermarket." Dan tidak lama kemudian Vivi datang dengan dua kantung belanjaan. "Fay," Panggil Vivi. "Kau tinggal di sini?" Tanya Fay merasa takjub. "Ya," jawab Vivi. "Yuk, masuk." Vivi mengedikkan kepalanya. Lalu aku dan Fay mengekor di belakang. Kami menuju lift, dan Vivi menekan tombol paling atas. Lift terus bergerak naik cukup lama. Setelahnya lift berdenting dan kamu keluar bersamaan. Aku tidak begitu paham mengenai tata letak apartemen. Tapi sepertinya Fay mengerti mengenai seluk beluk apartemen. Jadi setelah Vivi membuka kamarnya dengan memasukan kode kunci, Fay langsung mengumpat. "Astaga! This ia a penthouse?" Kelakar Fay, yang langsung berlari masuk ke dalam kamar apartemen Vivi. Sedangkan aku hanya bisa meneguk ludah melihat betapa luas dan mewahnya ruangan ini. "Yes, this is a f*****g penthouse." Jawab Vivi sambil membentangkan kedua tangannya. Mulutku masih menganga mendapati di mana aku berada. Tempat yang luas ini didominasi oleh warna coklat dan hitam. Dikelilingi dengan kaca panjang yang tembus menuju pemandangan gedung-gedung bertingkat. Design interior yang modern dan lampu-lampu hias besar menggantung di atas langit-langit tinggi. Sofa besar kulit sintetis warna coklat juga menambah kesan glamour. Kalau di kalkulasikan sepertinya penthouse ini sama ukurannya dengan lapangan sepak bola. Oh aku tidak berlebihan. Ini besar sekali. "Ada kolam renangnya, di atas." Vivi memberikan informasi. Tapi aku tidak terlalu peduli. Aku sibuk meneliti setiap detail isi penthouse ini. Mencari letak keberadaan pandangan ruangan yang tidak terlihat di mana benda itu berada. "Suami siapa yang kau goda, Vi?" "Kurang ajar!" Umpat Vivi. "Oh, kalau begitu selama ini kau menghilang karena melakukan ritual pesugihan, ya?" "Itu lebih tidak masuk di akal. Bukan keduanya, Fay." "Lalu?" Fay berputar mengitari sofa, yang dialasi karpet bulu angsa. Lalu dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tersebut. "Dapat uang dari mana? Ini pasti mahal. Menang judi di Hongkong?" Aku mengikuti Fay yang duduk di sofa. Tapi saat aku menginjakkan kaki di atas karpet bulu angsa, kakiku langsung mendingin. Persis seperti di lantai rumah bi Endah. "Ini bukan milikku," Vivi menggelengkan kepala. "Aku hanya diminta untuk menjaga penthouse ini dan memastikan semua bersih dan rapi." "Jadi, kau bekerja sebagai asisten rumah tangga? Hah, kukira kau kaya mendadak." "Bukan, Fay. Astaga!" Vivi memegangi kepalanya seperti mau pecah. "Ini milik calon suamiku. Dan dia memintaku untuk tinggal di sini karena aku tidak punya tempat tinggal." Mulut Fay menganga lebar. Dia belum tahu ceritanya seperti apa. Aku hanya duduk diam melihat kepanikan Fay. "Calon suami?" Tanya Fay penuh penekanan. "Kau mau menikah?" Vivi mengangguk. "Orang tidak waras mana yang mau menikahimu?" Aku menyemburkan tawa. Kalau orang yang tidak mengenal Fay, pasti sudah tersinggung dengan ucapannya. Vivi mengusap wajahnya kasar. "Ya, dia memang sudah tidak waras," timpal Vivi sama sekali tidak marah. "Otaknya mungkin sudah bergeser dari tempatnya." "Hanya ada dua kemungkinan." Kata Fay. Pasti dia mau berteori lagi. "Usianya sudah uzur, nyaris habis. Atau... Dia bukan penyuka lawan jenis." "Dia masih sangat muda, sehat walafiat. Tapi untuk yang kedua.. Aku tidak yakin." "Ada fotonya?" "Kau jangan serangan jantung, ya." "Vi, aku sudah berkencan dengan ribuan pria tampan. Jadi, aku tidak akan norak." Vivi mengedikkan kedua bahunya. Dia merogoh kantung celananya. Tapi tepat saat dia sudah mengeluarkan ponselnya, ada bunyi seseorang menekan kode pintu penthouse ini. Vivi menegang di tempat. Sedangkan aku dan Fay saling pandang. "Dia Christian." Desis Vivi. "Siapa?" Tanya Fay. Dan aku membulatkan mata. "Calon suamiku." Desis Vivi kembali. Lalu dia belingsatan di tempat. "Aku tidak memberitahunya soal kalian ada di sini." "Lalu? Bagaimana? Sembunyi saja?" Protes Fay. Dia malah semakin membuat Vivi panik. "Ya, apa kita perlu sembunyi?" "Tidak bisa. Semua penthouse ini ada cctv yang langsung terhubung ke ponsel Christian." "So? Apa dia akan marah kalau dia tahu ada kita di sini?" Lalu bunyi pintu terbuka, dan tertutup. Tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi apa yang harus dilakukan, selain berdiri menunggu pria itu masuk. Suasana menjadi hening. Saking heningnya aku bisa mendengar bunyi derap langkah kaki pria itu. Reflek aku menahan napas, saat langkah kaki itu mulai mendekat. Wajah Fay menegang, sambil menatap Vivi yang sedang membetulkan kerapihan bajunya. Serta menyisir rambutnya oleh jemari. Dia membasahi bibir nya oleh lidah. Calon suami Vivi pasti akan marah besar kalau tahu ada orang asing yang masuk ke penthouse nya. Baginya kami ini orang asing. Terlebih penthouse ini miliknya, bukan milik Vivi. Dan pasti pria itu adalah jenis pria dingin yang irit bicara. Matilah kita. Aku mendekat pada Fay, lalu meneguk ludah. Pria itu muncul dari belokan tangga. Berjalan santai ke arah kami. Aku menatapnya tidak percaya. Ekspektasi ku tentang calon suami Vivi lenyap sudah. Seperti aku menunggu-nunggu tempat berlibur ke pantai yang indah, tapi kenyatannya aku malah berada di pulau kecil ramai penduduk. Aku dijatuhkan oleh ekspektasi. "Hai.. Vivi..." Lengkingan suara pria itu memekakan telinga. Ditambah dengan jemari lentiknya yang melambai ke arah Vivi. Aku dan Fay hanya saling pandang tidak percaya. Sepertinya calon suami Vivi ada di kemungkinan nomor dua. Bukan penyuka lawan jenis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN