Berlutut di lantai bumi

1007 Kata
Sungguh aku ingin tertawa mendengar permintaannya. Jadi, dia ingin membarter Abi dengan restoranku. Naya memutar bola matanya. Sedangkan Vivi menatap Sera tidak percaya. "Bukan aku yang harus menjawab." Kata Vivi. Dia mengibaskan rambutnya yang ikal di bagian bawah. "An, bagaimana? Kau mau membarter Abi dengan restoranmu?" "Bukan aku yang harus menjawab." Ucapku meniru kalimat Vivi. "Bi, bagaimana? Kau mau aku tukar dengan restoranku? Hah? Apa kau punya pilihan antara aku dan dia?" Aku menjatuhkan tatapan tajam pada Abi yang ada di seberang sana. Dia menyisir rambutnya tampak frustrasi. Kami semua menaruh perhatian kami pada Abi. Aku menunggu jawabannya dengan was-was. Tapi pria itu makin membisu. Apa memang sulit menentukan sebuah pilihan. Kalau dia sudah punya ketetapan hati, seharusnya tidak semembingungkan ini. Pertanyaanku sama sekali tidak sulit. Kecuali untuk dia yang belum punya pilihan. "Oke, begini saja." Naya memecah keheningan. "Sepertinya kau berada dalam pilihan yang sangat sulit. Jadi, tidak usah dijawab. Biar aku saja yang menentukan." Ucap Naya cepat. "Vi, bawa pengacaramu secepatnya agar Ana bisa mendapatkan kembali apa yang sudah menjadi haknya. Dan untukmu, Abi." Naya menunjuk Abi. "Kalau menandatangani surat cerai itu sulit bagimu, tidak perlu kau lakukan. Lebih baik kau bertahan bersama seseorang yang sudah kau pilih sejak awal." "Yap," Vivi menepukan telapak tangannya. "Semua sudah selesai? Mari kita pergi dari sini." Mungkin untuk yang terakhir kalinya aku bisa memandang Abi, yang menatapku juga penuh dengan kekosongan. Naya menarik tanganku, memboyongku dari tempatku berdiri. Menyeret ku seperti gembala menyeret kambingnya. Aku masih saja berharap kalau Abi manahan ku dan mengatakan kalau dia memilihku dan akan segera menceraikan istrinya. Tapi sampai kami berada di depan pintu, tidak ada yang menahanku sama sekali. Hingga kini, aku berada di luar ruangan. Sudah tidak ada lagi harapan. Entah sampai kapan aku harus menunggunya. *** Hari ini aku berencana kembali ke Jakarta bersama Naya dan juga Vivi. Bi Endah sempat memintaku untuk tetap tinggal. Aku membujuk bi Endah kalau aku akan sering-sering pulang ke Lembang. Karena sekarang aku ada kerjasama dengan Adit. Walau terlihat enggan, namun bi Endah setuju juga. Walau kami sudah melaju dari Lembang menuju Jakarta, tapi hatiku masih tertinggal di rumah sakit. Aku bahkan heran sendiri, pria itu rela libur kerja berhari-hari. Nessa bilang Abi ambil cuti dua minggu sekaligus. Rakus sekali dia. Sore harinya kami sampai di Jakarta. Vivi mengantar Naya ke rumahnya terlebih dahulu. Setelah itu dia mengantarku. Sesaat setelah aku turun dari dalam mobil Vivi, aku merasakan kehampaan menyelimuti ku. Kini, aku bagaikan hidup di tepi jurang. Bergerak terlalu cepat akan membawaku ke dasar jurang. Jadi, aku harus berjalan lambat. Bahkan sangat lambat. Bisnis yang kami rencanakan sengaja tertunda sampai aku kembali mendapatkan semua jaminan itu. Belum lagi, menunggu sampai restoran dan tanah itu terjual. Kemungkinan waktunya tidak cepat. Dan aku mengingat kalau persediaan uangku sudah menipis. Apakah aku harus mulai mencari pekerjaan. Bagaimana kalau aku hubungi Fay. Siapa tahu saja dia ada informasi lowongan pekerjaan untukku. Setelah membersihkan diri, aku duduk di sofa depan televisi. Lalu mencari nama Fay di sana. Lalu menelponnya. Tapi dia tak kunjung menjawab. Mungkin sedang sibuk. Mungkin nanti lagi aku hubungi lagi. Aku mengambil air bugs, lalu memasangkan di telingaku, dan memutar lagu white shoes and the couples company, berjudul senandung maaf. Alunan musik indie yang mendayu-dayu membuat aku sedikit terhibur dari hiruk pikuknya perjalanan cintaku. Sekarang bukan saatnya aku memikirkan kisah percintaan ku. Hidupku akan terus berjalan. Aku butuh makan, perlu bayar listrik, beli gas, beli air galon, isi kuota dan ke salon. Dan itu semua butuh uang. Sekarang yang harus aku lakukan adalah mencari pekerjaan. Dari lulus kuliah hingga sekarang, aku belum pernah bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Jadi, aku tidak ada pengalaman apa-apa. Tapi mungkin ada lowongan untukku kalau aku mau berusaha. Usaha pertama yang aku lakukan adalah, berselancar di media sosial. Jaman canggih seperti ini sudah tidak ada lagi orang yang memasang lowongan pekerjaan di koran. Pasti di internet. Ternyata banyak. Tapi yang sesuai kualifikasi ku tidak ada. Aku menutup Google Chrome dan beralih ke i********:. Melihat-lihat apa yang sedang menjadi trend saat ini, di akun gosip atau akun i********: dengan video yang sedang viral. Saat aku asyik melihat eksplore i********:, ada sebuah postingan reels dari sebuah akun seseorang. Aku berjengit saat mengenali orang yang ada di dalam video tersebut. Astaga, ini kan.. Aku. Bagaimana bisa aku ada di dalam akun gosip ini. Aku memutar video itu. Ada banyak foto-fotoku dan Abi yang ada di rumah sakit. Serta ada wajah Sera di sana. Dan beberapa chat pribadi antara aku dengan Abi. Di sana dikatakan kalau aku seorang wanita yang menggoda suami orang. Suami orangnya itu adalah Abi. Ada tulisan-tulisan yang menggiring opini kalau aku wanita kejam. Yang meminta Abi menceraikan Sera (sebagai istri sah) di saat wanita itu terbaring sakit. Dan sakit yang di derita Sera adalah ulahku. Aku yang membuat dia terperosok ke dalam jurang, dan tidak bisa berjalan. Semua kejadian beberapa hari kemarin di Lembang tersimpan rapi dalam bentuk foto dan video. Termasuk fotoku yang bergandengan dengan Abi di depan Sera, yang sedang duduk di atas kursi roda. Tulisannya mengatakan, "Suamiku dan selingkuhannya tega bergandengan tangan di depanku yang tidak bisa berjalan akibat perbuatan kekasih gelapnya." Lalu fotoku, Naya dan Vivi ketika kami sedang melunasi utang piutang. Dan posisi Sera sedang membubuhkan tanda tangan di dokumen milik Vivi kemarin. Parahnya lagi, dia mengatakan kalau aku sedang mengancamnya menanda tangani surat cerai. Ya Tuhan ada apa ini. Kenapa apa yang terjadi di Lembang kemarin, semuanya bertolak belakang dari kenyataannya. Saat aku sedang asyik melihat postingan tersebut, nama Vivi muncul di layar ponselku. "Vi," ucapku menggebu-gebu. "Aku lihat ada banyak videoku di nstagram." "Aku tahu." Sergah Vivi dengan cepat. "Sera yang melakukan ini semua. Dia sengaja membuat skenario ini untuk mencemarkan nama baikmu, dan mencari simpati orang lain." Aku mengeratkan genggamanku pada ponsel yang masih menempel di telinga. Lalu menggemeretakan gigi-gigi ku. Apa yang dia inginkan. Bukankah semuanya sudah dia dapatkan. Sera.. Kau sudah menabuh genderang perang padaku. Oke, aku siap untuk meladeni dirimu yang sudah tidak waras. Atas perbuatanmu yang mencoreng namaku, kau harus berlutut di lantai bumi untuk mendapatkan maafku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN