Aku mengatupkan bibirku menahan tawa. Aku nyaris menyemburkan tawa ku kalau tidak aku tahan oleh telapak tangan. Sementara Fay, menganga lebar. Masih dengan keterkejutan. Ya, pria ini memang sudah tidak waras. Sudah gila rupanya. Bisa-bisanya Vivi mau menikah dengan pria seperti ini.
Fay menatapku sambil memutar kedua bola matanya. Kedua bahunya terangkat ke atas. Jadi, teka-teki nya sudah jelas. Pria seperti apa calon suami Vivi. Dan Vivi pasti berbohong soal foto pria yang dia tunjukan padaku. Apa aku bilang, dia pasti nyolong di internet.
"Siapa mereka, Vi?" Pria itu tersenyum lebar. Orang kaya pasti hari-harinya bahagia selalu.
"Hai, aku Fay. Sahabat Vivi." Fay lebih dulu mengulurkan tangannya pada calon suami Vivi. "Ini, Ana. Sahabat Vivi juga."
"Hai, aku Ana." Aku mengangguk kecil pada pria setengah jadi itu. Cocok lah kalau sama Vivi. Oops, maaf.
"Hallo, Grey." Fay dan pria bernama Grey itu bersalaman. Sedangkan aku hanya mengepalkan kedua telapak tangan.
"Grey?" Fay bertanya heran.
"Ya, panggil saja Grey." Jawab Grey. "Namaku panjang, tapi aku lebih suka dipanggil Grey." Aku tertawa mendengar cara bicara Grey. Mendayu-dayu dan nyaring.
"Oh, oke, Grey." Fay mengulang. "So, kami berkunjung ke sini untuk.. Ya.. Melihat-lihat saja. Dan.. Kami senang kalau sahabat kami akan menikah."
"Oh, ya, aku juga senang dengan adanya pernikahan ini. Pernikahan ini memang yang aku tunggu-tunggu."
"Oh, begitu." Fay terlihat santai, tapi Vivi sejak tadi berdiri tidak tenang. Terlihat begitu cemas. Sesekali menggaruk kepalanya yang aku yakini tidak gatal. Mungkin dia malu atau apa. "Jadi, kapan kalian akan menikah?"
"Hah?" Grey menatap Fay terkejut. "Bukan. Yang menikah itu Vivi, bukan aku." Grey mengibaskan tangannya, lalu menunjuk ke arah Vivi.
"Ya.. kau dan Vivi, kan?" Fay mulai bingung. Aku juga. "Kau.. Calon suami Vivi, kan?"
"Apa? Aku?" Grey menunjuk wajahnya. "Yang benar saja." Grey melambaikan tangannya sambil tertawa terbahak. "Apakah aku terlihat seperti akan mengawini perempuan?"
Aku dan Fay menggeleng bersama.
"Oke, gurls.. Dia bukan calon suamiku. Dia Grey, asisten pribadi Christian." Sanggah Vivi cepat. "Christian ada di mana?"
"Tadi masih di bawah, kayanya ada dokumen yang tertinggal." Jawab Grey.
"Apakah Christian akan keberatan, kalau dia melihat ada teman-temanku ada di sini?" Vivi bertanya dengan nada cemas.
"Sepertinya tidak," Grey menggeleng. "Tapi, hari ini suasana hatinya sedang tidak baik."
"Astaga! Ini sih gawat." Ucap Vivi. Dia bergerak tidak tenang. Mondar-mandir ke sana kemari.
"Vi, kau baik-baik saja?" Aku memastikan. "Apa kita perlu keluar sekarang?" Tanyaku lagi.
"Kenapa? Christian galak?" Kini Fay yang bertanya.
"Bukan.. Tapi.. Dia agak sedikit.. Senewen." Vivi mengerutkan kedua matanya. "Maaf, aku bukannya mau mengusir, tapi mungkin kalian bisa pulang sekarang." Nada bicara Vivi mengiba.
Aku sih santai. Tapi,Fay pasti tidak terima. "Kau serius?" Tuh, kan. Dia sudah berbicara sinis.
"Ya, please." Vivi memelas.
"Tidak apa-apa, Fay. Kita pulang saja." Aku menarik lengan kardigan Fay.
"Aku mau lihat yang namanya Christian." Bisiknya padaku.
"Ayolah, beri Vivi waktu untuk berbicara dengan Christian." Aku membujuk si keras kepala ini. "Beri pengertian pada Vivi. Aku tidak ingin semuanya malah jadi kacau, Fay."
Fay mengembuskan napasnya dan mengerucutkan bibir tanda kecewa, tapi dia harus setuju dengan ucapanku. Kemudian dengan sebal dia mengambil tasnya.
"Oke, Vi. Kita pulang." Kata Fay pada akhirnya.
"Oke, Terima kasih atas pengertiannya. Nanti aku hubungi lagi, ya, An." Vivi melihat ke arahku dengan wajah tidak enak.
"Oke, tidak masalah, Vi."
"Ayok," Aku menggeram. Karena Fay susah, sekali ditarik. Dia seolah enggan untuk pergi. Tapi dia menurut juga.
Setelah berpamitan kepada Grey yang menyaksikan kami dengan heran. Tapi baru beberapa langkah menuju pintu keluar, aku dikejutkan dengan sosok seorang pria. Dia juga sama terkejutnya denganku. Langkahnya langsung terhenti. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat aku harus mendongak.
Setelahnya, aku menahan napas sambil mataku melotot. Dengan tidak sopan, aku meneliti pria di hadapanmu dari ujung rambut hingga kaki. Dia mengenakan celana cino panjang, kemeja warna navy, dan gaya rambut seperti Justin Bieber. Rahangnya begitu tegas dengan ditumbuhi janggut tipis. Alisnya hitam lebat, serta kornea matanya berwarna coklat. Aku yakin, itu bukan kontak lens.
Terdengar bunyi benturan yang lumayan keras terdengar. Saat aku memeriksa itu adalah milik Fay. Tasnya terjatuh ke lantai dengan mengenaskan. Sama mengenaskan nya dengan raut wajahnya saat ini. Kurasa dia akan pingsan sekarang juga.
***
Kami berdua tidak jadi pulang. Kembali duduk di sofa kulit sintetis ini. Jadi, pria blasteran Australia Indonesia itu adalah Christian. Calon suami Vivi. Pria yang sedang ada di hadapan kami sekarang. Duduk dengan menyilangkan kedua tangan di atas perutnya. Auranya dingin dan menakutkan. Pantas saja Vivi ketar-ketir.
"Jadi, kalian sahabat Vivi?" Aku mendongak. Fay menegakkan tubuhnya.
"Ya," jawab Fay cepat. Dia pasti gugup. Terdengar dari nada suaranya yang bergetar. "Aku Fay, dan ini Ana." Aku hanya tersenyum. Lalu dengan cepat melihat ke arah Vivi saat Christian melihatku.
Vivi justru sedang duduk bersampingan dengan Grey, bukan dengan Christian. Terlihat sekali kalau pasangan ini adalah pasangan bohongan.
Christian menganggukkan kepalanya. "Oke, kalian santai saja di sini. Aku akan ke atas."
Begitu Christian menaiki tangga dan tak lagi terlihat, kami semua menghela napas lega. Seolah kami baru saja naik ke permukaan air setelah lama tenggelam.
Lalu aku dan Fay mendekat pada Vivi, yang kini juga memasang wajah penuh kelegaan.
"Sepertinya, Christian mulai menjinak. Padahal hari ini banyak sekali masalah yang merusak moodnya." Ucap Grey.
"Syukurlah, kalau dia seperti itu. Jadi, aku tidak spot jantung setiap hari." Timpal Vivi.
"Ada apa sih, Vi? Kalian sama sekali tidak terlihat seperti pasangan pada umumnya." Fay bertanya curiga.
"Ceritanya panjang, lebih baik kita bahas masalah Ana terlebih dahulu. Kita cari jalan keluarnya."
Aku setuju. Tujuanku ke sini untuk membicarakan hal itu. Bukan bergosip tentang Christian. Walau itu juga membuat aku penasaran.
"Ada masalah apa?" Tanya Grey. "Mau sekalian minum? Di sini semua ada. Kalau kau mau teler juga boleh." Tawar Grey. Dan disambut gembira oleh Fay.
"Fay, tidak boleh teler di sini. Tidak enak dengan Christian." Aku berusaha mengingatkan. Dan wajah sebal terpampang di raut wajah Fay.
Kemudian aku menceritakan duduk perkaranya pada mereka, termasuk Grey yang sedang mendengarkan. Semua foto-foto yang ada dalam postingan tersebar itu semuanya benar, tapi dibungkus dengan kalimat penggiringan opini yang salah. Sera membuat aku seolah-olah menjadi orang ketiga di pernikahan mereka.
Grey menggebrak meja setelah aku selesai bercerita. Bunyinya yang keras membuat kami semua terlonjak kaget. Lalu mengusap dadaku.
"Kita harus tahu terlebih dahulu akun pertama yang memublikasikan video tersebut. Dari situ kita akan dapatkan bukti-bukti kalau video yang tersebar itu adalah bohong." Kata Grey semangat.
"Masalahnya, video itu sudah tersebar dari akun ke akun. Kita tidak tahu siapa orang pertama yang menyebarkannya." Lirih ku. Aku sudah kehilangan semangatku sejak awal.
"Kita bisa sewa hacker. Orang-orang seperti itu pasti tahu bagaimana cara menemukannya." Grey, selalu punya ide.
"Kau ada kenalan, Grey?" Tanya Vivi.
Grey nampak berpikir. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya, dan mencari-cari sesuatu di sana. Entah apa. Wajahnya begitu nampak serius. Lalu wajahnya berbinar seketika. Dia pasti sudah menemukan sesuatu.
"Aku mengenal salah satu hacker. Kita bisa hubungi dia." Grey mengacungkan jari telunjuknya ke atas.
"Oke, hubungi sekarang." Perintah Fay begitu bersemangat.
"Tapi, sebelumnya aku akan memberitahumu. Orang ini pasti minta bayaran."
"Tidak masalah, Grey." Timpal Fay cepat tanpa pikir panjang. "Aku sudah siapkan dana untuk masalah jni."
"Fay," Aku menyentuh tangan Fay. Menatap Fay dengan iba. Aku tidak percaya Fay sudah berpikir sejauh ini. Aku mendadak menyesal pernah membentak nya karena tidak bisa membantu.
"Sudah, An. Kau tidak perlu mencemaskan masalah uang. Ada aku," Kata Fay balas menyentuh tanganku. "Dan Vivi."
Fay nyengir melihat Vivi. Sedangkan Vivi langsung bersungut-sungut. Dan aku hanya bisa tertawa. Suasana haru hilang dalam sekejap.
"Oke, coba aku hubungi dia sekarang." Kata Grey. Lalu mengotak-atik layar ponselnya.
"Hallo," Grey berkata. Sepertinya panggilan telepon sudah tersambung. "Grey, di sini." Senyum Grey terbit dengan lebar.
"Apa kabar, darl? Aku butuh bantuanmu untuk mencari orang di internet. Iya, ada kok, tenang saja. Tapi aku tidak bisa menceritakannya lewat telepon. Mungkin kita bisa bertemu di suatu tempat?"
Grey bertanya pada kami tanpa suara mengenai lokasi mana yang cocok untuk bertemu.
"Besok, jam 10 pagi. Alamatnya nanti kita beritahu." Jawab Fay.
"Oke, besok saja, darl. Jam sepuluh pagi. Tempatnya aku beritahu lewat w******p, oke. Thank you."
Grey menutup sambungan telepon. Wajah ceria Grey seolah memberikan aku sedikit oksigen. Dan secercah harapan seolah menantiku di sebrang sana.
"Nah, satu-satu sudah selesai. Kalau pelakunya sudah ketemu, kita bisa temukan bukti yang lain. Kalau menurutku wanita itu tidak bekerja sendiri, dia pasti menyuruh orang lain untuk melakukannya."
Apa yang Grey pikirkan benar. Padahal dia baru mendengar Sera dari ceritaku, belum pernah bertemu Sera secara langsung. Tapi gagasannya tentang dia sudah benar. Mengingat apa yang telah dia lakukan padaku kemarin-kemarin, pasti bukan hanya satu orang yang bekerja untuknya.
Aku sudah sangat dendam pada wanita itu. Ini bukan masalah siapa yang menang mendapatkan Abi, tapi ini sudah masuk ke ranah pribadi. Sekarang yang aku lakukan bukan lagi tentang cintaku pada Abi. Tapi, tentang mempertahankan harga diri.
Sera sudah terlalu banyak merecoki hidupku. Kalau penjara memang tempat yang tepat untuknya, akan aku perjuangkan sampai dia masuk ke dalam sel. Soal Abi. Seharusnya aku sudah tidak peduli lagi padanya. Tapi, secuil rindu ini masih menganak di d**a. Masih bertanya-tanya tentang dirinya. Tentang apa yang sedang dia lakukan di sana.