Can you feel it

1006 Kata
"Oke." Abi masuk ke dalam mobil dan membiarkan aku yang mengendarai mobilnya dengan alasan aku yang tahu jalan. "Oke gundulmu." Gumamku tapi dia tidak peduli. "Tidak perlu pasang wajah jelek seperti itu pun, aku sudah tahu kalau wajahmu pas-pas an." Tangannya terulur mengacak rambutku tapi aku tepis dengan segera. Bukan tidak suka dipegang tapi, demi menjaga kondisi jantungku aku harus menyingkirkan tangan itu. Lama-lama dekat dengan Abi memang tidak baik untuk kesehatan jantungku. "Jadi, kita berdua saja?" Abi mengangguk. "Padahal kan aku ingin Rey ikut." "Kau tega membangunkan Rey tidur?" Ya, Rey tidur setelah seharian memetik stroberi bersama bibi Endah. "Katanya Rey rindu padaku. Tidak bersamaku seharian padahal kita berada di tempat yang sama, itu yang dinamakan rindu? buang rindunya kalau begitu." Ucapku pura-pura kesal membuat Abi tergelak dan aku melajukan mobil menuju Bandung utara. "Kalau begitu, ayahnya saja yang menggantikan melepas rindu." Aku tidak menanggapi. Terserah dia mau bilang apa. Terserah juga dengan reaksi jantungku terhadap setiap apa yang dia katakan, yang penting kami sampai tujuan dengan selamat. *** "Di bawah sana itu, kota Bandung?" "Bukan, Jogja." Gerutuku. Abi tertawa kemudian mendekatkan dirinya padaku. "Kita kan sekarang berada di Bandung. Jelas lah yang di bawah sana itu kota Bandung." "Bisa tidak lembut sedikit bicaranya?" "Pertanyaanmu itu adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab." Abi mendengus, lalu tidak menanggapi lagi kalimatku. Cukup lama kami terdiam dalam posisi seperti ini. Membisu di tempat seperti sedang pelaksanaan mengheningkan cipta ketika upacara bendera. "An," aku menoleh saat Abi memanggil. "Ya." "Rey," suara Abi teredam angin malam. Tinggiku yang hanya sebatas bahunya membuat aku harus mendongak untuk menatapnya. "Rey bukan anak kandungku." Abi tidak menoleh padaku. Pandangannya jatuh ke depan yang memperlihatkan lampu-lampu kekuningan yang menerangi keseluruhan kota Bandung. Jelas, tatapan mata itu kosong. "Aku tahu." Ucapku pada akhirnya. "Secara garis besar, aku sudah tahu." Aku menarik napas dalam merasakan betapa dinginnya malam ini. "Sekarang aku boleh bertanya? Dan kau harus menjawabnya." Kalimatku sukses membuat Abi mengalihkan pandangannya padaku. "Apa?" "Saat kau menikahi Sera, apa murni karena ingin membantunya menanggung malu atau kau... kau pernah bilang kan.. kalau kau tidak akan berurusan dengan wanita tanpa melibatkan perasaan, jadi Sera.. " Abi mengangguk dan kurasa aku tak perlu melanjutkan pertanyaanku. Toh, dia pasti sudah mengerti. "Awalnya aku menganggap Sera sebagai teman. Tapi karena pembawaan Sera yang menyenangkan, aku mulai nyaman dekat dengannya. Kenyamananku tidak seperti apa yang aku rasakan pada Viona atau teman-teman perempuanku lainnya. Semakin hari, aku semakin merasakan di dalam diriku berteriak untuk memiliki Sera lebih dari sekadar teman. Tapi, sampai kapan pun dia akan tetap menganggapku sebagai teman, karena yang ada di hatinya itu bukan aku. Tapi," "Ben?" Aku menyela tiba-tiba. Abi menarik ujung bibirnya, kemudian menggenggam tanganku dengan erat. Di malam yang dingin ini aku merasa hangat. "Ya," Abi mengangguk kecil. "Dari awal, aku tidak pernah bisa masuk ke dalam hatinya. Karena dia telah menyiapkan tempat paling indah di hatinya untuk Ben. Segigih apapun aku berusaha menarik perhatiannya, dia akan selalu menganggapku sebagai teman." Selama beberapa detik tidak ada yang berbicara, tapi genggaman tangannya di jariku belum dilepas. "Setelah aku tahu bahwa Ben juga memiliki perasaan yang sama terhadap Sera, dari situ aku berhenti menunjukan perasaanku pada Sera. Ku pikir dia akan bahagia bersama Ben, walau Ben tidak pernah mengatakan tentang perasaannya terhadap Sera. Membuat Sera bertanya-tanya. Ben itu memiliki krisis komunikasi. Dia tidak tahu kapan dia harus bicara. Sampai pada akhirnya, peristiwa itu terjadi, lalu Ben pergi meninggalkan Sera." "Kenapa Ben pergi?" "Aku tahu maksud Ben tidak seperti itu, tapi pada saat itu memikirkan diri sendiri sementara kandungan Sera membesar sama sekali bukan pilihan. Aku tahu, aku tidak murni membantu Sera. Sisi egoisku muncul. Aku menganggap peristiwa ini adalah bentuk kesempatan untukku. Karena Sera pun sudah menyerah terhadap Ben, sementara kandungannya semakin membesar. Dia tidak memiliki pilihan selain menikah denganku. Banyak harapan yang aku gantungkan dalam pernikahanku dan Sera. Salah satunya, aku berharap Sera bisa membuka hatinya untukku. Tapi kenyataannya, Sera sama sekali tidak pernah bisa mencintaiku. Hatinya hanya untuk Ben, dan cintanya untuk Ben di bawa sampai mati." Aku tersenyum getir membayangkan kisah cinta macam apa itu. Semua hati yang terlibat di dalamnya tidak ada satu pun yang bahagia. "Lalu, sekarang? Apa perasaanmu untuk Sera masih ada?" Aku menggigit bibir bagian dalamku menunggu jawaban Abi dengan was-was. Diam-diam, aku mengeratkan genggaman tangan kami. Apa Abi tahu bahwa saat ini aku sedang gugup bukan main. Tanpa komando, Abi menarik tanganku hingga tubuhku kini merapat padanya. Kepala Abi tertunduk sehingga pandangannya sejajar denganku. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa merasakan napas Abi tertahan. Entah memang udara di atas sini begitu dingin atau apa, aku merasakan sekujur tubuhku membeku. Aku tidak pernah merasakan debaran seperti ini sebelumnya. Terhadap Ben sekali pun. "Selain Sera membawa cintanya untuk Ben, dia juga membawa cintaku untuknya. Dulu, jauh di dalam sana," Abi mengangkat tanganku dan menaruh di dadanya. "Selalu ada nama Sera, tapi sekarang, aku bahkan tidak merasakan getaran di hatiku saat mendengar namanya." "Jadi, perasaanmu pada Sera? Hilang?" Abi tercenung memandangiku tanpa berkedip. Wajahnya tampak serius seakan sedang mencari sesuatu di mataku. Lalu bibirnya membentuk garis tipis yang tidak aku mengerti karena apa. Detik berikutnya, yang terjadi adalah Abi mendekatkan wajahnya padaku kemudian ada sentuhan dingin di bibirku yang berasal dari bibir Abi. Untuk beberapa detik dia bertahan dengan posisi seperti ini, tidak bergerak sama sekali tapi efeknya nyaris membuat sel-sel sarafku berhenti berfungsi. "Menurutmu, bagaimana?" Ada rasa tidak rela di sudut hatiku saat dia menarik kembali bibirnya. Apanya yang bagaimana? ciumannya, atau perasaannya? pertanyaannya sungguh sangay ambigu, dan membuatku salah paham. Kalau yang dia tanyakan adalah, bagaimana ciumannya, mungkin aku akan memintanya untuk sedikit bergerak, agar aku bisa menilai. Tapi, pada kenyatannya yang ku lakukan hanya diam, menelan ludah susah payah, dan menyoroti bola matanya. Tubuhku terasa sangat kaku, seperti ada yang menekan tombol pause pada diriku. Namun disadarkan kembali saat tetesan air hujan jatuh mengenai wajahku. Aku dan Abi belingsatan mencari tempat untuk berteduh, sampai akhirnya kami berlari menuju mobil. Jarak dari tempat kami berdiri ke parkiran mobil cukup membuat baju kami basah dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN