Pergi sendiri

1067 Kata
Aku menatap kertas putih itu penuh dengan kekosongan. Menyelami huruf demi huruf yang tersusun rapi menjadi sebuah kalimat yang mengerikan untukku. Selama ini, aku hanya sekadar mendengar kabar tentang penyakit itu. Tapi, sekarang justru aku menjadi bagian dari mereka. Dari sekian banyak populasi manusia di dunia ini, kenapa harus aku. Gumpalan awal hitam berkumpul menutupi langit sore. Aku memandang lukisan sendi itu lewat jendela yang terbuka. Merasakan embusan anginnya yang menyesap masuk ke dalam kamar. Sebuah pertanyaan yang yang sama masih terus bercokol di benakku. Ada apa dengan aku? Kenangan hari-hari indah yang telah terlewat, hanya akan menjadi sebuah kenangan yang ku simpan dalam-dalam. Lalu kembali berpikir apakah aku masih akan merasakan semua itu. Melihat dan menemani anak-anakku tumbuh menjadi orang dewasa. Berubah menjadi pribadi yang baik dan tangguh. Memberontak saat aku menasihatinya antara sekolah dan bermain. Dan angan-angan menua bersama Abi. Menikmati sisa usia berdua, di dalam rumah impian, dan melihat anak-anak menikah, lalu memiliki cucu-cucu yang lucu. Kini, mimpi itu hanya akan menjadi sebuah mimpi. Aku, akan mati, sendiri, dan sepi. Saat air langit mulai jatuh mengeroyoki bumi, tangisan Ruby yang membahana mecah keheningan. Mbok Darmi mengeruk pintu, sesaat setelah aku memutar kenop pintu. "Badannya panas, Bu." Tangisannya mulai menjadi, dan segera kugendong, mendekapnya penuh kasih. "Tolong ambilkan termometer si kotak obat, Mbok." Mbok Darmi segera berlari menuju kamar belakang. Kamar yang dikhususkan untuk bermain anak-anak, serta menyimpan mainan. Setelah mbok Darmi kembali dengan membawa termometer, aku segera memeriksa suhu tubuh Ruby. 38 derajat. Tangisnya tak kunjung berhenti, malah semakin kuat, sampai-sampai dia terus memberontak dalam pangkuanku. Aku panik bukan main. Karena Ruby bukan jenis anak yang cengeng atau mudah menangis. Dia anak yang cukup tenang. Aku mencoba menyusinya dengan ASI tapi dia terus menolak dan mendorong dadaku. Saat mengetahui kalau Ruby tak ingin minum ASI, mbok Darmi langsung membuatkan s**u formula. Tapi Ruby juga tak mau meminumnya. "Mungkin Ruby jatuh atau apa Mbok?" Tanyaku panik. Ruby masih melengkingkan tubuhnya di pangkuanku. Sedangkan mbok Darmi mengibaskan tangannya, dan mengernyitkan wajah. "Tidak, Bu. Mbok berani bersumpah, Ruby tidak jatuh." Ucapan mbok Darmi memang meyakinkan. Beliau juga memang bukan tipe orang yang mudah berbohong. "Terus, Ruby kenapa, ya, Mbok?" Aku mengangkat tubuh Ruby, dan sekarang dia menggoyang-goyangkan kedua kakinya dengan cepat. Tangisannya semakin pecah. "Dibawa ke rumah sakit saja, Bu." Aku menatap mbok Darmi yang memberikan saran. Mobilku masih di benykel, sementara hujan masih berderai-derai di luar sana. Malah semakin lebat. "Tolong gendong Ruby, sebentar, Mbok." Sementara itu, aku mempersiapkan keperluan Ruby, segera memesan taksi online. Kebetulan Rey sedang menginap di rumah ibu dan ayah di Bogor. Tapi, sudah lebih dari sepuluh menit, tidak ada driver yang mau mengambil orderan ku. Mereka semua membatalkannya. Ya Tuhan, tolong aku. Aku mondar-mandir sambil memegang ponsel, kembali masuk ke aplikasi ojek online, tapi hasilnya sama. Nihil. Bagaimana aku membawa Ruby ke rumah sakit. Aku kembali ke ruang tengah, mengambil alih Ruby yang masih mengamuk. Sekuat apapun aku membujuknya, anak ini terus memberontak, me melengkungkan tubuhnya. Dia sampai sesenggukan, wajahnya merah penuh air mata. Dan aku tak tahu harus apa. "Coba, saya parutkan bawang merah untuk dibalurkan ke badannya Ruby, ya, Bu." Aku tidak mengerti soal ramuan tradisional, jadi aku setuju saja. Mungkin ada benarnya juga. Mbok Darmi kan memang berpengalaman dalam mengurus anak. Setelah mbok Darmi selesai dengan pekerjaannya, aku segera menanggalkan pakaian Ruby. Mulai dari baju, celana, dan diapernya. Mbok Darmi memulai dari punggung Ruby, aku memegangi tubuhnya yang masih terus bergerak. Mbok Darmi sedikit memijatnya, kemudian beralih ke perutnya. Namun, saat mbok Darmi mulai membaluri perut Ruby dengan bawang merah, betapa terkejutnya aku, mendapati area sensitif nya memerah parah. Selangkanya bruntusan, dan berair. "Ya ampun, Mbok, lihat." "Bu, ini sepertinya alergi. Atau ruam-ruam." *Gimana, nih, Mbok?" tanyaku panik. Sekarang, aku tahu. Kenapa Ruby menangis sebegitu kerasnya. *** Setelah melewati beberapa jam kondisi yang hectic, akhirnya Ruby tertidur pulas, tanpa diaper. Ibunya Roger memiliki obat semacam salep untuk ruam-ruam akibat popok. Ibunya Roger bilang, ini karena terlalu lama pemakaian popok, seharusnya seusia Ruby, popok harus diganti setidaknya tiga kali di siang hari. Jangan terlalu lama. Ini kali pertamanya aku mengalami hal seperti ini. "Tidak apa-apa, Bu. Ini, salep nya di simpan saja untuk Ruby. Jangan lupa, terus dipakaikan. Usahakan jangan dulu dipakaikan popok selama ruam-ruamnya belum sembuh, ya, Bu." Ibunya Roger memberi wejangan, dan memberikan salep anti ruam padaku. "Terima kasih atas bantuannya. Aku panik sekali sejak tadi." "Kalau ada apa-apa, langsung telepon saja." Ibunya Roger yang masih memakai piyama nya pamit pulang. Bersyukur aku memiliki tetangga yang baik hati, dan memiliki wawasan yang luas soal mengurus anak. Malam harinya, Abi baru saja pulang. Walau aku masih marah, tapi aku tidak melupakan urusan masak untuknya. Semua sudah aku hidangkan di meja makan. Aku berada di kamar Rey bersama Ruby. Dan sama sekali tidak keluar kamar walau aku tahu Abi sudah pulang. Aku masih sangat marah, ditambah lagi tadi siang aku melihat dia dengan Sophie secara langsung. Dia memang tidak punya hati. Bukannya berhenti untuk menemui wanita itu, malah makin menjadi. Aku memejamkan mata, saat mendengar suara pintu dibuka. Aku tahu, Abi masuk ke dalam kamar Rey. Mendekat ke tempat tidur, di mana aku dan Ruby berbaring. Dan merasakan sentuhan pelan di kepalaku. Lalu sebuah kecupan mendarat di pipiku, kemudian beralih dengan menyelimuti tubuhku dengan selimut. Mataku mengintip melihat apa yang dilakukan Abi. Dia juga mencium Ruby. Dan setelah itu, dia keluar dari kamar, tanpa membangunkanku. Baguslah, aku memang sedang mogok bicara dengannya. Bukan asal mogok, tapi benar-benar tidak mau bicara. *** "Aku ada janji dengan Vivi dan Naya untuk membahas project kue pie. Sampaikan salamku pada ibu dan ayah. Maaf kalau aku tidak bisa ikut." Abi mengajakku pergi ke rumah orang tuanya untuk bertemu Rey. Tapi aku tidak mau. Bukan, aku bukan tipe orang yang kalau bertengkar dengan suami, orang tua jadi kebawa-bawa. Aku memang sudah ada janji. Bukan dengan Vivi dan Naya. Tapi janji bertemu dokter Rian untuk menjalani pengobatan. Dalam situasi seperti ini, aku tidak bisa mengatakan apa-apa soal penyakitku pada Abi. Abi hanya memandangku. Melihat gerak-gerikku mempersiapkan keperluan Ruby. Ya, Ruby juga diajak. Ibu dan ayah ingin bertemu Ruby. "An," dia menyentuh lenganku. "Semua keperluan Ruby sudah aku siapkan. Semuanya ada di sini. Bilang juga sama ibu kalau Ruby sedang ruam-ruam, jadi tidak dipakaikan popok. Aku pergi dulu. Taksi ku sudah datang." Aku berterima kasih karena driver datang di waktu yang tepat. Akan aku beri lima bintang kalau begitu. Abi berdiri di depan pagar, melihatku pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN